Gambar: Ilustrasi |
Oleh: Wulan Amalia Putri, SST
(Staf Dinas Sosial Kab. Kolaka)
Mediaoposisi.com-Gelombang besar protes masyarakat terus bergulir pasca naiknya harga tiket pesawat sejak Januari 2019 hingga kini. Bukan hanya dikeluhkan oleh masyarakat umum namun juga dikeluhkan oleh pejabat pemerintahan. Salah satu pejabat yang mengeluh adalah Gubernur Riau Syamsuar. Bahkan, ia meminta pegawai Pemprov Riau untuk transit ke negara tetangga sebelum menuju Riau atau ke daerah lain untuk menyiasati harga tiket. Salah satu sebabnya adalah karena harga tiket pesawat ke luar negeri lebih murah dibandingkan harga tiket di dalam negeri.
Menanggapi mahalnya tiket pesawat, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan bahwa persoalan harga tiket bukanlah tanggung jawabnya dan institusi yang ia pimpin. Menurut beliau, yang menjadi urusannya adalah mengatur Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB). Sebagimana pernyataan ini dilansir dalam suara.com pada 17 Juni 2019. "(Mahalnya harga) Tiket itu bukan urusan saya. Jadi urusan dari airlines-nya," ujar Budi Karya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/6/2019).
Dilirik Asing
Ada berbagai pendapat tentang penyebab mahalnya tiket pesawat. Institute for Development of Economics Finance (INDEF) mengaitkan mahalnya tiket pesawat dengan kembali hidupnya praktek kartel yang sebelumnya mati suri. "Sekarang indikasi penyakit kartel monopoli kumat kembali. (Hal itu) seperti terlihat dari mekanisme harga-harga yang disinkronisasi secara duopoli oleh pelaku usaha," kata Ekonom Senior INDEF Didik J. Rachbini dalam diskusi online bertema “Mimpi Tiket Penerbangan Murah: Perlukah Maskapai Asing Menjadi Solusi?” pada Minggu (16/6/2019).
Padahal, praktek kartel ini telah dilarang oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Alhasil, setelah tahun 2000-2019, industri penerbangan bersaing ketat dan harga tiket bersaing murah. Sementara itu, Ekonom Senior INDEF lainnya Nawir Messi berpendapat, mahalnya tarif tiket pesawat disebabkan oleh masih terjadinya penyesuaian-penyesuaian harga yang menyebabkan hilangnya kompetisi di pasar maskapai domestik. Hal ini dapat dilihat pada kecenderungan pola perubahan harga penerbangan.
Yakni, ketika satu maskapai menaikkan harga, maskapai lain mengikuti. Sebaliknya, jika satu maskapai menurunkan, yang lainnya akan ikut turun. Sehingga, harga tidak pernah stabil.
Inilah yang kemudian berupaya disimpulkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU menyebut masih mengumpulkan bukti terkait dugaan persaingan usaha yang tak sehat dalam penentuan harga tiket pesawat. Sebab, industri pesawat saat ini bersifat duopoli atau penguasaan pasar oleh dua perusahaan. Seperti diketahui bahwa bisnis penerbangan dalam negeri dikuasi oleh dua grup perusahaan yakni Garuda Indonesia Grup dan Lion Air Grup.
Garuda Indonesia membawahi Citilink Indonesia dan Sriwijaya Air sedangkan Lion Air Group memiliki beberapa anak usaha seperti Batik Air, Wings Air, Thai Lion Air, dan Malindo Air. Timbul dugaan bahwa dua perusahaan penerbangan ini memiliki kesepakatan mengenai harga yang beredar.
Di sisi lain, Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) berdalih bahwa mereka tidak menaikkan harga. Yang mereka lakukan adalah menggeser atau menyesuaikan harga yang masih dalam rentang Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) yang ditetapkan Kementerian Perhubungan. Meskipun pada kenyataannya, hal ini berpengaruh pada daya beli masyarakat yang menurun sebesar 27%. Jika pun ada maskapai yang untung, labanya akan sangat tipis.
Buntutnya, Sekretaris Jenderal INACA Tengku Burhanudin mencatat, ada sekitar 24 maskapai yang bangkrut. Terakhir, Kalstar Aviation menyatakan diri berhenti sementara dalam industri penerbangan. Kini, tersisa 13 maskapai.
Sebagai solusi masalah ini, maskapai asing diundang masuk ke jalur penerbangan Indonesia. Presiden Joko Widodo berinisiatif mengundang maskapai asing untuk beroperasi di sektor penerbangan Indonesia (VOAindonesia.com, 12/06/2019). Meskipun inisiatif ini dianggap sebagai puncak kekesalan Presiden, namun juga menuai tanggapan dari beberapa pihak. Pengamat transportasi Djoko Setijowarno kepada VOA mengatakan, polemik mahalnya harga tiket pesawat domestik baru-baru ini sebenarnya karena maskapai penerbangan nasional terlalu lama menggunakan tarif batas bawah atau perang tarif demi menggaet jumlah penumpang yang banyak.
Namun, langkah tersebut membuat maskapai itu merugi karena modal yang terus tergerus. Akibatnya, maskapai tersebut kembali menggunakan tarif batas atas. Jadi, bukan masalah maskapai domestik atau asing. Oleh karena itu ia menilai, kalau pun mengundang maskapai asing bukan jaminan bahwa nantinya harga tiket pesawat domestik akan turun.
Perlu diketahui bahwa mayoritas masyarakat tidak menggunakan dana mereka sendiri untuk naik pesawat. Mengutip data dari kementerian perhubungan bahwa 54 persen penggunaan pesawat udara adalah untuk tujuan komersil, 42 persen untuk tujuan dinas, 12 persen untuk tujuan bisnis, 32 persen untuk kepentingan keluarga, dan 10 persen untuk wisata. Sehingga, seharusnya yang dipikirkan adalah bagaimana menggunakan tarif normal bukan justru mengundang maskapai asing. Maskapai domestik seperti Garuda Indonesia menanggapi dengan meminta pemberian insentif dan keringanan. Sementara itu, Lion Air belum mengomentari ide ini.
Meskipun demikian, kenyataannya 3 (tiga) maskapai asing akan masuk melenggok dalam penerbangan Indonesia. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebutkan ada tiga maskapai asing yang siap berkompetisi di pasar dalam negeri. Langkah ini menyusul PT. Indonesia AirAsia yang sudah lebih dulu melebarkan sayapnya ke industri penerbangan Tanah Air. Salah satunya adalah Scoot, sebuah maskapai penerbangan bertarif rendah (low-cost carrier/LCC) milik Singapore Airlines (SIA) Group.
Dikutip dari laman resminya, Scoot saat ini mengoperasikan 24 unit pesawat Airbus 320 dan 16 unit Boeing 787 Dreamliners. Sebelum sepenuhnya masuk ke pasar domestik, Scoot sudah lebih dulu membuka rute internasional yang terhubung dengan sejumlah kota seperti Jakarta, Surabaya, dan Palembang. Bahkan, Scoot pernah menawarkan penerbangan dengan harga terjangkau untuk jamaah Umrah.
Kisruh dunia penerbangan ini tidak terlepas dari paradigma neo-liberal kapitalistik yang hanya memikirkan keuntungan. Padahal, jalur penerbangan dan maskapainya adalah jenis layanan publik yang seharusnya bisa dinikmati oleh masyarakat dengan mudah. Paradigma neoliberal kapitalistik tidak bersandar pada pembenahan ataupun peningkatan sebagai solusi, melainkan bersifat solusi tambal sulam yang sangat tidak solutif.
Pelayanan Publik Dalam Islam
Kisruh transportasi penerbangan yang terjadi akibat struktur kapitalisme hari ini adalah hal yang sangat menzolimi rakyat. Pengabaian amanah ataupun pengkotak-kotakan tanggung jawab berujung pada terlantarnya pengurusan urusan rakyat. Padahal dalam sebuah hadis, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam mengatakan, “Imam adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari). Dapat kita lihat pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, berkaitan dengan transportasi beliau berujar, “Seandainya, ada seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah Subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban diriku di akhirat nanti.” Paradigma seperti inilah yang mendasari pemimpin negara dalam menjalankan kebijakan transportasi.
Selama masa Khilafah Umayah dan Abbasiyah, di sepanjang rute para pelancong dari Irak dan negeri-negeri Syam (sekarang Suriah, Yordania, Lebanon, dan Palestina) yang menuju Hijaz (kawasan Makkah) telah dibangun banyak pondokan gratis yang dilengkapi dengan persediaan air, makanan, dan tempat tinggal sehari-hari untuk mempermudah perjalanan bagi mereka. Sisa-sisa fasilitas ini dapat dilihat pada hari ini di negeri-negeri Syam. Khilafah Utsmaniyah juga melakukan kewajiban ini. Dalam hal kemudahan alat transportasi untuk rakyat, khususnya para peziarah ke Makkah, Khilafah membangun jalan kereta Istanbul-Madinah yang dikenal dengan nama 'Hijaz' pada masa Sultan Abdul Hamid II. Khilafah Ustmani pun menawarkan jasa transportasi kepada orang-orang secara gratis (Khilafah.com).
Bukan hanya manusia yang dilayani, hewan-hewan pun mendapatkan perlakuan yang baik, dilindungi oleh para khalifah. Ibn Rusyd al-Qurthubi meriwayatkan dari Malik bahwa Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melewati seekor keledai yang dibebani tumpukan batu. Menyaksikan penderitaan hewan itu, Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu segera membuang sebagian tumpukan batu dari punggung hewan itu. Pemilik keledai itu, seorang wanita tua, datang kepada Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu dan berkata, “Wahai Umar, apa yang engkau lakukan dengan keledaiku? Memangnya engkau memiliki hak untuk melakukan apa yang engkau lakukan?”
Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Menurutmu, memangnya apa yang membuatku mau mengisi jabatan ini (khalifah)?” Yang dimaksud oleh Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah, ia bertanggung jawab atas semua hukum Islam, yang meliputi pula tindakan yang disebutkan oleh hadis Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, “Berhati-hatilah untuk tidak membebani punggung hewan” (HR Abu Dawud).
Kemudian, pada tahun 1900 M, Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek Hejaz Railway. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul, Ibukota Khilafah, hingga Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem, dan Madinah. Dengan proyek ini, dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan bisa ditempuh menjadi 5 hari.
Jika hal ini kita proyeksikan pada masalah mahalnya tiket pesawat dan masuknya maskapai asing di jalur penerbangan Indonesia, tentu sangatlah jauh berbeda. Dalam Islam, keuntungan materi bukanlah fokus pelayanan. Fokus pelayanan adalah memberikan kemudahan kepada publik untuk menikmati fasilitas negara dan menuai hak-haknya dalam bernegara. Para penguasa yang tidak amanah dan menzolimi rakyat seharusnya merenungi sabda Baginda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, “Jabatan (kedudukan) itu pada permulaannya penyesalan, pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan akhirnya adalah azab pada Hari Kiamat” (HR Ath-Thabrani). Wallahu a’lam bishshawab. [MO/ms]