Oleh : Muhlisa
(Aktivis Remaja Muslimah)
Mediaoposisi.com-PT Jasa Marga Persero Tbk. resmi memindahkan Gerbang Tol Cikarang Utama ke Gerbang Tol Cikampek Utama dan Kalihurip Utama, untuk menghindari kemacetan parah di musim mudik Lebaran. (Tempo)
Namun faktanya tidak demikian, dilansir Pikiran Rakyat, sejumlah pengguna jasa tol Jakarta-Cikampek mulai mengeluhkan pengoperasian gerbang tol utama yang berlokasi di Kalihurip, Cikampek. Selain menimbulkan kemacetan, penggunaan gerbang tersebut juga memunculkan kenaikan tarif tol di atas kewajaran.
"Saya tidak habis pikir, masa tarif tol dari gerbang Cikopo hingga gerbang utama tarifnya Rp 15 ribu. Padahal, tarif sebelumnya dari Cikopo hingga Karawang Timur hanya empat ribu rupiah," ujar salah seorang pengguna tol Jakarta Cikampek, Ajam, Jumat 24 Mei 2019.
Kenaikan tarif tol itu dinilai Ajam di luar batas kewajaran karena mencapai 300 persen lebih. Dia meminta pihak Jasa Marga mengevaluasi kembali kenaikan tarif tol Jakarta-Cikampek.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, lonjakan tarif berlaku untuk kelas kendaraan golongan I, yakni sedan, jip, truk kecil, dan bus. Peningkatan tarif paling drastis terjadi untuk rute Cikarang Barat arah Cibatu, yakni dari Rp 1.500 menjadi Rp 12 ribu.
Kenaikan tarif 50 persen selanjutnya berlaku untuk rute Jakarta tujuan Cibatu. Dari semula Rp 6.000, kini tarif rute itu melonjak menjadi Rp 12 ribu. Sementara itu, kendaraan yang melaju dari Cikarang Barat menuju Cikarang Timur akan dikenakan tarif Rp 12 ribu dari semula Rp 2.500.
Adapun untuk rute lainnya, yakni Jakarta menuju Karawang Timur, tarif yang saat ini diberlakukan ialah Rp 12 ribu. Sedangkan wilayah 4 dengan rute Jakarta-Cikampek dikenakan ongkos Rp 15 ribu.
Melihat realita tersebut, rezim sekarang ini yang membanggakan pembangunan infrastruktur, pada dasarnya tidak ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Alih-alih memberikan kenyamanan publik, semua pembangunan itu hanya menjadikan Indonesia sebagai sasaran investasi proyek asing, obyek utang luar negeri dan tempat serbuan tenaga asing.
Yang juga perlu dikritisi yang namanya pembangunan infrastruktur adalah membangun dasar struktur perekonomian yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa harus membayar. Contoh infrastruktur adalah jalan raya, jembatan, yang bisa dinikmati oleh siapapun. Sementara jalan tol hanya bisa dinikmati bagi yang bisa bayar. Berarti pembangunan jalan tol adalah ladang bisnis, bukan infrastruktur.
Maka tidak heran lagi jika uang tarif tol yang masuk tersebut, tentu saja masuk ke kantong para investor yang menanamkan sahamnya pada pembangunan infrastruktur ini. Sebagai bagian dari kepemilikan dan imbalan atas investasi yang sudah diberikan. Ini semakin menguatkan fakta bahwa memang pembangunan ini bukan untuk rakyat.
Rakyat hanya dimanfaatkan dengan berbagai propaganda yang menjanjikan kemudahan. Negara hanya menjadi fasilitator dan regulator semata, tanpa menjadi pengelola tunggal apalagi pengendali. Itu sebabnya pembangunan infrastruktur yang mentereng ini hanya sebuah fatamorgana bagi rakyat secara luas.
Polemik jalan tol ini berbanding terbalik dengan Islam, dalam syariat Islam jalan termasuk kepemilikan umum yang setiap rakyat bisa menikmatinya, dan pembangunan sarana publik seperti jalan dilakukan dalam rangka melayani kemaslahatan publik.
Negara berkewajiban menyediakan sarana jalan tersebut sesuai kebutuhan riil di tengah-tengah masyarakat dengan kualitas baik dan gratis, selain itu jalan juga tidak dipandang hanya sekadar untuk percepatan ekonomi sehingga daerah-daerah yang dinilai kurang ekonomis tidak diperhatikan.
Namun jalan dipandang sebagai sarana untuk memudahkan perpindahan barang dalam melaksanakan setiap aktivitasnya. Baik untuk kepentingan ekonomi, menuntut ilmu, silaturahmi, maupun hal-hal lain yang membuat semua aktivitas masyarakat berjalan lancar, aman, dan nyaman.
Namun sayangnya, untuk mewujudkan semua itu saat ini adalah suatu kemustahilan jika ekonomi yang kita anut masih ekonomi kapitalisme yang mengedepankan dan mengejar materi semata.
Seluruh penyediaan jalan dan infrastruktur dengan kualitas terbaik dan gratis hanya dapat kita peroleh jika negara menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan termasuk sistem ekonomi Islam di dalamnya yang akan mengelola harta negara dan milik umum sesuai standar syariah Islam.
Dengan kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara, ditambah kekayaan milik negara, maka tidak ada yang tidak mungkin. Ini sudah dibuktikan dalam sejarah Khilafah di masa lalu, baik di zaman Khulafa’ Rasyidin, Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Utsmaniyyah. Contoh mutakhir adalah Proyek Pembangun Rel Kereta Api yang menghubungkan Hijaz, Syam hingga Istanbul.
Proyek ini dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II hanya dalam waktu 2 tahun. Bukti peninggalan ini masih bisa dilihat di Madinah. Bahkan, hebatnya Sultan Abdul Hamid II membangunnya dengan dana pribadinya. Hal yang sama juga bisa kita temukan pada proyek saluran air bersih di Jalur Armina [Arafah-Mina-Muzdalifah]. Di sini bisa kita temukan Qanat Zubaidah [Jalur Air Zubaidah]. Zubaidah adalah isteri Khalifah Harun ar-Rasyid dari Khilafah ‘Abbasiyyah. Bahkan, proyek ini terhubung hingga ke Baghdad dengan Birkah [Situ] dan ‘Ain Zubaidah [Mata Air Zubaidah]-nya. Proyek ini pun dibiayai oleh isteri sang Khalifah.
Tidak ada yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh negara ini jika sistem pemerintahannya berdasarkan syariat Islam, karena itu sudah saatnya pemerintah dan masyarakat Indonesia berpikir ulang tentang sistem pemerintahan kapitalis yang dianut saat ini, apakah masih perlu dipertahankan dengan konsekuensi kebutuhan masyarakat tidak terkecuali biaya transportasi tidak dapat dikendalikan negara, ataukah menggunakan sistem Islam dengan asas non komersial dan semata-mata hanya mengharapkan Ridha Allah swt.
Sehingga otomatis keberkahan, ketentraman dan ketenangan akan kita rasakan. Maka saat ini tidak ada jalan lain untuk mewujudkan itu semua kecuali dengan menerapkan aturan Islam secara kaffah, dari hulu ke hilir di muka bumi ini, dengan penerapan secara kaffah dalam bingkai khilafah ala minhaj an-nubuwwah.
Wallahu 'alam bi ash-shawab. [MO/AS]