KABARNASIONAL.INFO, JAKARTA - Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan cara tidak menempuh jalur hukum dan terkesan mengambil jalan pintas dianggap merupakan salah satu kegiatan strategis rezim Jokowi menggunakan kekuasaan negara dan kekerasan administratif dalam rangka untuk mengurangi kekuatan oposisi dan anti Jokowi.
“Pembubaran HTI diharapkan sasaran strategis Jokowi tercapai, yakni mengurangi intensitas penggerusan elektabilitas Jokowi pada Pilpres 2019,” kata peneliti senior Network for South East Asian Studies (NSEAS) Muchtar Effendi Harahap, Kamis (20/7/2017).
Menurut Muchtar, pembubaran HTI sesungguhnya bukan soal ideologi atau AD/ART HTI yang tidak benar, tetapi soal HTI yang merupakan salah satu kekuatan politik Islam yang anti rezim Jokowi dan menjadi penghambat keberhasilan Jokowi pada Pilpres 2019.
“Persoalannya apakah rezim Jokowi akan berhasil mengurangi intensitas penggerusan elektabilitas Jokowi dengan kekerasan administratif ini? Saya percaya tidak akan berhasil. Mengapa? Kekuatan HTI terletak pada ideologis dan cita-cita yang mereka miliki. Tak mudah membuat mereka melemah untuk menentang rezim, atau membuat mereka mendukung atau netral terhadap Rezim. Semakin digunakan kekerasan administratif semakin menaik militansi mereka untuk menggerus elektabilitas Jokowi. Mereka semakin berharap rezim Jokowi tumbang, diganti rezim yang membantu eksistensi dan legalitas kelembagaan HTI,” tandasnya.
Muchtar menegaskan bagaimanapun HTI akan melakukan perlawanan baik secara hukum maupun politik. Perlu diketahui kader-kader HTI didominasi usia muda yang belum banyak terbeban dengan masalah-masalah rumah tangga. Mereka umumnya cerdas dan terdidik, punya wawasan international dan kosmopolit.
“Lebih pentingnya lagi, mereka bukan masyarakat pertanian atau agraris atau rural, tetapi masyarakat perkotaan atau urban. Juga tergolong kelas menengah secara politik otonom dan secara ekonomi tidak bergantung pada pemerintahan/negara. Mereka bukan kaum feodal dan rente. Mereka akan terus mengadakan perlawanan terhadap rezim,” tandas alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986 ini, seperti dikutip dari laman obsessionnews. [yk]