Jenderal Gatot Nurmantyo |
Oleh : Don Zakiyamani
Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Islam (JIMI)
Mediaoposisi.com- Berdasarkan hasil survei beberapa lembaga survei yang baru-baru ini dirilis, Jokowi dan Prabowo sama-sama memiliki peluang tumbang dalam pilpres 2019. Keduanya tidak mencapai diatas 50 persen itu artinya belum bisa menang bila pilpres dilaksanakan tahun. Ini sebuah signal bahwa akan ada kandidat kuda hitam.
Rivalitas Jokowi dan Prabowo memang diprediksi masih sengit, namun temuan lembaga-lembaga survei patut dicermati. Temuan Median misalnya, menurut mereka 40 persen rakyat Indonesia menginginkan figur baru atau kandidat alternatif. Hal itu menjadi catatan penting bagi Jokowi maupun Prabowo.
Jokowi sebagai kandidat incumben memang tetap teratas sementara ini. Harus diakui elektabilitas Jokowi turun, setidaknya hasil pilpres 2014 Jokowi-JK meraih 53,15 persen. Namun hasil survei elektabilitas masih besar kemungkinan naik. Jokowi hanya butuh beberapa persen untuk kembali berkuasa.
Lalu bagaimana dengan Prabowo? Saat ini Ketua Umum Gerindra itu memang tidak menjabat dalam pemerintahan. Wajar bila elektabilitasnya menurun. Selain itu tentu ada faktor lain yang tidak kalah penting, adanya kandidat-kandidat lain bermunculan. Faktor ini cukup mengerus suara Prabowo yang jarang muncul dimedia.
Salah satu pesaing Prabowo selain Jokowi, adalah Jenderal Gatot Nurmantyo. Jenderal bintang 4 ini sedang menjadi buah bibir rakyat Indonesia. Walaupun elektabilitasnya masih jauh dari Prabowo apalagi Jokowi akan tetapi Gatot patut dinominasikan sebagai kandidat kuat capres 2019.
Jenderal Gatot bukan tokoh parpol namun elektabilitasnya diatas beberapa pimpinan parpol. Fakta ini semakin menguatkan temuan lembaga survei bahwa rakyat Indonesia butuh kandidat alternatif. Bisa dikatakan Jenderal Gatot dan Prabowo memiliki basis massa yang sama, dengan demikian Prabowo harus berhadapan dengan Jenderal Gatot sebelum nantinya berkompetisi dengan Jokowi.
Setahun kedepan (2018) Prabowo dan Gatot harus menentukan siapa yang akan maju sebagai capres. Berkaca dari hasil pilpres 2014, Prabowo saat ini bukan hanya berhadapan dengan incumbent akan tetapi pendatang baru. Jenderal Gatot bila mau menjadi cawapres Jokowi dengan sendirinya akan mengancam suara Prabowo.
Kelompok nasionalis yang selama ini mendukung Prabowo akan beralih, demikian pula dengan suara umat Islam yang selama mendukung Prabowo. Ketika itu terjadi, Prabowo harus memiliki cawapres dengan elektabilitas yang tinggi. Salah satu faktor yang menyebabkan Prabowo kalah pada pilpres 2014 karena faktor cawapres.
Suara publik kini mulai beragam, ada yang menghendaki Prabowo berpasangan dengan Gatot. Suara ini jelas sekali datang dari pendukung Prabowo yang mulai jatuh hati pada Gatot. Ada juga suara petinggi parpol yang menghendaki Jokowi berpasangan dengan Gatot. Fenomena ini membuktikan bahwa Gatot idola baru yang diperebutkan, sekaligus ancaman serius bagi keduanya.
Bagi Prabowo kehadiran Gatot dalam bursa pilpres bukan hal sepele. Saat Prabowo membutuhkan elektabilitas, disaat yang sama datang penggerus suaranya, Jenderal Gatot. Pekerjaan rumah Prabowo bertambah berat, belum lagi Cikeas yang juga ingin meramaikan bursa pilpres 2019.
Stagnannya elektabilitas Prabowo bahkan cenderung menurun merupakan imbas jarangnya Prabowo tampil. Berbeda dengan Jenderal Gatot yang selalu tampil ketika isu-isu nasional muncul. Instruksinya kepada prajurit TNI untuk memutar film G30S/PKI merupakan instruksi tersukses. Bukan hanya dilakukan TNI akan tetapi masyarakat dan ormas pun mengikutinya.
Masyarakat dengan ikhlas mengikuti arahan Panglima TNI, padahal ia hanya menginstruksikan bagi jajaran TNI. Gatot menjadi idola baru, lambat tapi pasti elektabilitasnya dipastikan akan terus menggerus elektabilitas Prabowo. Bisa jadi nantinya Prabowo mundur dan Jenderal Gatot menggantikannya.
Mungkin skenario ini tidak akan dilaksanakan Prabowo bila Jokowi mengandeng Gatot. Mengingat basis massa yang sama dengan Prabowo, kemungkinan Jokowi bergandengan dengan Gatot sangat besar. Skenario ini menjadi mimpi buruk bagi Prabowo, butuh cawapres sepadan bahkan mengungguli Gatot.
Bila Prabowo menggandeng keluarga Cikeas (AHY), elektabilitasnya belum mampu menandingi Jokowi-Gatot. Bila dua pasang ini yang terjadi pada pipres 2019, pertandingan telah usai sebelum waktunya. Lalu siapakah yang bakal Prabowo gandeng agar mampu mengalahkan Jokowi-Gatot.
Setahun kedepan akan menarik, politik selalu menampilkan kejutan jelang pemilihan. Hal itu terbukti ketika Anies Rasyid Baswedan muncul. Ia tidak melakukan kampanye seperti Yusril, Sandiaga Uno, dan sederet kandidat pilgub saat itu. Anies baru kampanye setelah ditetapkan sebagai kandidat Gubernur berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Bila setahun memimpin Jakarta Anies memiliki prestasi, bukan tidak mungkin ia akan dipasangkan dengan Prabowo. Boleh saja protes Anies harus selesai 5 tahun di Jakarta akan tetapi saat politik membutuhkan semua rencana harus dibatalkan.
Sebagaimana penulis katakan diatas, Jenderal Gatot cenderung terus naik elektabilitasnya. Bagi Jokowi ia bukan ancaman namun bagi Prabowo Jenderal Gatot ancaman serius. Bila skenario Jokowi-Gatot terjadi, pilpres 2019 bisa saja usai sebelum waktunya.[MO/iz]