Oleh: Muhammad Ayyubi
Dalam Munas Alim Ulama NU 2017 di Lombok NTB. Dinyatakan bahwa haram hukumnya ujaran kebencian dan pencemaran nama baik untuk kepentingan apa pun termasuk dalam upaya amar makruf nahi munkar. Beberapa pihak menyayangkan bahkan menolak pernyataan ini. Salah satunya adalah KH. Muhammad Najieh Maimun putra dari Kyai Kharismatik Syekh Maimun Zubair dari Sarang. Hasil bahtsul masail ini mengindikasikan upaya pemerintah untuk menutup pintu kritik dari rakyat melalui NU. Dengan masyarakat yang mayoritas muslim, hasil fatwa haramnya ujaran kebencian ini diharapkan masyarakat akan legowo. Karena dibungkus dengan bahasa agama. Sehingga pada langkah selanjutnya penguasa dapat bertindak semaunya tanpa lagi ada yang mengkritiknya. Kalau pun masih ada maka penguasa tinggal menangkapnya karena bertentangan dengan UU ITE dan yang kedua haram dari sisi fatwanya. Lengkaplah nestapa umat ini sudah didzalimi dengan berbagai kebijakan yang tidak pro kepadanya, ditambah lagi dengan larangan mengkritiknya.
Tanpa memandang SARA, pada fakta empiris kita melihat bahwa UU ITE ini hanya diterapkan kepada pengkritik penguasa seperti Jonru, Alfian Tanjung, Asmawati dan Pardede. Tetapi tidak untuk Viktor Laiskodat, Stepen, Nathan atau Rina Nose. Apakah UU ITE sengaja diciptakan untuk para pengkriti penguasa? Sementara tidak untuk mereka yang pro penguasa? Di mana letak keadilannya? Bukankah semuanya adalah warga negara yang seharusnya diperlakukan sama?
Kebencian sebenarnya hanya asumsi, karena bisa jadi satu orang dengan orang lain berbeda merespon kebencian. Jika khilafah bisa jadi itu adalah ujaran kebencian bagi pengusung kapitalisme. Tetapi tidak bagi pengusung ideologi islam. Slogan free sex bagi aktivis liberal hal itu bukanlah ujaran kebencian tetapi Hak. Tetapi bagi Islam itu adalah kejahatan yang mengarah kepada kencian. Karena setiap ideologi punya standar berbeda. Sehingga dari sudut mana kebencian itu dilihat, jika hari ini penguasa menerapkan kapitalisme maka setiap slogan slogan islam bisa dengan mudah dianggap sebagai ujaran kebencian. Dari sini kita bisa memahami bahwa benturan peradaban adalah suatu keniscayaan. Ibarat benturan kebenaran dan kebathilan akan tetap ada hingga kiamat datang.
Perlu menjadi perhitungan penguasa bahwa semakin kuat menutup pintu kritik itu maka semakin kuat tekanan dari rakyat. Maka hanya persoalan waktu saja penghalang itu akan jebol oleh kekuatan rakyat.
Dan jika itu terjadi, satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu alternatif sistem pengganti. Karena kerusakan ini karena sistem rusak yang diterapkan di negeri ini. Saatnya umat sadar tidak ada alternatif sistem itu kecuali kepada Islam. Bukan kapitalisme dan komunisme. Anda siap?? [IJM]