Mediaoposisi.com-Hari ini telah menjadi neraka bagi kaum muslimin. Langit dipermainkan benci yang bersemayam dalam diri para pengkhianat. Semesta meraung kehilangan keseimbangan. Segala makhluk pencinta surga menangis dalam membisu. Sedang pengkhianatan terbahak dalam tertawa semu
Seorang islamolog asal Amerika, Kevin Barrett ia menuliskan dalam artikelnya yang berjudul Who's afraid of an Islamic caliphate?. "Tidak ada alasan untuk takut dengan kebaikan Khalifah Islam yang baru, kecuali anda adalah bangkir Internasional yang bertujuan memperkosa dan memperbudak dunia"
Dibalik isu khilafah memecah bela NKRI semakin membuka tabir bahwa ada peran dwi fungsi kapolri dalam permainan politik di pemerintahan Jokowi
Kapolri mengaku sulit membubarkan HTI dengan alasan: "Mereka harus menimbulkan kerusuhan yang melibatkan korban, jiwa, atau benda, baru bisa diproses dengan Pasal 107b. Persoalannya, mereka cukup smart, tidak menimbulkan kerusuhan. Di Surabaya dicoba, saat itu ribut dengan kelompok Banser, demikian juga pembubaran di Kalosi, Makassar,
Secara teori, untuk mencipta sebuah legalitas pembubaran secara cepat harus tercipta terlebih dahulu situasi kegentingan, dan kegentingan yang hadir itu salah satunya dipacu dengan konflik horizontal.
Namun sayangnya, organisasi HTI yang muncul di Indonesia lebih dari 20-an tahun itu sama sekali tidak menggunakan metode kekerasan dalam aktivitasnya, bahkan menurutnya HTI tidak akan pernah membuat sayap organisasi semi militer sampai kapanpun.
Inilah yang membuat Perppu no.2 tentang Ormas dibentuk. Dengan segala alasan yang sulit dicerna mereka membuat makar terhadap Gerakan Islam.
Dakwah Khilafah yang dibawakan oleh HTI memang sulit mencari delik untuk pembuktian bahwa Khilafahlah yang akan memecah belah NKRI. Jika perhatikan Indonesia berpecah diawali dengan konflik horisontal Demokrasi
Rangkaian peristiwa dimasa lalu, tidak terlepas dari dampak demokrasi tehadap yang terjadi di sekitaran sejarah perjalanan Indonesia
Kondisi yang sangat jauh dari kondisi aman dan damai saat ini sudah masuk dalam kondisi yang sangat menghawatirkan dan tergolong kritis. Konflik horizontal maupun vertikal dalam segmen fisik ataupun dalam dunia maya kerap terjadi dan seolah tidak pernah mengarah pada perbaikan apalagi permufakatan persepsi.
Bahkan menurut beberapa pengamat maupun masyarakat umum, kondisi sosial khususnya dalam variabel kenyamanan dan kedamaian berada dalam titik terendah dalam sejarah NKRI.
Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan para wakil rakyat dalam mengelola negara khususnya dalam bidang politik, hukum, dan keamanan dianggap sudah dalam titik paling rendah.
Dalam keadaan yang serba gelap seperti ini muncul pertanyaan tentang penyebab dari kondisi yang demikian.
Mantan Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana (Purn) Slamet Subijanto, menyatakan dengan tegas bahwa demokrasi adalah biang keladi dari kerusakan yang terjadi di negeri ini saat ini.
“Perpecahan yang terjadi sebagai akibat demokrasi saat ini sudah pada tingkat sangat membahayakan bagi keutuhan NKRI. Perpecahan yang terjadi pasti akan berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan dapat disimpulkan bahwa sebenarnya demokrasi adalah politik gaya baru memecah belah bangsa.”, ujar Slamet subijanto saat dihubungi oleh Kantor Berita Nasional pada Minggu (2/4/2017) di Cibubur, Depok.
Pria yang pernah mundur dari kontestasi calon presiden pada Pilpres 2009 karena enggan dicalonkan oleh partai politik ini juga memaparkan bahwa demokrasi adalah konsep kekuasaan dan untuk mencapai kekuasaan. Dan untuk mencapai puncak kekuasaan itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara untuk meraihnya.
Dengan kondisi ini, partai adalah pilar demokrasi dan hak suara sebagai taktiknya. Partai berlomba untuk mengumpulkan suara dengan segala macam cara dan sebagai akibatnya tidak terhindarkannya persaingan dan perseteruan yang keras antar partai atau kelompok kepentingan yang ada di dalamnya.
Dan muaranya adalah rakyat terkorbankan menjadi terkotak- kotak mati-matian membela kelompok atau partai pilihannya masing-masing.
Lihatlah sengketa pemilu 2019, umat menjadi terpecah karena ego masing-masing pendukung sementara pihak yang laing melakukan berbagai kejurangan untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan yang telah bentuknya
Rakyat tengah dipaksa untuk mengikuti penguasa tanpa konfirmasi. Meminta begitu banyak namun sedikit memberi. Disatu pihak segala kebijakan dibebani pada rakyat, di lain hal mereka habiskan harta kekayaan rakyat lewat korupsi kolektif secara terang-terangan.
Upeti yang bersembunyi dalam kewajibab pajak dan kartu sakti, BPJS yang diklaim sebagai bentuk saling peduli, jadi bukti bahwa rezim sedang melepas tangannya dari mengurisi rakyatnya. Subsidi dan hak-hak rakyat dicabut. Infrastruktur di kejar hingga abai membangun budi pekerti luhur
Kembali soal HTI, ormas yang dibubarkan karena selalu membongkar kebijakan rezim yang pro terhadap penjajahan asing yang ingin menguasai ekonomi Indonesia
Kini fajar kebangkingtan Khilafah semakin menggemuruh dan dikenal berbagi pelosok negeri. Penguasa hanya mampu membuat opini yang mendiskreditkan Khilafah namun tak dapat menunda kebangkitan umat muslim.[MO/ad]