Novel Baswedan Bingung dengan Sikap DPR
Berita Islam 24H - TEROR terhadap Novel Baswedan diyakini sebagai bagian dari skenario pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kini ancaman pelemahan itu juga bergulir di DPR melalui Pansus Hak Angket KPK. Kepada wartawan Jawa Pos Agus Dwi Prasetyo dan Imam Husein, Novel bersuara menyikapi hal itu. Berikut wawancara dengan dia.
DPR menggulirkan hak angket KPK. Bagaimana pandangan Anda atas pelemahan KPK yang kian masif?
Saya juga prihatin belakangan ini kok masalah angket dan masalah lain-lain terjadi. Bagi saya, mestinya rakyat berkepentingan dengan masalah pemberantasan korupsi yang benar.
Jadi, kalau kemudian wakil rakyat justru melakukan hal-hal yang bertolak belakang, sebenarnya mewakili siapa sih?
Wakil rakyat di DPR terus mencari kesalahan KPK. Salah satunya prosedur penyidikan dan penyelidikan yang mereka klaim banyak penyimpangan. Bagaimana menurut Anda?
Begini, kalau bicaranya di awang-awang seperti itu, gampang. Sekarang ngomong saja si A itu begini. Itu kan bicara di awang-awang. Kalau memang ada, ya dilaporin, ditangkap. Ayo sama-sama kita tangkap. Di KPK itu, kalau ada yang berbuat jahat, tidak akan disukai. Dan pasti semuanya akan mau nangkap.
Kalau bicara soal prosedur, rasanya penyidik yang paling sering diuji di pengadilan itu KPK. Prosedurnya banyak diuji di praperadilan. Jadi, kalau dibilang prosedur itu (menyimpang), di mana lagi? Jadi, jangan kemudian bicara di awang-awang. Kalau iktikad baik, bicaranya sesuatu yang jelas dan objektif.
Pansus Hak Angket KPK berkunjung ke Lapas Sukamiskin untuk mengorek keterangan napi kasus korupsi. Para napi merasa jadi target penyidik KPK. Benarkah? Saya bisa jelaskan dengan logika yang sederhana. Di KPK itu, bidang kerjanya pisah-pisah lho. Penyidik itu sendiri, penyelidik itu sendiri, pengaduan masyarakat itu sendiri. Masing-masing di direktorat yang terpisah dan nggak nyambung (antara direktorat satu dan yang lain).
Lalu, itu bisa mencegah pesanan atau target?
Kalau ada pengaduan masyarakat, itu masuknya di (bagian) pengaduan masyarakat yang menerima. Kemudian dikaji, baru ke penyelidikan, kemudian ke penyidikan. Kalau penyidik punya motif seperti tadi (menarget pejabat), caranya bagaimana? Karena tidak pernah ada perkara tiba-tiba penyidik jalan sendiri. Nggak pernah.
Nah, mekanisme itu jelas ada. Ketika dibilang isu atau persepsi dan asumsi bahwa penyidik menarget, habis ini pejabat si A ditarget, dia (penyidik) bagaimana caranya? Orang bidang kerjanya lain. Itu bukan penyelidik, itu bidang direktorat lain. Dari situ saja (tuduhan DPR) sudah nggak masuk akal.
Apakah menurut Anda tudingan itu merupakan perlawanan gaya baru terhadap KPK?
Sebetulnya yang paling penting itu begini, kejahatannya ada nggak sih? Sama seperti halnya orang melanggar lalu lintas. Dia melanggar lalu lintas. Kemudian, saat ditangkap polisi, dia (pelanggar) bilang: Pak, jangan nangkap saya dong. Itu lho Pak di kota seberang atau di kecamatan seberang banyak yang melanggar lalu lintas. Itu (alasan pelanggar) kan konyol namanya. Pertanyaan polisi akan sederhana: Kamu melanggar atau tidak? Melanggar. Ya sudah, apa masalahnya?
Baru-baru ini, KPK menetapkan Setya Novanto (ketua DPR) dan Markus Nari (anggota DPR) sebagai tersangka baru kasus e-KTP. Bagaimana nasib politikus lain yang diduga terlibat?
Saya nggak bisa komentar perkara yang sedang berjalan. Perkara-perkara kan nanti ada mekanisme pengujiannya. Yang jelas, kalau sudah ada proses di KPK, di pasal 44 (UU KPK) ditentukan bahwa ada alat bukti yang dimiliki. Di prosesnya nanti ada mekanisme untuk menguji. Dan mestinya atau kelazimannya selalu memang demikian, kalau ada pihak-pihak yang terkait, ya cepat atau lambat akan diproses. [beritaislam24h.info / jpc]