Sebagai Informasi di awal, Hazairin Pohan atau sering disebut Haz Pohan, Lahir di Pematang Siantar, 12 November 1953, menjadi senior adviser, lawyer, lecturer, reproter, adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes di Polandia, 2006-2010, ketua delegasi R.I. dalam ratusan kali perundingan bilateral, regional, dan multilateral, mantan Kepala Pusdiklat Kemlu (2012-2013), Direktur Eropa Tengah dan Timur Kemlu 2002-2006, dosen di Lemhannas, lulusan Fakultas Hukum USU (Hkm Internasional), MA Univesity of Washington, dan PhD candidat, international law, UUM, Malaysia (2016)
beliau termasuk aktif di sosial media. menyampaikan pemikiran pemikirannya. Nah kali ini pemikirannya yang dituangkan dalam akun facebooknya Haz Pohan..soal "Pribumi" Cukup menyejukkan nitizen..
Berikut Kutipannya...
PRIBUMI
RAMAI di berbagai group mempersoalkan statement Gubernur Anies pada saat pelantikannya, karena menyebut kata 'pribumi'.
Yang mempersoalkan saya tanya: "sudah baca pernyataan itu?"
"Belum, bang. Ini kata orang ramai-ramai di medsos."
"Pesan Allah: 'Iqra' bacalah. Karena saya belum baca maka saya tak komen," kataku.
Tak kurang. Banyak pula yang sarjana bahkan mantan pejabat yang ikut-ikutan komen negatif dan rasis pula. Kasihan. Jadi budaya tolol ini memang masih terus berlanjut: tidak baca, tidak faham langsung komen.
"Katanya..katanya..katanya.. Semakin banyak orang bicara tanpa rujukan yang benar, sembarangan mengutip data dari sumber abal-abal. Dan, susahnya orang mau percaya.
Ketika Kompas dan Jakarta Post menulis berita pelantikan hari ini menjadi headline isinya bagus sekali! Kok, yang berkembang di kalangan yang tidak logis dan susah move-on menjadi lain?
Mungkin maksudnya 'kritis' ibarat mencari jarum di tumpukan jerami, lalu menemukan kata 'pribumi'. "Wah ini dia..."
Sayapun akhirnya membaca pidato Gubernur Sandi dengan seksama. Oh, pantaslah diipuji Kompas dan Jakarta Post. Karena penyebutan 'pribumi' atau dulu disebut 'inlander' oleh pemerintah kolonial itu, adalah penduduk setempat di lapisan ketika kawula negeri yang ditindas kolonial. Dan, memang paling bonyok.
Ternyata Gubernur Anies bercerita faktual bahwa di zaman kolonial pribumu menjadi korban. Sekarang beliau mengajak kita bangkit meraih kedudukan terhormat. Nothing wrong with that.
Maka, ketika ajakan agar anak-anak negeri pewaris sah (bukan sekadar pemilik negeri) untuk meraih masa depannya di negeri sendiri diserukan saya tidak melihat hal ini sebagai negatif. Justru orang-orang yang menentang seruan ini perlu belajar sejarah dan mengenal negerinya dengan baik.
Ketika negeri ini diperjuangkan kemerdekaannya oleh kakek-moyang mereka, mereka percaya akan menjadi warganegara kelas satu.
Kenyataan memang tidak demikian. Ada yang missing di antara cita-cita pendiri negara --termasuk salah satunya ayah Gubernur Anies: AR Baswedan-- dengan kenyataan yang kita hadapi keseharian di negeri tercinta.
Lalu, ajakan agar anak negeri bangkit meraih masa depan dan sesuai harkat dan harga diri kemanusiaan ini seyogianya relevan. Apa salahnya?
Jakarta, 17 Oktober 2017
Berikut Kutipannya...
PRIBUMI
RAMAI di berbagai group mempersoalkan statement Gubernur Anies pada saat pelantikannya, karena menyebut kata 'pribumi'.
Yang mempersoalkan saya tanya: "sudah baca pernyataan itu?"
"Belum, bang. Ini kata orang ramai-ramai di medsos."
"Pesan Allah: 'Iqra' bacalah. Karena saya belum baca maka saya tak komen," kataku.
Tak kurang. Banyak pula yang sarjana bahkan mantan pejabat yang ikut-ikutan komen negatif dan rasis pula. Kasihan. Jadi budaya tolol ini memang masih terus berlanjut: tidak baca, tidak faham langsung komen.
"Katanya..katanya..katanya.. Semakin banyak orang bicara tanpa rujukan yang benar, sembarangan mengutip data dari sumber abal-abal. Dan, susahnya orang mau percaya.
Ketika Kompas dan Jakarta Post menulis berita pelantikan hari ini menjadi headline isinya bagus sekali! Kok, yang berkembang di kalangan yang tidak logis dan susah move-on menjadi lain?
Mungkin maksudnya 'kritis' ibarat mencari jarum di tumpukan jerami, lalu menemukan kata 'pribumi'. "Wah ini dia..."
Sayapun akhirnya membaca pidato Gubernur Sandi dengan seksama. Oh, pantaslah diipuji Kompas dan Jakarta Post. Karena penyebutan 'pribumi' atau dulu disebut 'inlander' oleh pemerintah kolonial itu, adalah penduduk setempat di lapisan ketika kawula negeri yang ditindas kolonial. Dan, memang paling bonyok.
Ternyata Gubernur Anies bercerita faktual bahwa di zaman kolonial pribumu menjadi korban. Sekarang beliau mengajak kita bangkit meraih kedudukan terhormat. Nothing wrong with that.
Maka, ketika ajakan agar anak-anak negeri pewaris sah (bukan sekadar pemilik negeri) untuk meraih masa depannya di negeri sendiri diserukan saya tidak melihat hal ini sebagai negatif. Justru orang-orang yang menentang seruan ini perlu belajar sejarah dan mengenal negerinya dengan baik.
Ketika negeri ini diperjuangkan kemerdekaannya oleh kakek-moyang mereka, mereka percaya akan menjadi warganegara kelas satu.
Kenyataan memang tidak demikian. Ada yang missing di antara cita-cita pendiri negara --termasuk salah satunya ayah Gubernur Anies: AR Baswedan-- dengan kenyataan yang kita hadapi keseharian di negeri tercinta.
Lalu, ajakan agar anak negeri bangkit meraih masa depan dan sesuai harkat dan harga diri kemanusiaan ini seyogianya relevan. Apa salahnya?
Jakarta, 17 Oktober 2017