-->

Soal Yerusalem, Puncak Diskriminasi Ada di PBB

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bak mengguncang dunia. Secara tiba-tiba, Trump membuat keputusan sepihak dengan hendak memindahkan dan mengakui ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Reaksi pun bermunculan. Semuanya memiliki satu suara senada: tak setuju atas pernyataan Trump. Bahkan sekutu-sekutu tradisional AS, seperti Inggris dan Prancis, pun tak sependapat. Demikian pula Arab Saudi yang merupakan sekutu utama AS di Timur Tengah juga tidak mendukung.

Pernyataan Trump itu memang tak memiliki landasan yang kuat, kecuali kehendak Israel tentu saja. Tak ada satu resolusi pun dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebut atau menyetujui pemindahan ibu kota Israel ke Yerusalem. Padahal setiap persoalan penting terkait Palestina dan Israel akan senantiasa ditempuh melalui sidang di PBB.

Adapun penetapan Trump untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel sama sekali tak melibatkan badan dunia tersebut. Trump juga tak membagi wilayah Yerusalem mana yang akan dijadikan sebagai ibu kota Israel. Padahal kota itu menjadi tempat suci bagi tiga pemeluk agama: Islam, Yahudi, dan Kristen.

Ini berarti, untuk menetapkan status Yerusalem, keberadaan tiga agama itu harus menjadi pertimbangan. Pihak yang mewakili tiga agama itu harus ikut dilibatkan atau dimintai pendapat. Jangan seperti Trump yang membuat keputusan soal Yerusalem tanpa memahami persoalan mendasar di kota tersebut.

Banyak pihak menyebutkan, pernyataan Trump itu hanya akan menambah pelik upaya penyelesaian perdamaian di Palestina. Langkah menuju perdamaian dalam hubungan Palestina-Israel akan menempuh jalan yang lebih panjang. Bahkan banyak yang berpendapat, keputusan Trump itu malah akan menimbulkan bara baru di wilayah Palestina.

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) segera bereaksi dan mengadakan pertemuan. Mereka (57 negara, termasuk Iran) memutuskan untuk menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Turki dan Lebanon bahkan sudah berancang-ancang untuk segera memindahkan kedutaan besar mereka di Palestina menuju Kota Yerusalem Timur.

Sekjen PBB, Antonio Guterres, ikut mengecam keputusan ganjil Trump. Dalam pandangan Guterres, penyelesaian konflik Palestina-Israel tak ada jalan alternatif lain. Semua harus dibahas secara terbuka sesuai dengan tahapan yang selama ini telah ditempuh. Cara lain yang ditetapkan sepihak justru akan membahayakan masa depan kedua negara yang berebut wilayah itu.

Bisa dipastikan PBB akan membahas persoalan ini dalam agenda sidang mereka nanti. Namun hampir bisa dipastikan pula, andai PBB membuat keputusan yang merugikan Israel, hal itu tak akan bisa berjalan efektif. Ganjalannya, apalagi kalau bukan soal veto yang akan dilakukan AS.

PBB yang berdiri pada 20 Oktober 1945 memang dibentuk untuk menciptakan perdamaian dunia, keadilan, dan kesejahteraan umat manusia. Dalam sejarah perjalanan badan dunia itu, upaya membuat keputusan adil teramat sulit untuk dijalankan. Ini karena adanya hak istimewa yang dipunyai lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Ya ada lima negara yang memiliki hak veto, yakni hak untuk membatalkan keputusan atau resolusi yang dibuat oleh PBB. Lima negara itu meliputi Amerika Serikat, Rusia, Cina, Inggris, dan Prancis. Ini sesuai yang tertera pada pasal 27 Piagam PBB. Keputusan PBB sepenting apa pun, dan melibatkan seluruh anggota sekalipun, akan bisa diveto salah satu dari lima negara itu.

Sebelum era perang dingin, Rusia (saat itu masih bernama Uni Soviet) terhitung paling sering menggunakan hak veto. Tak kurang dari 100 kali negeri komunis itu membatalkan keputusan PBB.

Sebaliknya, usai perang dingin (setelah tahun 1962) AS-lah yang terbanyak mengeluarkan hak vetonya. Dari keseluruhan hak veto yang dikeluarkan AS (91), hampir separuhnya (41) digunakan untuk melindungi Israel.

Inilah yang membuat keputusan PBB untuk Israel tak pernah bisa berjalan dengan baik. Dampaknya, Israel pun merasa tak perlu ada yang ditakuti dalam membuat tindakan atau kebijakan negaranya di wilayah Palestina. Toh kesalahan itu nanti akan dibela dan dihapus AS melalui hak vetonya.




Semula pemberian hak veto dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pendiri PBB, yakni untuk tujuan mencari perdamaiaan, keadilan, dan kesejahteraan. Namun, dalam kenyataannya, penggunaan hak veto justru jauh bertentangan dengan prinsip awal diberikannya hak tersebut. Ada kesan yang sangat kuat, bahwa hak veto itu justru lebih banyak dipakai untuk melindungi kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan negara yang bersangkutan atau kroninya.

Kasus Israel adalah contoh nyata. Pelbagai kebiadaban Israel senantiasa mendapat kecaman dunia. PBB kemudian membuat keputusan untuk memberi sanksi atas Israel. Nyatanya, AS selalu mengeluarkan veto atas sanksi PBB untuk negara Israel. Jangankan sanksi, kecaman yang dikeluarkan PBB pun akan dibatalkan oleh AS.

Pemberlakuan hak veto sejatinya sudah tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan. Di PBB ada 193 negara anggota. Jika 192 negara setuju atau sependapat dalam suatu kasus tertentu, keberadaan mereka itu (192 negara) tidak akan punya makna apa-apa lantaran ada satu negara mengeluarkan veto atas keputusan atau kesepakatan tadi.

Itu salah satu bukti ketidakadilan hak veto. Bagaimana mungkin satu negara menafikan keberadaan 192 negara lain. Sungguh tidak adil praktik semacam ini dalam kehidupan antarbangsa.

Adanya hak veto juga menjadi salah satu bukti masih kuatnya diskriminasi. Ini karena pemegang hak veto itu ibarat memiliki keistimewaan yang luar biasa dan tak ada yang bisa melebihi kewenangannya. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan, bahwa hak veto di PBB adalah puncak diskriminasi atau sumber dari segala sumber diskriminasi.

Jika memang ingin membangun peradaban dengan kesetaraan, memenuhi rasa keadilan, dan meniadakan diskriminasi dalam segala bentuknya, maka keberadaan puncak diskriminasi ini haruslah diruntuhkan dari tahtanya. Dengan hak veto, keadilan dan kesetaraan hanya akan menjadi barang dagangan yang dijual ke sana-ke mari dan semata-mata untuk mendapat pengakuan semua pihak.

Jangan bicara antidiskriminasi bila di PBB masih ada hak veto. Jangan bicara kesetaraan dan keadilan jika puncak diskriminasi itu belum juga diturunkan dari singgasananya. Jangan pula berkoar-koar soal demokrasi apabila ada sebuah negara yang memiliki keistimewaan yang tak bisa disentuh dan diganggu gugat oleh semua negara di dunia.

Saatnya membangun peradaban dunia baru dengan saling menghargai keberadaan setiap negara. Perlakuan sama tanpa diskriminasi akan menciptakan tata dunia yang adil dan penuh kesetaraan. Selama ini, kesetaraan dan keadilan nyaris hanya slogan semata: semua semua dan tak pernah nyata dalam kehidupan antasbangsa.

Bisa jadi, hak istimewa AS itu terkait dengan besarnya kontribusi negara itu dalam mendanai PBB. Saat ini, sekitar 22 persen keuangan PBB memang dipasok dari AS. Berikutnya adalah Jepang yang memberi kontribusi sebanyak 16,6 persen. Kemudian Jerman sekitar 8,57 persen, lalu Inggris dan Prancis yang sekitar 6,5 persen.

Bila alasan pendanaan itu yang menjadi dalih, rasanya tidak tepat juga. Toh Jepang dan Jerman yang yang memiliki kontribusi besar juga tidak termasuk sebagai pemilik hak veto. Memang sudah saatnya paradigma yang mendasai pembentukan dan pengorganisasi PBB diubah.

Kontrubusi pendanaan pun harus dibuat sedemikian adil/setara serta tidak statis dengan mempertimbangkan tingkat ekonomi setiap negara. Penghapusan puncak diskriminasi itu rasanya memang perlu agar keadilan dan perdamaian dunia tak sekadar fatamorgana belaka.

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close