Oleh: Lalang Darma - Pengamat Media
Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha tidak yakin pemerintah akan memblokir Facebook. Ini karena pemakai media sosial ini di Indonesia mencapai 130 juta pengguna. "Kalau Facebook masih ngeyel terus, menurut saya perlu blokir. Akan tetapi perlu punya solusi pengganti," kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) di Semarang, Kamis. Menurut Pratama, ada risiko tersendiri bila pemerintah memblokir Facebook. Bahkan, risikonya bisa melebar ke politik dan menimbulkan ketidakstabilan di Tanah Air. (http://republika.co.id/berita/ekonomi/fintech/18/04/12/p72jsc377-pakar-ada-risiko-jika-pemerintah-blokir-facebook)
Catatan
Sosial media hakikatnya netral, tergantung penggunanya. Adakalanya digunakan secara positif ada kalanya digunakan secara negative. Menurut penulis, positif atau negatif ditinjau dari kaidah-kaidah syar’iah. Hendaknya setiap pengguna media social tidak berbohong dan tidak menyebarkan berita bohong karena jelas dilarang agama. Iman merupakan pondasi kejujuran, dan kemunafikan merupakan pondasi kedustaan. Iman dan dusta tidak akan berkumpul, karena salah satu dari keduanya pasti memerangi yang lainnya. Jujur dalam perkataan adalah lurusnya lisan dan tulisan ketika berbicara. Maka setiap pengguna media social harus menjaga postingannya, tidak mengungkapkannya kecuali dengan benar dan jujur.
Poin berikutnya, media massa maupun media social mempunyai peran yang sangat signifikan. Hasrat interaksi antar individu atau masyarakat yang tinggi tersebut menemukan salurannya yang paling efektif dan terandalkan dalam berbagai bentuk media massa maupun media sosial, guna saling berkomunikasi dan bertukar informasi. Faktanya, media sosial memang sangat berpengaruh di wilayah kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. dari aspek politik, media memberi ruang atau arena pertarungan diskursuf bagi kepentingan berbagai kelompok sosial-politik yang ada dalam masyarakat. Oleh karena begitu vitalnya peran media sosial dalam berbagai aspek kehidupan publik, maka ini menjadi sarana adu argumentasi dan menyebarkan konten-konten sesuai kehendak pengguna.
Kita mencermati pernyataan Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) di atas juga pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, tahun lalu yang mendorong perusahaan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Youtube membantu pemerintah dalam mencegah paham radikal di Indonesia. Rudiantara pun mengancam penutupan akses platform media sosial yang tidak kooperatif mendukung pemerintah. Bahkan Rudiantara mengatakan "Mohon maaf teman-teman yang main pakai Facebook, atau Youtube kalau terpaksa harus (ditutup) karena tugas pemerintah bertugas menjaga ini kondusif,".
Sementara terkait istilah radikalisme sendiri banyak pengamat yang menilai ada banyak inkonsistensi dalam narasi 'War on Terror' dan ‘War on Radicalism’ ala barat serta manipulasi atmosfer ketakutan yang diciptakan Negara-negara barat untuk menyerang gagasan-gagasan politik Islam yang telah mendapat banyak dukungan luas di dunia Muslim. Slogan-slogan ini digunakan untuk melanjutkan penganiayaan terhadap umat Islam dalam bentuk UU dan invasi militer. Sementara slogan radikalisme menjadi selimut palsu yang digunakan secara langsung untuk menargetkan setiap Muslim dimanapun dia berada selama dia menyerukan upaya membangun kepribadian Islam secara individu atau sebagai masyarakat Islam sebagai cara hidup yang sempurna.
Penulis setuju pemerintah memberikan sanksi bagi pihak pengelola media sosial yang melanggar privasi dan keamanan data milik pengguna. Penulis juga khawatir jika kebijakan menutup Fb atau youtube dilandasi semangat represifitas dari rezim. Kondisi seperti ini merupakan paradoks dilematis yang telah menciderai kehidupan masyarakat, dimana setiap orang memiliki hak untuk mengakses dan menyebarkan informasi publik yang objektif. Sementara media sosial sebagai sarana pemenuhan informasi alternatif yang saat ini menjadi mainstream justru mulai mendapatkan peringatan penutupan. [IJM]

