Pengesahan UU Pemilu |
Jakarta| Media Oposisi– DPR akhirnya mengesahkan Undang-undang Pemilu dalam sebuah rapat paripurna yang dipenuhi interupsi dan skors. Ketua DPR Setya Novanto, tersangka dugaan korupsi proyek-EKTP akhirnyanmengetuk palu menandakan pengesahan, setelah mengambilalih pucuk pimpinan sidang dari Fadli Zon, yang ikut walk out bersama fraksinya, Gerindra.
Sidang paripurna yang berlangsung hingga Jumat (21/7) dini hari tersebut memang didominasi oleh partai pendukung pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla. Setelah empat fraksi, Gerindra, PAN, Demokrat, dan PKS walk out, praktis peserta sidang hanyalah anggota koalisi pemerintah, PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, dan PKB.
Di meja pimpinan sidang, hanya ada Novanto, yang merupakan Ketum Partai Golkar dan Fahri Hamzah yang praktis sudah tak berpartai. Setelah insiden walk out, voting tak digelar, paripurna secara musyawarah memilih paket A yaitu presidential threshold 20 persen, parliamentary threshold 4 persen sistem pemilu terbuka, dapil-magnitude 3-10, dan metode konversi suara Saint League Murni.
Pakar Hukum dan Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai pengesahan UU Pemilu yang membuka peluang calon tunggal di pemilu 2019 sebenarnya merupakan bagian dari skenario untuk menjamin terpenuhinya kepentingan partai pendukung Jokowi. Yusril menilai Jokowi akan tersandera karena akan bergantung pada koalisi partai agar mendapat dukungan presidential threshold 20 persen.
Paripurna DPR RI
“Partai-partai itu tidak punya kepentingan apapun dengan Jokowi. Tapi, nanti Jokowilah yang berkepentingan dengan mereka agar dapat dukungan presidential threshold 20 persen,” ujar Yusril dalam keterangannya Jumat (21/7).
Mantan Menteri Hukum dan Kehakiman memprediksi nantinya Jokowi harus mencapai ‘deal’ dengan partai pendukungnya demi lolos presidential threshold. Ia pun harus melobi partai-partai kecil jika terjadi kekurangan suara.
“Jokowi harus deal dengan harga tinggi dengan partai-partai itu. Saya khawatir Jokowi tak paham dengan permainan partai-partai pendukungnya yang akhirnya membuat dirinya terjebak dalam deal-deal yang bisa saja hanya menguntungkan partai pendukungnya tapi tak menguntungkan bangsa dan negara,” ujarnya.
Sarana menjebak Jokowi pun bermacam-macam. Yusril mencontohkan partai-partai pendukung bisa menagih jabatan mulai dari menteri, duta besar, komisi-komisi negara, direksi hingga komisaris BUMN.
Deal-deal ini, kata Yusril, tentunya berbahaya karena makin banyak orang-orang tak kompeten akan mengisi jabatan publik. “Akhirnya potensial menjerumuskan bangsa dan negara,” tutupnya. [MO]