Stempel Pajak Itu Bernama Agama
Oleh : Don San (Pengamat Politik)
Mediaoposisi.com- Pemerintah rezim Jokowi kembali menuai kontroversi dengan berbagai kebijakannya yang dianggap “bajik”. Siaga 1 ditetapkan pemerintah dalam hal perpajakan karena hingga September 2017, penerimaan pajak baru mencapai Rp 770,7 triliun atau sekitar 60 persen dari target dalam APBNP 2017 sebesar Rp 1.283,5 triliun. Tak heran status siaga ditetapkan pemerintah.
Direktur Jenderal (Ditjen) Pajak Ken Dwijugia mengakui hal ini demi mengejehar “uang rakyat” sebesar Rp 500 triliun dalam tiga bulan ke depan.
"Instruksi itu merupakan komunikasi saya dengan teman-teman di lapangan agar semuanya itu prepare dan siaga 1 lah," ujar Ken di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Senin (9/10)
Kesiagaan pemerintah ini menjadikan dalil shahih bagi pemerintah “menghalalkan” berbagai cara untuk menggenjot penerimaan dari Pajak. Pajak akan ditingkatkan melalui intensifikasi dan ekstenstifikasi. Intensifikasi atau kadang disebut dengna istilah “berburu di kebun binatang” bermakna pemerintah akan mengoptimalkan sumber daya dan data yang sudah ada dengan cara memeriksa secara lebih mendalam dan detail serta mencari celah celah dari data pembayar pajak yang sudah pemerintah “kuasai”. Waktu bekerja Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Pajak pun akan menjadi tumbal untuk suksesnya tujuan “mulia” ini.
Tax amnesty pun ditindaklanjuti pemerintah demi lancarnya setoran dari rakyat untuk pemerintah, Hal ini pun diakui oleh Ditjen Pajak. Terlepas dari gagalnya target Tax Amnesty, sebenarnya data wajib pajak adalah poin utama yang diincar dari program Tax Amnesty tersebut, alhasil kedepannya bisa ditagih oleh pemerintah bila diinginkan dengan dalih apapun.
Hausnya pemerintah berburu di kebun binatang berlawanan dengan statemen Menteri Keuangan, Sri Mulyani beberapa waktu lalu yang menegaskan pihaknya tidak akan menekan para wajib pajak yang sudah patu guna memenuhi target pajak.
Agama, yang dikatakan Jokowi untuk tidak membawanya ketika berpolitik rupanya digunakan untuk memuaskan syahwat pembanugunan infrastruktur. Bukan rahasia lagi bila umat Islam terpaksa merelakan dana haji mereka digunakan untuk memuaskan syahwat pembanungna
Tak hanya itu, demi moncernya “upeti” rakyat alias pajak, lagi lagi pemerintah menggunakan agama sebagai stempel “halal” dari pajak. Kali ini bukan hanya umat Islam, namun seluruh agama di Indonesia harus merelakan ajarannya digunakan pemerintah sebagai stempel “halal” dari pajak. .
Direktorat Jenderal Perpajakan (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui dan membenarkan adanya selebaran taat pajak yang kontroversial karena mencatut dalil agama tertentu .
Direktur P2P Humas Ditjen Pajak Kemenkeu Iqbal Alamsyah menjelaskan bahwa untuk“memaksa”masyarakat taat pajak, Ditjen Pajak menggunakan berbagai cara dalam sosialisasi. Salah satunya dengan menambahkan bumbu agama. "Salah satunya dengan membuat materi berupa leaflet sosialisasi pajak dari perspektif agama yang diakui di Indonesia," kata Iqbal pada Senin (10/9).
Ditjen Pajak menggunakan selebaran yang bertajuk 'Yesus juga membayar pajak'. Selebaran tersebut dibuat memang dalam perspektif untuk umat Kristen. Alhasil muncul kontroversi terkait selebaran tersebut.
Foto itu diunggah di Twitter oleh akun @Gmontadaro, Gabriel Bkk, pada Jumat, 6 Oktober 2017."Hmmm kenapa contohnya pake Yesus ya @DitjenPajakRI, "tulisnya
@AlfariziZulkar1: "@Gmontadaro @DitjenPajakRI Masak yesus bayar pajak.entar salah faham lg"
Pencatutan agama Islam juga dilakukan oleh Ditjen Pajak dalam selebarannya. Pemerintah mencatut dalil agama Islam tanpa pijakan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Islam sendiri melarang pajak seperti yang pemerintahan rezim Jokowi lakukan saat ini.
Islam mensyariatkan adanya pajak (dharibah) dengan ketentuan khusus, seperti diambil hanya dari kepala keluarga muslim , hanya dari kalangan mampu serta sifatnya tidak kontinu seperti saat ini.
Hindu, Buddha dan Khonghucu tinggal menanti dalilnya dicatut pemerintah untuk stempel “halal” pajak