Jokowi Butuh Jenderal "Blakasuta
Oleh: Y. Bayu
Mediaoposisi.com-Bukan baru kali ini desakan untuk mencopot Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mencuat. Menjelang aksi demo Bela Islam 212, Desember 2016 lalu, bahkan sempat beredar isu Presiden Joko Widodo akan mencopot Gatot. Salah satu penyebabnya, Gatot dianggap pro kelompok Islam yang menuding Presiden tidak netral dalam kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Bukan Gatot namanya jika diam saja terhadap rumor pencopotan dirinya. Kabarnya Gatot sempat menanyakan langsung hal itu kepada Presiden. Untuk meredakan situasi di tengah panasnya suhu politik menjelang Pilkada DKI Jakarta, di hadapan wartawan Presiden Jokowi yang didampingi Gatot, menjamin tidak ada pergantian Panglima TNI.
Dilihat dari sisi kepatutan- fatsun politik maupun ketatanegaraan, kurang elok seorang Presiden menjamin tidak akan mencopot pembantunya. Namun di saat isu kudeta merebak, Presiden merasa perlu menenangkan Gatot untuk meredam gejolak. Membiarkan Gatot dengan isu-isu pencopotan dirinya yang dihembuskan pihak lawan, menjadi sangat berbahaya. Jika militer tidak solid karena panglimanya "galau", maka pihak lain bisa dengan mudah membelokkan prajuritnya dari garis komando.
Jaminan dari Presiden membuat Jenderal Gatot merasa di atas angin. Dalam berbagai kesempatan dengan bangga Gatot mengatakan dirinya "tanpa jarak" dengan Presiden. Hanya Presiden yang bisa memerintah dan menegur dirinya. Hal ini membuat jenderal-jenderal senior di Istana meradang. Bisa dipahami jika kemudian muncul kusak-kusuk untuk menjauhkan Gatot dari Presiden. Ketika tahu hal itu, bukannya mengubah sikap, Gatot justru semakin menjadi-jadi.
Gatot beberapa kali menyerang Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu dengan bahasa vulgar. Gatot juga terang-terangan beda pendapat dengan Menko Kemaritiman Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam menyikapi isu kudeta.
Akibatnya muncul anggapan Gatot "tidak hormat" kepada seniornya- Luhut dan Ryamizard, padahal mereka juga memegang jabatan yang setara, bahkan lebih tinggi. Anggapan ini tidak sepenuhnya tepat jika kita menggunakan sudut pandang budaya. Seperti diketahui Gatot lahir di Tegal, Jawa Tengah. Dari garis ibunya, Gatot mewarisi darah Banyumas- Prusia-nya Indonesia yang melahirkan sederet jenderal besar baik di masa perang kemerdekaan maupun sesudahnya.
Jenderal Besar Sudirman, Gatot Subroto, Susilo Sudarman, Surono, Supardjo Rustam hanyalah sedikit dari puluhan jenderal yang lahir dan dibesarkan di bumi Wong Inyong itu.
Salah satu sifat orang Banyumas adalah blakasuta dan egaliter. Blakasuta adalah sikap berterus-terang, mengungkap apa adanya, meski mungkin menyakitkan bagi lawan bicaranya atau pihak lain. Sifat ini bertolak-belakang dengan sifat orang Jawa pada umumnya yang lebih suka menggunakan eufemisme, bahkan seringkali menyembunyikan maksud sebenarnya karena diungkapkan dalam bentuk sindiran.
Anak-anak Cilacap, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Tegal, Brebes hingga Kebumen dan sebagian Purworejo di era 80-an, tidak mengenal sungkem dan cium tangan kepada orang tuanya, kecuali di kalangan priyayi yang lebih suka menggunakan adab Wetan. Meski saat ini sudah menjadi kebiasaan di kalangan umum karena pengaruh budaya Jawa Yogya ,Solo dan terutama Islam, namun sifat blakasuta tetap masih ada.
Orang-orang di luar Banyumas akan terheran-heran ketika mendengar anak-anak di daerah Ngapak ini memanggil orang tuanya karena cara memanggilnya tidak beda dengan memanggil teman sepermainannya; keras dan bagi yang tidak terbiasa mendengarnya, terkesan membentak.
Blakasuta berkelindan dengan sifat egaliter- kesetaraan. Karena menganggap dirinya sama maka sikap hormat seperti tidak ada. Padahal tidak demikian. Rasa hormat dan sayang kepada orang tua, senior dan siapa saja yang memang pantas mendapatkan itu, tidak berkurang sedikit pun meski cara penyampaiannya mungkin berbeda dengan orang-orang dari suku bangsa lainnya.
Menyembunyikan sesuatu demi menjaga perasaan orang lain, masih dianggap munafik- bentuk kepura-puraan, yang bertolak-belakang dari sikap blakasuta dan sifat egaliter orang-orang Banyumas.
Dari sisi ini kita bisa memahami mengapa Jenderal Gatot sering berbicara apa adanya dan terkesan tidak menghormati, tidak menghargai senior dan juga kalangan lain di luar TNI. "Jenderal Blakasuta" ini sudah terbiasa mengungkap apa yang terpikirkan, apa yang didengar, dan menyampaikan apa yang memang harus diketahui umum.
Terlebih jika hal itu akan mengenai dirinya seperti isu rumor pencopotan dirinya dan pembelian senjata api dalam jumlah besar tanpa sepengetahuan TNI.
Dari uraian di atas jelaslah, Jenderal Gatot tidak sedang berpolitik ketika menyampaikan isu pembelian senjata ilegal. Juga tidak dimaksudkan untuk menaikkan posisi tawar karena kedudukannya akan aman sampai pensiun April 2018 mendatang.
Jenderal Gatot juga tidak sedang berhalusinasi ketika mengatakan akan menyerbu kepolisian jika memiliki senjata standar militer karena Gatot tahu tidak ada institusi lain di luar TNI yang boleh memiliki senjata perang.
Jenderal Gatot juga tidak sedang berhalusinasi ketika mengatakan akan menyerbu kepolisian jika memiliki senjata standar militer karena Gatot tahu tidak ada institusi lain di luar TNI yang boleh memiliki senjata perang.
Di tengah situasi saat ini, Presiden Jokowi membutuhkan Jenderal yang lugas dan blakasuta seperti Gatot yang memiliki loyalitas tanpa reserve. Gatot bisa "dimanfaatkan" untuk membakar semak agar agar ularnya keluar. Ryamizard mungkin saja tahu hal itu dan dengan sukarela menyediakan dirinya sebagai pematik. Namun tidak demikian halnya dengan Tito.
Jenderal muda ini masih sering terbawa perasaannya sendiri. Contohnya saat Tito mengungkapkan keinginannya untuk pensiun dini. Banyak yang menduga ungkapan itu terkait dengan perubahan sikap politik Istana yang "memaksanya" mencopot bawahannya yang dianggap "mengkriminalisasi" ulama seperti mantan Kapolda Metro Jaya Irjen M. Iriawan.
Presiden Jokowi juga membutuhkan Gatot sebagai jangkar dalam menjaga hubungan dengan umat Islam di tengah kampanye hitam yang dilontarkan kelompok "oposisi". Elektabilitas Jokowi tidak akan terpengaruh dengan isu PKI karena isu itu sudah ditabuh sejak pencalonannya sebagai gubernur DKI Jakarta hingga Pilpres 2014.
Tetapi Jokowi gamang ketika "ditembak" dengan isu-isu Islam terkait kebijakan, bukan pribadinya. Saat ini dari kubu Istana, praktis hanya Gatot yang masih diterima di kalangan Islam "garis keras".
Tidak salah juga andai menganggap manuver Gatot sebagai bagian untuk memastikan dirinya memiliki posisi tawar paska lengser dari kursi Panglima TNI. Namun Gatot bukan sedang berpolitik. Hal semacam itu sangat lumrah dan manusiawi.
Siapa pun dia, tentu ingin memastikan apa yang akan dilakukan dan bagaimana kelak posisi dirinya setelah tidak lagi memangku jabatan. Gatot tidak akan mundur dengan upayanya meski dijepit empat Jenderal sekalipun. Jika hal demikian dianggap berpolitik, maka benar kata Jenderal Gatot; jangankan nonton film Pengkhianatan G30S/PKI, orang kawin saja bisa dipolitisasi.
Baca Artikel Sebelumnya : Analisis Polemik Senjata Impor: Panglima TNI Dijepit Empat Jenderal
Apakah mungkin Jenderal Gatot menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Jokowi? Tetaplah di mediaoposisi.com karena akan ada ulasan dari sudut pandang berbeda.[MO/abk]