Oleh: Muhaimin Iqbal
BAYANGKAN di dalam suatu jaman yang tidak terlalu jauh dari saat ini, untuk menghirup udara bersih orang harus membeli udara dalam kemasan – seperti kita sekarang membeli air kemasan dalam gelas atau botol. Saat itu akan segera tiba bila pencemaran udara terus berlangsung dan sistem kapitalisme terus mengeksploitasi pasar. Orang-orang seperti kita terpaksa harus bekerja ekstra keras karena untuk bisa bernafas-pun kita harus membayar sebagaimana kita membayar sebotol air yang kita minum. Tetapi kita semua bisa mencegah trend komersialisasi sumber-sumber kehidupan itu, bila kita mau berbuat sekarang.
Mengapa saya katakan bisa segera tiba jaman yang mengerikan ketika manusia harus membeli udara yang dihirupnya itu? karena jaman seperti itu telah tiba di bagian lain dari dunia ini. Di daerah Xinjiang, daerah yang pencemaran udaranya sudah sangat buruk di China – puluhan juta udara dalam kaleng seperti kaleng-kaleng minuman ringan yang ada di sekitar kita sekarang – sudah terjual setiap tahunnya sejak beberapa tahun terakhir.
Apakah pencemaran udara di negeri kita lebih baik dari Xinjiang? Belum tentu.
Utamanya di kota-kota besar pencemaran udara karena kendaraan-kendaraan yang berjubel dalam kondisi mesin menyala tetapi nyaris tidak bergerak – sudah terjadi di hampir semua kota di Indonesia. Belum lagi di daerah-daerah tertentu ada pencemaran parah musiman berupa asap dari pembakaran hutan.
Walhasil, penduduk kota-kota di negeri ini menjadi semakin jarang bisa melihat warna birunya langit. Maka tinggal menunggu waktu saja, sebelum otak-otak kapitalis mengambil keuntungan dari kotornya udara tersebut dengan berjualan udara bersih dalam kemasan – seperti yang terjadi di Xinjiang tersebut di atas.
Lantas mengapa hal ini harus kita cegah bersama? Bayangkan kalau untuk menghirup udara bersih harus membeli – dan di China ini harganya sekitar Rp 10,000 untuk sekaleng ukuran kaleng minuman ringan – maka hanya orang-orang yang berduit yang mampu terus membeli udara bersih ini, hanya orang kaya yang bisa terus bernafas!
Akan lengkaplah penderitaan masyarakat miskin karena semua harus berbayar, dan pendapatannya tidak cukup untuk membayar semua keperluannnya untuk sekedar bertahan hidup. Kapitalisme yang seperti ini akan membunuh secara perlahan-lahan milyaran manusia di muka bumi – karena tidak mampu membeli udara bersih setelah sebelumnya juga gagal membeli air bersih!
Dengan konsekwensi tersebut kita mudah paham, betapa kejamnya kapitalisme yang memperjual belikan sumber-sumber kehidupan seperti air dan kemudian bisa jadi juga udara seperti dalam skenario tersebut di atas. Tetapi sadarkah kita bahwa selama ini sumber-sumber kehidupan lainnya juga telah diperjual belikan dengan sangat mahal?
Semua fasilitas umum mestinya gratis dan tugas para pemimpin untuk mempersiapkannya, bagian dari tugas melayani masyarakat yang dipimpinnya. Pasar misalnya adalah fasilitas umum, dia harus bisa diakses oleh siapa saja – karena melalui pasar-pasar inilah 9 dari 10 pintu rejeki terbuka.
Oleh sebab itu dalam Islam pasar disifati dengan dua hal yaitu falaa yuntaqosonna walaa yudrabanna – jangan dipersempit (agar semua orang bisa berjualan) dan jangan dibebani dengan berbagai beban biaya (agar tidak ada entry barrier bagi siapapun untuk bisa berjualan).
Jalan juga fasilitas umum, maka tugas para pemimpin untuk membuat jalan yang baik bagi rakyatnya. Itulah sebabnya pemimpin seperti Umar bin Khattab tidak bisa tidur nyenyak karena kekawatirannya: “Demi Allah, seandainya seekor keledai di Iraq terperosok jatuh lantaran jalan yang dilaluinya rusak, aku takut dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah di hari kiamat,” katanya.
Iraq jaraknya lebih dari 1000 KM dari tempat Umar bin Khattab memimpin di Madinah, hanya keledai nun jauh di sana saja dia pikirkan – jangan sampai ada yang terperosok jatuh, apalagi manusia di sekitarnya!
Sekarang orang berlomba untuk menjadi pemimpin, setelah itu melupakan tanggung jawabnya – yang kasat mata ya dalam bentuk jalan-jalan yang diperlukan rakyatnya. Sekalinya membangun jalan yang bagus, maka jalan ini dijualnya kepada rakyat yang melewatinya.
Krisis kepemimpinan ini terjadi di seluruh tingkatan kepemimpinan. Secara nasional nampak dengan tumbuhnya jalan-jalan yang baik tetapi ‘dijual’ tersebut. Sedangkan pemimpin-pemimpin di daerah rata-rata nampak dari ketidak peduliannya dengan sarana jalan raya ini.
Di tempat saya tinggal misalnya ada lampu merah yang tidak jelas kapan harus nyala dan matinya. Dalam perjalanan saya ke kantor setiap hari ada penghalang jalan berupa mobil-mobil rongsokan yang mengambil hampir separuh jalan dan dibiarkan saja dan tidak ada tindakan dari otoritas setempat – padahal mobil-mobil tersebut sudah bertahun-tahun menghalangi jalan.
Tetapi ini juga bukan semata salah para pemimpin – sebagiannya tentu juga salah kita sendiri. Itulah sebabnya yang dijanjikan oleh Allah keberkahan dari langit dan dari bumi itu adalah suatu negeri yang penduduknya beriman dan bertaqwa.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” [QS: Al A’raf [7]:96].
Sebab bila penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, maka ketika salah satu dari mereka yang terbaik dipilih menjadi pemimpin – pastilah dia juga beriman dan bertaqwa. Sebaliknya juga demikian, bila penduduk negeri itu belum beriman dan bertaqwa yang sesungguhnya – ya jangan berharap banyak – ketika salah satunya terpilih menjadi pemimpin, ya dia hanyalah cerminan dari kondisi rakyatnya.
Nah sekarang apa yang bisa kita perbuat agar rakyat seperti kita tidak hanya bisa mengeluh dan menjadi korban? Setelah pasar, jalan raya dan air dikomersialkan – jangan sampai udara yang kita hirup-pun nantinya harus dibeli.
Salah satu solusinya yang paling efektif adalah wakaf. Mulai dari yang kecil, wakaf pohon misalnya. Dengan menanam pohon banyak-banyak insyaAllah kita bisa menjaga udara tetap bersih, sehingga diharapkan tidak ada yang punya ide untuk menjual udara dalam kemasan. Kalau udara tetap bersih secara umum, udara dalam kemasan tidak akan pernah ketemu pasarnya.
Komersialisasi air-pun mestinya bisa dihentikan dengan wakaf seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alihi Wasallam di Medinah. Di Medinah sempat ada Yahudi yang jualan air, tetapi bisa dipatahkan dengan wakaf-nya Utsman bin Affan.
Komersialisasi air yang terlanjur merajalela di negeri ini, tentu membutuhkan kekuatan yang sangat besar untuk bisa menghentikannya dengan wakaf. Demikian pula dengan komersialisasi pasar-pasar dan jalan-jalan yang seharusnya gratis dan menjadi fasilitas umum.
Di jaman Khalifah Harun Al-Rasyid, yang membangun jalan dari Bagdad ke Mekkah dengan panjang hampir 1,400 km itu cukup wakaf dari Zubaidah – yaitu istrinya. Bukan hanya jalannya, tetapi juga termasuk rumah-rumah singgah (rest area) di sepanjang perjalanan itu.
Jadi kalau di jaman ini ruas tol terpanjang baru 116.75 KM yaitu tol Cikopo – Palimanan yang baru diresmikan pekan lalu, dan inipun dijual mahal untuk rakyat yang akan melaluinya – maka mestinya ibu-ibu atau istri-istri kita bisa rame-rame mewakafkan harta diluar keperluannya – untuk membangun tol gratis di seluruh negeri ini.
Karena yang perlu kita jaga agar yang gratis itu tetap gratis – jalan , pasar, air, udara dlsb – maka tentu juga tidak cukup hanya ibu-ibu atau para istri yang wakaf dengan yang dimilikinya.
Para lelaki seperti kita-kita ini, perlu kerja lebih keras lagi. Bekerja keras bukan untuk membangun kekayaan untuk diri sendiri – yang menjadi liability nanti di akhirat, tetapi agar kita bisa mewakafkan sebanyak mungkin harta – agar menjadi asset yang sesungguhnya di akhirat, yang bisa dipakai untuk menjaga yang gratis agar tetap gratis tersebut di atas.
Agar kita tidak merasa berat dalam
from Hidayatullah
from
via Pusat Media Islam