-->

Deradikalisasi: Proyek Untuk Menyasar Umat Islam !

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen
Ilustrasi

DERADIKALISASI MENYASAR UMAT ISLAM

Oleh : Novia Norma Yunita
Kepala Divisi Humas Nisa LDK KMM STKS Bandung

Mediaoposisi.com-Belakangan ini isu radikalisme menjadi topik yang selalu diperbincangkan. Entah apa maksud dari selalu dihadirkannya isu-isu terkait radikalisme dewasa ini namun, media-media mainstream selalu menyorot berbagi peristiwa yag dikaitkan dengan radikalisme. 

Parahnya, isu ini seakan dikaitkan dengan organisasi islam yang dicap ekstrimis. Bukan hanya organisasi islam saja tetapi simbol-simbol islam pun dikaitkan dengan isu radikalisme. Contohnya saja kasus penghinaan ibu negara oleh seorang mahasiswa beberapa waktu lalu, dalam penangkapannya polisi menyita barang bukti berupa bendera tauhid dan gantungan kunci tauhid yang diklaim adalah salah satu atribut HTI. 

Sungguh miris, melihat para penegak hukum mengkaitkan kedua hal tersebut. Bendera dan gantungan kunci tauhid bisa dimiliki oleh siapa saja. Mana mungkin bendera dan gantungan kunci tauhid itu dijadikan barang bukti untuk memperkuat kasus penghinaan ibu negara? Hal ini justru membangun stigma negative di masyarakat terkait kalimat tauhid yang jelas menyudutkan umat muslim dan juga mengkriminalisasi ajaran-ajaran islam. 

Isu radikalisme yang semakin sering digaungkan akhirnya melahirkan apa yang namanya deradikalisasi. Deradikalisasi sendiri adalah upaya untuk mengubah sikap, cara pandang yang dianggap keras (dengan julukan lain ; fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal. 

Hal ini nyantanya menyasar umat islam. Umat islam yang mempunyai ideologi dan aturan yang jelas dikebiri pemahamannya kepada islam itu sendiri. Bahkan tidak mungkin hal ini akan menimbulkan konflik baru terutama dalam tubuh kaum muslim. 

Saling tuduh radikal, adu domba dan perpecahan ditengah umat muslim. Akan muncul kelompok kelompok yang merasa toleran dan mencap kelompok yang lainnya radikal. Hal tersebut jelas akan menghambat persatuan dan kebangkitan umat muslim dan akan berusaha mengubur dalam- dalam cita-cita umat muslim.


Deradikalisasi akan memunculkan stigma baru terhadap organisasi-organisasi terutama organisasi Islam yang fundamentalis yang dirasa dan dicap membahayakan kesatuan negara. Permikiran-pemikiran kritis dan kritikan terhadap pemerintah akan dianggap sesuatu yang radikal. Padahal hal itu adalah sesuatu hal yang wajar sebagai bagian dari hak tiap warga negara. 

Pemikirian-pemikiran inilah yang nampaknya berusaha dibendung oleh rezim saat ini. Dapat dilihat dari munculnya Perppu no.2 tahun 2017 tentang organisasi masyarakat. Perppu yang digaungkan untuk menjaga kestabilan negara ini justru menyasar organisasi-organisasi islam yang ada di dalam negeri. 

Pada kenyataannya perppu ini hanya berdasarkan persepsi dan pandangan rezim secara sepihak saja. Membubarkan HTI dan ormas islam lain, memperlihatkan bahwa perppu ini hanya menyasar umat muslim saja padahal di luar sana benih-benih PKI mulai bermunculan dan tetap dibiarkan. Apa sebenarnya maksud dari dikeluarkannya perppu no.2 tahun 2017 ini?. 

Selain itu, perppu ini dapat menjadi hukum karet yang bisa ditarik kesana kemari sesuai dengan persepsi dan kemauan rezim yang berkuasa. Bukan tidak mungkin akan ada organisasi islam yang akan dibubarkan lagi setelah ini. dimana “demokrasi” yang begitu diagungkan di negeri? Saat kediktatoran mulai terlihat dan menyasar kaum muslim? 



Pembatasan aspirasi-aspirasi masyarakat dengan alasan deradikalisasi nampaknya bukan hanya melalui perppu saja. Baru-baru ini telah dilaksanakan deklarasi Perguruan Tinggi se-Indonesia melawan radikalisme oleh para rektor di Bali. Isu radikalisme seakan dibersar-besarkan dan menjadi masalah yang harus diselesaikan menurut mereka. 

Apakah benar nyatanya seperti itu? Bukan tidak mungkin deklarasi itu bertujuan untuk menbungkam aktivis-aktivis kampus yang selalu menyuarakan pemikirian-pemikiran ktitis dan kritik mereka terhadap rezim saat ini. padahal di sisi lain, mahasiswa adalah pelopor perubahan (¬agent of change), social control , dan iron stock yang memang notabenenya selalu terbuka dalam meberikan kritik dan berbagai solusi atas kebijakan-kebijakan pemerintah. 

Hal inipun kana menimbulkan stigma baru di kalangan mahasiswa terhadap mahasiswa yang aktif dalam mengkritisi rezim. Mahasiswa pun bukan tidak mungkin akan mengalami tekanan dan menjadi terbatas dalam menyampaikan aspirasi-aspirasinya karena isu deradikalisme tersebut. Apakah mengkritisi pemerintah merupakan bentuk radikalisme? Pertanyaannya, dimana “demokrasi” yang begitu diagungkan oleh negeri ini? [MO/ftr]








Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close