Joko Widodo |
Oleh: Asmar Husein Lubis
(Putra Asli Mandailing)
Mediaoposisi.com-Setelah melalui persiapan beberapa bulan, upacara penobatan Ratu Elizabeth II dilaksanakan di Westminster Abbey pada tanggal 2 Juni 1953. Untuk pertama kalinya upacara penobatan dan pesta rakyat disiarkan melalui televisi di Inggris dan seluruh dunia. Pada tahun 1950-an Ratu Elizabeth dan Pangeran Philip tampil sebagai pasangan muda rupawan dalam berbagai kunjungan ke luar negeri dan negara-negara persemakmuran. Mereka dikagumi orang seperti layaknya selebriti jaman sekarang.
Kisah Penobatan “Ratu” Elizabeth agaknya menjadi pengantar serabut politik mantu Jokowi yang melibatkan ruang pernikahan Booby-Kahiyang. Penobatan Elizabeth sebagai ratu ternyata memiliki dampak perubahan terhadap kehidupan sosial-kultural-politik termasuk dalam hal-hal kebijakan kerajaan saat itu. Begitupun momentum penobatan marga terhadap Putri Presidan Jokowi, Kahiyang Ayu, meskipun tidak ada kesamaan yang pasti dan terlalu berlebihan jika harus dipaksakan dengan kisah Ratu Elizabeth.
Suku dan marga juga akan menjadi bagian dari pengantar dalam tulisan ini. Sebab dari suku marga inilah akan lahir akar-akar serabut baru politik Jokowi. Pernikahan Booby-Kahiyang dilaksanakan dalam dua prosesi. Pertama, di Jawa (Solo) dan yang kedua di Medan-SUMUT. Dalam tulisan ini yang akan dibahas dan diurai adalah serabut politk di Medan. Sebab serabut-serabut politik di Solo sudah banyak yang membahasnya. Saat Jutaan pandang mata tertuju pada kesederhanaan Solo, maka sejenak beralih pada kesederhanaan Medan dengan mengawali sebuah pertanyaan.
Jika penobatan ratu terhadap elizabeth memilik dampak perubahan sosial politik bagi kerajaannya, Lalu bagaimana dengan penobatan marga siregar terhadap Kahiyang Ayu?
Bulan November agaknya menjadi bulan kabinet pesta bukan lagi kabinet kerja sebagaimana yang pernah diungkapkan Jurnalis senior dalam salah satu laman media sosial. Hal itu tidak terlepas dari pernikahan anak kedua Presiden Joko Widodo Kahiyang Ayu dan Bobby Alif Nasution (8/11) di Solo dan (24-26/11) di Medan. Terhitung sejak awal bulan sampai diakhir penghujung November hampir seluruh televisi nasional dan media sosial hari itu menyiarkan pernikahan yang dihadiri oleh hampir semua tokoh-tokoh pejabat, politik, ormas, agama dan elemen masyarakat lainnya.
Kemeriahan pesta megah riuh itu ternyata terbantahkan dengan pernyataan yang pernah disampaikan presiden Jokowi dengan gaya dan bahasa kultur “pernikahan sederhana”. Siapa sangka perwatakan, bahasa dan gaya tidak selamanya saling beriringan sebagaimana sesederhana pesta pernikahan Kahiyang-Booby.
Namun bukan gaya, bahasa dan kemeriahan pesta yang menarik perhatian saya, tetapi ada hal lain yang lebih menarik untuk dibahas terlebih berbicara tentang kultur penobatan marga di Mandailing. Dalam bahasa pemaknaan, pengkajian dan analisa terhadap penobatan Marga bisa saja ditafsirkan kemana-kemana. Persfektif adat istiadat misalnya atau juga persfektif dalam pusaran politik.
Prosesi penobatan marga siregar yang disematkan kepada Kahiyang Ayu bisa saja menjadi rangkaian cerita panjang yang sangat mungkin dibaca atau lebih tepatnya ditafsirkan sebagai sesuatu yang sangat politis. Meskipun dalam lingkup adat istiadat itu dibenarkan. Dalam lingkup politis misalnya, tentu itu sah sah saja untuk dianalisa. Jadi, bani kotak-kotak projo gak usah histeris nikmati aja tulisannya.
Di samping mengusung konsep tradisional perpaduan Jawa dengan Mandailing menjadi kekuatan tersendiri. Kekayaan akan nilia-nilai luhur yang masih mengikat masyarakat tradisional agaknya menjadi bagian yang diperhitungkan dalam persfektf sosial-kultur-politik. Magnet dari asimilasi ini menjadi daya tarik tersendiri. Lihatlah Hamparan Sumatera Utara, Mandailing dengan segala kekhasannya memiliki keunikan tersendiri terlepas kontroversi “Mandailing bukan batak-Red”.
Diakui atau tidak, disukai atau tidak melekatnya persepsi keberadaan Mandailing sebagai suku batak yang menjadi representatif suku di Sumatera Utara. Sederhananya “Batak adalah Sumatera Utara dan Sumatera Utara adalah batak”. Inilah pemahaman keliru yang bertebaran di zaman old and now. Padahal Sumatera Utara dihuni banyak suku. Selain batak dan melayu, masih ada jawa, aceh, minang, mandailing bukan batak-Red dan lain-lain. Namun, tahukah anda konsekuensi batak sebagai refresentatif suku di Sumatera Utara (?).
Suku Batak di Sumatera Utara telah menjadi ikatan persaudaraan kekerabatan yang kuat dan rukun. Memiliki sub-sub suku antara satu dengan yang lainnya, misalnya Karo, pakpak, toba, simalungun, Mandailing bukan batak-Red dll. Kekerabatan pada masyarakat Batak memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis.
Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistem kekerabatan ini muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyangkut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup. Dengan mengenal marganya, orang batak jadi akrab. Dengan mengenal marganya, orang batak dapat menentukan jodohnya. Maka jangan heran ketika sesama batak bertemu di perantauan, bahagianya minta ampun.
Penetapan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan berdasarkan marga ternyata memiliki pengaruh sosial yang beragam bagi pasangan keluarga terlebih untuk masyarakat. Apalagi penonobatan marga terhadap putri orang nomor satu di RI ini. Hal ini menandakan bahwa marga sebagai sebuah tradisi menjadi salah satu unsur yang penting dalam kehidupan orang batak terlebih dalam ranah pengambilan keputusan yang mengikat menurut adat istiadat.
Sampai disini paham kaitannya dengan asimilasi Bobby-Kahiyang (?)
Pernikahan asimiliasi dan penobatan marga siregar terhadap Kahiyang Ayu menjadi salah satu unsur terikatnya simpul-simpul antara marga Nasution dengan Siregar. Dalam bahasa Mandailingnya disebut “Martamba koum” penambahan keluarga. Karena marga diambil dari keturunan dari Ayah, tidak mungkin Kahiyang memiliki marga sementara Jokowi tidak.
Maka, secara tidak langsung Jokowi pun telah menyandang marga Siregar dan Ibu Iriana marga Nasution. Jangan heran suatu saat nanti melihat ada penambahan nama “Joko Widodo Siregar & Iriana Nasution”. Setelah mengikuti prosesi upacara adat Mandailing, penobatan marga itu sah. Jadi, Jokowi telah menjadi bagian dari keluarga Batak, dan batak adalah jokowi.
Tentu dalam tradisi adat istiadat ini kabar baik bagi marga Nasution-Siregar, sebab dalam lingkup ikatan marga; keluarga Jokowi telah termasuk dalam ikatan keluarga besar Nasution-Siregar. Inilah yang disebut dengan akar serabut politik yang ternyata memiliki dampak terhadap sosial-kultural-politik. Hitung-hitung menjelang pilpres 2019.
Di media sosial ruang lingkup sumatera utara atau dalam perfektif dalam tanda kutip batak telah banyak pengungkapan slogan-slogan hubungan kekerabatan dengan keluarga jokowi dengan embel-embel karena satu marga dan satu suku. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Sintua Kasmen Robert Siregar, Wakil Presiden Siregar se-Dunia “Putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu sudah diresmikan menjadi boru Siregar.
Konsekuensinya, dari pemberian marga tersebut. Seluruh keluarga besar Siregar wajib mendukung kepemimpinan jokowi ke depan. Sebab Jokowi sudah menjadi dongan tubu (saudara semarga), TagarNews 25/11/217)”. Belum lagi dari pihak Nasution, konon Booby juga termasuk salah satu keturunan ketujuh dari Raja Gunung Baringin Nasution.
Silahkan dihitung sendiri berapa juta orang batak di Indonesia terkhusus marga siregar-nasution di Sumatera Utara. Mulai dari keluarga besar, cucu dan sampai tujuh turunan yang mungkin bisa saja akan mengusung Jokowi di pilpres mendatang. Hal inilah yang dimanfaat Jokowi untuk memainkan strategi politiknya. Meskipun tidak semua publik memiliki cara pandang yang sama.
Sisi lain, lihat dan perhatikanlah bagaimana strategi politik yang dimainkan Jokowi sepanjang rute kirab Bobby-Kahiyang menggunakan kereta kuda sambil arak-arakan yang berjarak sekitar 2,6 KM dari medan Internasional Convention Center (MICC) ke kompleks Cukit Hijau Regency Taman Setiabudi (BHR Tasbi).
Warga medan; kakek-kakek, nenek-nenek, bapak-bapak, ibu-ibu, gadis, anak muda bahkan anak-anak berbondong-bondong sepanjang jalan yang dilalui prosesi kirab. Sepanjang jalan itulah Jokowi membagi-bagikan kaos kepada warga. Dengan melemparkan baju kaos berbungkus plastik ke-kanan dan ke-kiri.
Jika dipikir-dipikir ulang, apa tujuan Jokowi membagi-bagikan kaos diacara prosesi kirab Booby-Kahiyang?, adakah hal tersebut termasuk dalam rangkaian acara adat?.
Ketahuilah sepanjang jalan kirab Booby-Kahiyang terdapat pesan tersirat politk yang disuguhkan terhadap konsumen-konsumen politik. Semakin konsumen-konsumen disuguhkan pesan-pesan politik, maka selama itulah pesan politk menyebarluaskan jaringan-jaringannya. Semakin diulang-diulang, semakin kuatlah jaringannya.
Perlu dipahami, hal demikian bukanlah yang pertama kali, pernah juga di sepanjang jalan lewat kaca mobil pribadinya. Bagitu juga dengan rangkaian acara-acara yang dihiasi dengan hadiah sepeda. Itulah penanaman modal politik awal yang jika diulang-ulang orang akan lebih mudah mengingatnya.
Bagi sebagian orang, Hal tersebut mungkin menganggapnya biasa saja. Tapi ketahuilah, justru tolak ukur jaringan pesan-pesan politik dikatakan berhasil yakni ketika sebagian atau kebanyakan orang menganggapnya biasa saja, maka sesungguhnya pesan politik itu telah berhasil menyebarkan jaringannya.
Dengan menganggap biasa saja, dari sinilah akan muncul pembenaran, dari pembenaran akan muncul pembelaan dan dari pembelaan akan muncul dukungan. Dukungan inilah yang akan mengamburkan segala bentuk keterpurukan, kebobrokan dan kegagalan rezim ini dalam menjalankan roda-roda pemerintahan.
Pilpres 2019 memang kurang lebih dua tahun lagi. Bagi masyarakat non-projo tentu ini waktu yang cukup lama. Tetapi, bagi masyarakat projo ini adalah waktu yang singkat. perkembangan dinamika percaturan perpolitikan Indonesia bisa saja seketika berubah-ubah. Untuk saat ini keinginan projo dan partai-partai pendukungnya tentu tidak ingin kekuasaannya berhenti dimakan masa. Selama masa itu ada, selama itu juga keinginan mereka untuk berkuasa.
Tanpa disadari serabut-serabut politik yang dimainkan Jokowi menjadi warning bagi lawan-lawan politiknya yang telah memulai memasang kuda-kuda perlawanan. Hal ini juga tentu menjadi pesan politik buruk bagi partai-partai yang berada di area oposisi, dan juga pesan politik baik bagi partai-partai pemerintah yang semakin menguatkan dukungannya.
Pada akhirnya gelombang arus politk tidak akan berhenti sampai disi saja, bukan berbicara kemarin dan hari ini saja. Tetapi, sepanjang gelombang waktu penyebaran virus-virus politik senantiasa bertebaran dimana-dimana. Bisa saja di sekeliling anda.
Maka diakui atau tidak jadilah pernikahan Bobby-Kahiyang adalah serangkaian peristiwa di ranah privat soal dua insan yang mengikat janji untuk saling mencintai dalam ikatan pernikahan, dan juga peristiwa publik yang memberi banyak pesan tersirat politik.
Belum lagi tahun ini adalah momentum politik jelang 2019 nanti. Sebagaimana yang diungkapkan Natalius Pigai “Tak salah tentunya publik yang juga menganggap bahwa tidak ada ruang yang tidak dipolitisasi termasuk pernikahan anak sendiri sedapat mungkin menjadi arena politis yang bisa dimanfaatkan.
Persis inilah pula, yang membuat pernikahan yang sudah sakral dengan sentuhan agama dan budaya yang luar biasa harus tercoreng dengan bumbu-bumbu politik yang seharusnya tidak perlu ada”.
Oleh karenanya, bagi anda yang anti-anti virus cobalah tidak mengikuti arus politik sistem yang ada. Sebab jika yang terjadi selama ini hanya mengikuti sistem arus politk yang ada, maka sesungguhnya rakyat pun sudah masuk dalam jebakan sistem sosial politik busuk yang berkepanjangan.[MO]