Yusril: Karena Proses Hukumnya Sudah Jalan, Sebaiknya Presiden Keluarkan Abolisi Saja
Opini Bangsa - Pakar hukum tata negara ini menerima usulan dari Habib Rizieq Shihab yang memintanya menjadi ‘juru damai’ atas ketegangan yang terjadi antara pemerintah dengan para ulama dan aktivis Islam yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI)
Menurut Yusril, upaya rekonsiliasi harus secepatnya ditempuh agar bangsa ini kembali teduh dan damai. Kepada Rakyat Merdeka Yusril menuturkan langkah rekonsiliasi yang akan ditempuhnya;
Apa saja langkah yang akan Anda tempuh untuk 'mendamaikan' pemerintah dengan aktivis Islam yang tergabung dalam GNPF MUI, termasuk terhadap kasus Habib Rizieq?
Saya belum akan mengemukakan secara terbuka kepada publik, apa yang sebenarnya harus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Terhadap permohonan dari Habib Rizieq Shihab untuk melakukan suatu rekonsiliasi, saya sudah mempertimbangkan langkah-langkahnya. Semua yang dilakukan sudah ada dalam pikiran saya dan sudah saya rumuskan.
Seperti apa konkretnya?
Penyelesaian masalah ini pada intinya adalah saya tidak hanya melakukan pada Habib Rizieq atau GNPF MUI saja, tetapi para ulama atau mubaligh, juga kepada para aktivis yang dinyatakan sebagai tersangaka melakukan tindak pidana lainnya yang sekarang masih dalam tahap penyidikan, namun belum sampai diadili.
Bukankah ada dua aktivis yakni Jamran dan Rijal yang sudah menyelesaikan masa hukumannya dalam kaitan aksi besar-besar beberapa waktu lalu?
Kalau Jamran dan Rijal itu kan perkaranya Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), sementara kalau dia dituduh makar kan belum. Jadi karena itu saya menganggap, kalau pemerintah menganggap mereka itu melakukan makar meskipun belum terbukti, meski sudah ada bukti-bukti yang cukup untuk menyatakan tersangka, tetapi nanti kan pengadilanlah yang akan memutusakan bersalah atau tidak.
Lantas solusinya apa?
Nah jadi menurut saya, kalau seseorang sudah disangka melalukan hal seperti itu dan bukti permulaannya dianggap sudah cukup dan kemudian Kepolisian menganggap itu tindakan yang preventif yang harus dilakukan, maka kita hormatilah tindakan preventif dan kewenangan dari aparat keamanan tersebut.
Nah ketika proses ini berlangsung maka pemerintah sangat baik jika mengeluarkan abolisi (abolisi adalah hak yang dimiliki kepala negara untuk menghapuskan hak tuntutan pidana dan menghentikan jika telah dijalankan) terhadap mereka yang dijadikan tersangka ini.
Jadi bukan amnesti. Kalau amnesti itu orangnya sudah diadili, dijatuhi pidana, mereka ini kan belum. Jadi kalau dilakukan abolisi orang tersebut juga tidak bisa menyudutkan Kepolisian karena abolisi itu kan alat buktinya sudah ada, tapi pemerintah memberhetikan penuntutan kepada mereka.
Mengapa Presiden harus memberikan abolisi kepada mereka?
Dari situ kan artinya bisa dilihat bahwa pemerintah mempunyai jiwa besar menghentikan proses ini. Dan lazimnya abolisi itu akan ditindaklanjuti dengan rekonsiliasi. Abolisi itu kan dekat dengan politik. Kalau orang maling, orang bunuh orang ya tidak bisa pakai abolisi ini. Tapi kalau dalam kasus pemberontakan meskipun dia korban bisa juga dilakukan abolisi.
Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia apakah seorang Presiden pernah memberikan abolisi?
Pernah, waktu zaman Bung Karno pernah memberikan amnesti abolisi kepada pemberontak Permesta (Perdjuangan Rakjat Semesta). Waktu zamannya Habibi ada amnesti kepada semua tahanan dan narapidana politik. Kemudian pada zaman Susilo Bambang Yudhoyono memberikan amnesti abolisi kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Semuanya itu kan makar. Jadi kalau pemerintah menganggap ini adalah makar, maka memberikan amnesti abolisi adalah langkah yang bijak. Artinya polisi tidak merasa disudutkan, karena mereka telah melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, namun dengan kebesaran jiwa Presiden mereka ini tidak dilakukan penuntutan. Lalu setelah itu dilakukanlah rekonsiliasi. [opinibangsa.id / rmol]