Gambar: Ilustrasi |
Oleh: Amalia Roza Brillianty, S.Psi.,M.Psi.,
(Psikolog)
Mediaoposisi.com-Mudik telah menjadi tradisi tahunan bagi umat muslim di Indonesia. Setiap Ramadhan dan Idul Fitri, semua moda transportasi baik darat, air, maupun udara selalu diserbu penumpang. Mudik senantiasa menyisakan persoalan berulang dari tahun ke tahun. Mulai dari kemacetan, naiknya harga tiket, ketidaknyamanan perjalanan karena kondisi jalan yang rusak, kriminalitas di jalan, dan lain-lain.
Persoalan mudik bukan sekedar masalah teknis yang akan selesai dengan solusi tambal sulam ala kapitalisme. Salah satu contohnya kemacetan yang dianggap selesai bila dibangun jalan tol. Ternyata, keberadaan jalan tol pun tetap tidak membawa perubahan sehingga kemacetan tetap terjadi bahkan semakin parah. Bila macet di jalanan biasa masih bisa menepi, beristirahat serta memenuhi kebutuhan, maka macet di jalan tol benar-benar menyiksa karena area untuk beristirahat hanya ada pada lokasi-lokasi tertentu.
Tentunya, kesemrawutan urusan rakyat ini tak bisa disepelekan dengan anggapan bahwa nanti setelah mudik situasi akan kembali normal. Perlu perubahan mendasar dalam paradigma mengurus masyarakat. Umar bin Khattab ra pernah berkata, "Seandainya ada kambing yang terperosok lubang di Hadramaut, maka aku yang bertanggung jawab terhadapnya." Begitu besar tanggung jawab pemerintah dalam hal ini karena akan berdampak pada pertanggungjawaban terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala di hari akhir kelak.
Kunci kenyamanan transportasi sebetulnya adalah pada fokus pemerintah sebagai pihak yang diberikan amanah untuk mengurus layanan angkutan umum rakyatnya. Pembangunan sarana dan prasarana serta pemeliharaan mutlak harus didukung oleh pemerintah termasuk pendanaan yang memadai. Hanya saja, saat ini sulit untuk mengharapkan peran tuntas pemerintah. Buktinya, pemerintah sedang gencar mengundang asing dan aseng atas nama investasi untuk menyelesaikan problem transportasi di negeri ini.
Padahal, bila pemerintah menjadikan Islam sebagai landasan untuk mengurus urusan rakyatnya, salah satunya untuk masalah transportasi, maka akan ada beberapa perbaikan yang bisa diwujudkan. Pertama, negara akan menjalankan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya” (HR Al- Bukhari). Negara berfungsi sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya menjamin akses setiap individu publik terhadap transportasi publik yang aman, nyaman (manusiawi), serta murah/gratis.
Kedua, transportasi dalam pandangan Islam adalah hajat hidup orang banyak termasuk kebutuhan dasar bagi keberlangsungan aktivitas kehidupan manusia. Untuk itu, negara tidak akan berlepas diri dari urusan transportasi seperti menyerahkannya ke pihak lain untuk kemudian dikomersilkan. Ketiadaan peran penuh negara akan berakibat dharar/penderitaan yang diharamkan Islam. “Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh dibahayakan” (Terjemahan HR Ibnu Majah dan Ahmad). Maka dalam negara Islam termasuk keberadaan jalan tol yang berbayar, tiket pesawat mahal, maupun kondisi angkutan umum tidak layak jalan, itu tidak akan ditemui.
Ketiga, untuk dapat menyediakan layanan transportasi yang nyaman dibutuhkan anggaran yang banyak. Bagi negara-negara yang tidak memiliki paradigma Islam maka pendanaan ini akan diserahkan ke pihak lain karena negara kesulitan dalam anggaran. Sementara dalam Islam, pengadaan anggaran untuk pembiayaan transportasi adalah wajib menggunakan anggaran mutlak. Artinya, ada atau tidak ada kekayaan negara yang diperuntukkan untuk pembiayaan transportasi publik yang ketiadaannya berdampak dharar bagi masyarakat maka wajib diadakan negara.
Bila dalam negara sekuler penghasilan utama negara adalah dari pajak yang memeras rakyat, maka dalam Islam, salah satu sumber kekayaan negara yang jumlahnya berlimpah di suatu negeri adalah barang tambang (Zalum, Abdul Qadiim. Al Amwaal Fii Daulatil Khilafah. Darul Ummah. Beirut Libanon. 2004. Hal 104-106). Dari sumber inilah, diambil anggaran untuk pengadaan moda transportasi darat, laut, dan udara yang memadai secara kualitas dan kuantitas, mulai dari infrastruktur seperti jalan umum, rel, halte, pelabuhan, terminal, stasiun, dan lain-lain sarana dan prasarana transportasi.
Untuk itu, bila dikembalikan pada pertanyaan awal, kapankah kenyamanan transportasi menjadi milik rakyat? Maka, jawabannya adalah saat negara mau menjadikan Islam sebagai satu-satunya acuan dalam membuat berbagai kebijakan untuk mengatasi semua persoalan kehidupan termasuk persoalan transportasi yang sekarang masih menjadi pe-er panjang bangsa ini. Wallahu 'alam bi ash shawab. [MO/ms]