-->

Jakarta Terancam tak Punya Pantai

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Jakarta Terancam tak Punya Pantai

Opini Bangsa - Batavia. Kota yang bersalin nama menjadi Jayakarta lalu berubah lagi menjadi Jakarta memiliki riwayat panjang. Kota yang dianugerahi garis pantai cukup panjang ini meninggalkan cerita sejarah luar biasa. Daerah pesisir pun menjadi saksi penting untuk melacak riwayat kota yang setiap 22 Juni merayakan hari jadinya tersebut.

Saking pentingnya daerah pesisir dalam perkembangan Kota Jakarta, titik nol kilometer kota tersebut dulunya juga berada di daerah pesisir, tepatnya di Menara Syahbandar, Jalan Pasar Ikan, Jakarta Utara. Menara ini dibangun pada 1839. Fungsi awalnya sebagai pemantau bagi kapal-kapal yang keluar-masuk kota Batavia lewat jalur laut. Lokasi menara itu dulunya adalah benteng pertahanan milik Belanda yang didirikan pada 1645. Benteng Culemborg namanya. Sejarawan Betawi, Ridwan Saidi menuliskan, berdasarkan Lalampahan Bujangga Manik Abad XIV, menyebutkan bahwa Pelabuhan Kalapa, –yang didirikan Kerajaan Pajajaran pada abad ke-VIII– Mandi Rancan, Jalan Lodan II, Lodan III, Pabeyaan, Pasar Ikan adalah tempat hunian orang Kalapa ketika itu.

Saya sempat melihat sebuah video hitam-putih di jejaring sosial yang menggambarkan suasana sebuah pantai di Jakarta. Dalam video tanpa suara yang diambil pada 1948 itu menggambarkan suasana pantai dengan deretan pohon kelapa. Anak-anak dan sejumlah orang dewasa dari bangsa Eropa terlihat bermain di pinggir pantai. Tak sedikit yang berjemur di bibir pantai beralaskan tikar sembari membaca majalah. Sementara beberapa pria pribumi menawarkan dagangannya kepada para bule tersebut.

Guna mencari tahu sejarah pantai Jakarta, saya lalu mencoba menelusuri sejumlah pantai di Jakarta. Tujuan pertama adalah Pantai Cilincing yang menjadi lokasi diambilnya video tersebut.

Senin, 19 Juni 2017, kondisi Cilincing berbeda jauh dengan yang berada di video. Perjalanan saya mulai dari sekitar kawasan Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Ketika memasuki daerah tersebut, saya pun disambut dengan permukiman rapat yang padat penduduk. Saya pun menelusuri hingga ke tempat pelelangan ikan basah di pinggir laut. Beberapa jenis ikan ditawarkan. Tidak hanya ikan, kepiting, hingga udang pun juga dijual di Pasar tersebut.

Berjalan lagi ke arah timur, saya tiba di sebuah permukiman di mana banyak ikan asin yang dijemur di depan rumah warga. Aroma ikan asin begitu menyengat hidung, ketika saya melewati kawasan tersebut. Sejumlah jaring-jaring ikan terlihat berjejer di hampir setiap rumah. Sayangnya, setelah saya berkeliling, saya tidak menemukan akses untuk ke tepi laut. Saya pun kembali menyusuri ke arah timur Kali Baru. Seorang warga mengarahkan saya untuk menyambangi 'Pantai Wika' yang tak jauh dari sana.

Sayangnya, meski dari kejauhan melihat dan mendengar deburan air laut, saya tidak bisa masuk hingga ke tepiannya. Jalan saya terhalang pintu masuk proyek pembangunan pengaman pantai yang dilakukan oleh salah satu perusahaan konstruksi serta rapatnya rumah-rumah warga.

Saya lalu bergeser ke arah Marunda. Di Marunda saya sedikit lebih beruntung karena dapat melihat dermaga tempat kapal-kapal nelayan bersandar. Namun kondisi air yang menghitam dan banyak sampah yang menggenang di pinggir dermaga membuat pemandangan di sekitar dermaga jauh dari kesan indah.

Padahal menurut cerita sejarawan Alwi Shahab, salah satu pilihan destinasi wisata air yang digemari masyarakat Jakarta pada medio 1950 sampai 1960-an adalah Pantai Cilincing dan Pantai Sampur. Namun, yang paling banyak didatangi pada akhir pekan menurut Alwi adalah Pantai Sampur.

Sampur berasal dari kata Zandvoort. Nama itu adalah nama pantai di utara Belanda. Tetapi, kata Alwi Shahab, karena orang Betawi menuturkan kata Zandvoort menjadi Sampur.

“Kami ke sana (Sampur) naik sepeda dari Kwitang, tanpa menghadapi kemacetan. Bahkan di tengah jalan sambil adu kecepatan naik sepeda. Mandi ke Sampur tidak membayar sepeser pun. Kita dapat mandi sepuas-puasnya sambil istirahat jemuran menggelar tikar,” kata Alwi. Pudarnya Pesona Pantai-Pantai di Jakarta

Sejarawan Betawi lainnya, Ridwan Saidi mengatakan bahwa Sampur memiliki arti yaitu 'akses'. “Itu dari bahasa kita. Sampur itu artinya ‘Bukalah akses, kami datang’ bukan ‘Zandvort’, bahasa Belanda pun “Zandvort” enggak ada artinya,” ujar Ridwan saat saya temui.

Ridwan mengisahkan, Pantai Sampur kerap ramai didatangi oleh warga Jakarta ketika berlebaran. “Ketika Lebaran, itu sasarannya pantai karena mereka enggak punya pantai,” katanya.

Uniknya, Ridwan menambahkan, warga Jakarta ramai-ramai berwisata ke Pantai Sampur dengan menyewa truk dan membawa bendera merah putih. “Sesampainya di Sampur, justru tidak turun ke air. Mereka hanya menyewa yang namanya Bargas. Bargas itu kapal kecil, bisa muat 20 penumpang dan sudah digerakan dengan mesin, gak dikayuh lagi,” tutur Ridwan.

Menurut penuturan Ridwan, dahulu daerah di sepanjang Teluk Jakarta masih banyak muara yang bisa diakses dengan mudah. “Dari Priok, Muara Baru, Muara Angke, Muara Sedane, hingga Tanjung Pasir enggak bisa kepake (untuk dijadikan pantai). Orang enggak main di muara kecuali untuk nyari ikan,” ujarnya.

Begitu juga di daerah Pelabuhan Kalapa dan Pasar Ikan. “Tidak ada orang normal yang mau bersantai disitu. Jadi bersantai di Pelabuhan Kalapa itu memang belanja di Pasar Ikan, shopping, karena banyak makanan-makanan yang berasal dari laut. Seperti manisan kukur laut (rumput laut), sekarang sudah susah dicari,” imbuhnya.

Di sebelah barat, tepatnya di daerah Ancol, ada sebuah daerah tepi laut bernama Polker atau yang artinya ‘Penuh Air’. Orang-orang juga tidak berminat bermain-main di Polker karena airnya sering tinggi.

“Polker kan sebelahnya pelabuhan, sering tinggi kita gak pakai, baru di Sampur kita main. Dari Polker ke pelabuhan enggak main kita, baru di Sampur kita main. Itu lah mengapa orang zaman dulu menamakan itu Sampur, ‘akses’, cuma di situ aksesnya, baru kita masuk Pantai Cilincing, Marunda Kalapa, kalau Marunda Pulo kejauhan,” kata pria yang sudah banyak menulis buku tentang sejarah tersebut.

Ketika usianya masih kanak-kanak, Ridwan dan kawan-kawannya pernah pergi bersepeda dari rumahnya yang saat itu masih di daerah Sawah Besar, Jakarta Pusat ke Cilincing dan Marunda, Jakarta Utara. “Hanya keindahan yang kita lihat enggak ada yang lain,” kenangnya.

Derai-derai pokok kayu asam masih banyak ditemukan di sepanjang Jalan Martadinata sekarang. “Kalau kita capek ya berhenti sebentar. Di situ ada tukang kelapa dan lontar, terus kita laju lagi naik,” ucapnya penuh antusias mengenang masa kanak-kanak.

Sesampainya di pantai, Ridwan dan teman-temanya memancing ikan ketang-ketang sembari merendam setengah badan. Usai memancing ikan, ikan yang berhasil dipancing kemudian dibakar bersama-sama. “Di Cilincing itu banyak rumah penduduk, adem, jadi kita ngaso di situ. Menjauh dari pantai kita bakar, kita juga bawa sambel, sama nasi,” ujarnya.

Sayangnya, kini keindahan tersebut tidak lagi bisa dinikmati generasi saat ini. Alwi Shahab mengatakan, Pantai Sampur kini telah berubah menjadi kawasan penyimpanan peti kemas. “Sayang, tempat yang menjadi favorit warga Belanda dan Eropa itu sekarang keindahannya hampir tidak berbekas dan dipenuhi timbunan alat-alat berat,” tulis Alwi.

Begitu juga menurut Ridwan yang sudah sejak lama tidak pernah mengunjungi tempat tersebut. “Buat saya, ke daerah itu beratnya apa itu, banyak truk-truk itu saya gak kuat, walaupun dengan mobil ya. Menjemukan perjalanan itu,” keluhnya.

Menurut Ridwan penyebab Pantai Sampur ditinggalkan adalah akibat dari suhu politik yang meninggi dan banyaknya penggusuran rumah warga yang terjadi ketika itu. Gubernur DKI Jakarta, Henk Ngantung pada 1962 menutup sebuah empang yang bernama empang Bandeng di daerah Ancol. Empang tersebut ditutup untuk pembangunan Soekarno Tower.

“Soekarno Tower itu untuk membimbing landing di Kemayoran Airport. Padahal area yg digunakan untuk Soekarno Tower itu hanya seluas lapangan badminton,” kata Ridwan. Tapi sayangnya, cita-cita Bung Karno tersebut tidak terwujud, karena Soekarno dijatuhkan kekuasaannya setelah terjadinya pemberontakan G30S/PKI.

Kemudian datanglah Ali Sadikin yang melarang budi daya ikan darat, seperti bandeng, dan lian-lain. Menurut Ridwan, sejak saat itu situasi menjadi agak tegang karena terjadi bentrokan terus-menerus di Ancol.

Ketika situasi politik meninggi pada 1962, Ridwan beranggapan orang mulai meninggalkan pantai. “Orang mulai melupakan pantai, Ancol ramai tapi terlalu komersial. Lalu Marunda sepi karena juga dibuat gudang peti kemas, sehingga akses menuju kesana jadi susah. Susah sekali,” katanya. Tak Ada Pantai Jakarta yang Gratis Sekarang

Aktifis lingkungan dari Ciliwung Institute, Sudirman Asun yang saya temui terpisah menilai keberadaan pantai menjadi sangat penting agar manusia Indonesia memiliki rasa memiliki laut dan ingat akan budaya air. Sudirman juga menganggap dibangunnya penahan air di sepanjang teluk Jakarta merupakan bentuk ketakutan terhadap laut.

Ia berpendapat, keterhubungan masyarakat secara emosi dan secara penghidupan kultur itu merupakan bagian dari adaptasi. “Jika kamu melihat sungai di Sumatra, dan Kalimantan, model rumahnya adalah panggung, kenapa? Karena itu bagian dari model adaptasi. Nenek moyang kita zaman dulu bijak berbagi ruang dengan air,” tutur Sudirman ketika ditemui di Kedai Kopi Jatam di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Laut tidak semestinya dimusuhi dengan dibuat tanggul, atau dibuat pulau reklamasi dengan harapan mengurangi dampaknya langsung ke Jakarta. Menurut aktifis lingkungan yang juga buka kedai kopi tersebut menilai kebijakan pemerintah hanya sebagai bentuk reaktif.

“Pemerintah harus objektif, jangan cuma reaktif. Pemerintah hanya berpikir solusi jangka pendek, banjir rob ya ditanggul, padahal penurunan permukaan tanah, ketersediaan air bersih pemerintah di Jakarta keterpenuhannya paling kurang 50 persen,” katanya.

Zaman memang sudah maju. Perubahan adalah sebuah keniscayaan. “Kita ingin mengembalikan 100 persen agak susah ya, tapi kalau bisa jangan diteruskan lagi modernisasi fisik, karena kita nanti enggak punya pantai,” kata Ridwan penuh harap.

Tidak heran jika akhir-akhir ini kejahatan, dan kekerasan, serta tindak kriminal semakin marak dilakukan. Ridwan menganggap hal itu disebabkan karena generasi saat ini dinilai kurang piknik. “Jadi kita jangan melihat sepihak saja persoalan ini. Saya setuju hukum ditegakkan, tetapi dibalik itu semua ada problema sosial. Dimana sih kita mau bersantai di Jakarta?,” tanya Ridwan.

Akhirnya saya menemukan pantai yang saya cari, meskipun hanya saya temukan lewat cerita dari sejarawan dan orang-orang yang pernah hidup di zaman keemasan Pantai Sampur dan Pantai Cilincing. Sungguh ironis, ketika letak Jakarta yang berada di pinggir laut, namun hanya sedikit pantai yang bagus dan tidak ada yang gratis. “Kenapa enggak cenderung untuk hiburan rakyat?,” tegas Ridwan. [opinibangsa.id / rci]


Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close