Antara Seruan Bertani Dengan Fakta Pertanian
Oleh. Budi Santoso
Mahasiswa Ekonomi Syariah UIKA Bogor
Petani Padi |
Bogor, Mediaoposisi.com-Beberapa hari yang lalu, Presiden RI Joko Widodo menyoroti banyaknya para alumni IPB Bogor yang berkecimpung dalam direksi dan manajerial BUMN. Orang nomor satu ini menyinggung sedikitnya para alumni IPB yang terjun dalam pertanian. Walhasil ini menjadi pembahasan menarik tatkala memang di sektor pertanian mengalami beberapa permasalahan.
Mengutip dari data BPS (Badan Pusat Statistik) yang menggelar Survei Usaha Tanaman Pangan pada 2014, didapat beberapa fakta menarik. Dari survei yang memotret komposisi petani dalam lima kelompok umur, yakni meliputi di bawah 35 tahun, 35-39 tahun, 40-44 tahun, 45-49 tahun, dan 50 tahun ke atas, terjadi penurunan petani padi sawah pada periode 2008-2014.
Penurunan terbesar terjadi pada kelompok umur termuda. Kelompok umur 35 tahun ke bawah turun lebih dari tiga kali lipat dari 25,93 persen menjadi 8,14 persen. Penurunan juga terjadi pada tiga kelompok umur di atasnya. Adapun kelompok umur 50 tahun ke atas menjadi satu-satunya kelompok yang persentasenya meningkat yakni dari 20,19 persen ke 52,07 persen.
Fakta tersebut menandakan adanya keengganan dari petani muda untuk terus konsisten dalam bidangnya. Pasalnya dengan terus berkecimpung di bidang pertanian, kondisi perekonomian tak kunjung membaik. Salah satu dari sekian banyak petani yang mengeluhkan perihal pendapatan dari bertani ialah Ahmad Syifa (29). Alumnus IPB ini walau tetap menjadi petani padi, namun ia juga menjadi guru untuk menopang kebutuhannya sehari-hari. Salah satu yang membuatnya berkecimpung di bidang lain disebabkan karena hasil panennya anjlok. (Kompas, 5/9/17).
Jika mengukur kebutuhan pangan di Indonesia ke depannya, tentu kebutuhan pangan di Indonesia sangatlah tinggi. Apalagi jika melihat pada tahun 2035, BPS memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia bertambah menjadi 305 juta jiwa dari tahun ini yang berkisar 255 juta jiwa. Bayangkan dengan jumlah penduduk 255 juta jiwa saja banyak pangan yang masih diimpor dari berbagai negara. Bahkan dengan luas lautan lebih besar dari pada daratan pun, garam harus mengimpor.
Maka wajar dalam indeks Ketahanan Pangan Global 2016 yang diterbitkan The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di peringkat ke-71 dari 113 negara dengan skor 50,6 dari skor maksimal yaitu 100. Lebih menariknya lagi dibanding negara sekawasan ASEAN, Indonesia jauh di bawah mereka. Sebut saja Vietnam di peringkat 57, Thailand di peringkat 51, dan Malaysia di peringkat 31.
Hal ini menandakan perlu adanya perombakan tata kelola pertanian. Menjadi suatu boomerang bagi Indonesia bila tidak mau berbenah diri. Apalagi Indonesia masih berharap menjadi negara swasembada pangan. Itu artinya perombakan dari hulu ke hilir musti disentuh.
Diibaratkan dengan pepatah, “ada gula ada semut”, maka pepatah itulah yang paling tepat untuk diskursus kali ini. Untuk menciptakan suatu ketertarikan bagi generasi muda untuk mau terjun di sektor pertanian, tentunya sektor pertanian harus menjanjikan keuntungan. Generasi muda sadar bahwa sektor pertanian adalah sektor yang paling strategis di samping sektor industri.
Namun generasi muda juga tahu bahwa sektor industri jauh lebih menguntungkan ketimbang sektor pertanian. Maka wajar jika remaja lebih memilih sektor industri untuk mengadu nasib. Sudah lebih menguntungkan, tampil dengan kewibawaan pula. Itulah mungkin yang ada di dalam benak kaum remaja.
Potensi Hasil Pertanian |
Inilah yang menjadi catatan penting tatkala pemerintah hendak berbenah diri. Reformasi lahan harus benar-benar bisa memposisikan masyarakat sebagai pihak yang diuntungkan bukan yang dibuntungkan. Pembebasan lahan atas nama infrastruktur jangan melibaskan ladang-ladang yang tumbuh subur. Subsidi ihwal pertanian harus diberikan. Jangan dibiarkan melangkah sendiri atas nama kemandirian.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa pernah mengatakan, “Selama sektor pertanian tidak menguntungkan, generasi mudah di desa tidak akan tertarik”. Inilah esensi dari kebijakan pertanian yakni dengan menciptakan kebijakan yang pro terhadap petani, dan menjadikan petani dan pertanian lebih sejahtera. Hingga pada akhirnya generasi muda seperti Ahmad Syifa lebih banyak lagi.
Lalu bagaiman akan bertani jika keberpihakan pemerintah untuk peduli mengembangkan pertanian hanya sebatas retorika semata. Harusnya sektor pertanian yang dijadikan penopang pangan nasional diperhatikan serius dari cara edukasi para petani, harga pupuk murah, pengembangan benih unggul serta pengemasan pemasaran prodak pertanian sehingga akan meningkatkan pendapatan petani.[MO]