-->

Paradoks Hoaks di Negeri Demokrasi

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen
Oleh: Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
(Praktisi Pendidikan)

Mediaoposisi.com-Jelang pencoblosan, semakin kuat gesekan antar kubu. Masing-masing kubu saling unggul mengungguli. Di atas, paslon dan tim suksesnya saling berhadapan. Di bawah, rakyat pun gaduh diantara dukung mendukung hingga kadang ejek mengejek.

Keadaan tak berimbang terlihat nyata. Karena salah satu paslon adalah petahana. Segala fasilitas dan alat negara digunakan untuk memuluskan jalan menuju kemenangan. Melakukan kunjungan kerja sekaligus berkampanye, itu sudah jadi pemandangan umum.

Semua media mainstream, dan lembaga survei independen tunduk pada petahana. Isi beritanya selalu menampilkan prestasi gemilang kabinet yang dipimpin petahana. Meskipun fakta di lapngan tak sesuai dengan isi berita. Hasil survei pun selalu memenangkan petahana. Padahal di grassroot sudah tak percaya lagi pada petahana.

Dari sinilah kemunculan hoaks. Karena yang memulai hoaks adalah dari pemerintah sendiri. Hoaks yang dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya berita bohong, dijadikan bahan pencitraan oleh petahana.

Mari lihat hoaks-hoaks yang dibuat oleh petahana beserta kabinetnya. Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian (Kementan), menegaskan bahwa saat ini RI sudah swasembada pangan

Faktanya, dalam empat tahun terakhir luas tanam kedelai hanya berkisar 600.000-680.000 hektare. Gairah untuk menanam kedelai tidak kunjung menguat karena kalah saing dengan produk impor yang lebih murah di pasaran. Impor kedelai diprediksi capai 2,75 juta ton. Jadi, swasembada pangannya ada dimana?

Di tahun 2017, melalui Kementerian Keuangan, pemerintah berjanji tidak menaikkan listrik dan BBM. Faktanya, memasuki bulan Januari 2018, harga BBM sudah naik. Dan tercatat hingga 10 Oktober 2018, pemerintah menaikkan harga BBM sebanyak 6 kali. Mana janji tak menaikkan harga BBM tadi?

Juli 2018, kepala BPS mengumumkan bahwa angka kemiskinan hanya 1 digit yaitu 9,82%. Ini baru pertama terjadi sejak tahun 1999. Angka ini diperoleh dengan menetapkan garis kemiskinan yang pendapatannya Rp401.220 per kapita per bulan

Garis kemiskinan itu sudah sesuai dengan standar dunia, demikian klaim kepala BPS. Fakta menyebutkan, bahwa standar dunia adalah $1,9/hari, jika dikonversikan ke rupiah adalah Rp798.000/bulan. Secara logika saja, bagaimana bisa hidup dengan uang Rp401.220/bulan?

Jika dituliskan, akan semakin banyak hoaks-hoaks yang dibangun oleh pemerintah. Hoaks-hoaks ini semula adalah janji-janji sang penguasa 4,5 tahun yang lalu, ketika bertarung sebagai kontestan pilpres.

Rakyat terkecoh dengan wajah ndesonya, serta kesederhanaannya. Termakan janji-janji manisnya, dan sekarang menelan pil pahit dibohongi.

Di 2019, ia pun mencoba peruntungan yang sama. Namun rakyat seakan tersadar dari mimpi buruknya.

Seakan bangun dari tidurnya, rakyat pun bisa melihat dengan objektif. Terlebih ketika debat pilpres, sang petahana menyajikan banyak data yang menunjukkan keberhasilan kinerjanya. Sedangkan fakta di lapngan justru sebaliknya. 

Rakyat yang sudah mulai cerdas ini tak lagi mengandalkan media mainstream, tak percaya survei-survei. Media sosial menjadi rujukan dan arena menggulirkan fakta dan ide. Perang tagar pun semakin ramai. Tagar haram pilih pemimpin gagal, pembohong, ingkar janji, anti Islam, semakin membahana.

Jelas tagar-tagar ini membuat gerah tim petahana. Elektabilitas kubu petahana semakin menurun, banyak suara yang bermigrasi ke kubu lawan. Pengamat politik memberikan salah satu alasan turunnya elektabilitas, yaitu ketidakpuasan masyarakat.

Jubir petahana menyebut bahwa elektabilitas turun karena adanya hoaks (tribunnews.com, 20/03/2019). Tombol panik pun mulai ditekan oleh pemerintah.  Sebuah pernyataan dari Menkopolhukam membuktikan kepanikan ini.

Wacana menggunakan UU Terorisme untuk menjerat para penyebar hoaks pun meluncur dari mulut Menkopolhukam.

Wacana tersebut menambah gaduh suasana negeri. Rakyat sudah bisa memprediksi kemana palu godam akan dihantamkan. Karena betapa pun banyaknya hoaks yang dibuat oleh petahana dan pendukungnya, tak satupun yang terjerat UU ITE.

Prediksi rakyat itu diperkuat oleh pernyataan ketua Badan Siber. Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengatakan bahwa hoaks yang membangun dan positif itu boleh.

Artinya, ketika pemerintah memaparkan keberhasilan dan kemajuan kinerjanya, meskipun tidak sesuai dengan fakta, maka hal itu terkategori hoaks membangun.

Tak ada hukuman apapun bagi petahana dan pemerintah. Sebaliknya, ketika rakyat, utamanya oposisi, menyampaikan fakta-fakta di lapangan, justru terancam hukuman hoaks. Dan sudah banyak korbannya, mulai dari Jonru Gunting hingga Ahmad Dhani.

Rakyat memiliki data-data primer, diambil dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya langsung. Data tersebut diulas dan diberikan solusinya. Harapannya, bisa sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan.

Ibarat air susu dibalas dengan air tuba. Semua kritik, koreksi, dan saran dari rakyat, justru dipandang sebagai sebuah ancaman. Kritik pun dikategorikan hate speach dan siap dijerat dengan UU ITE.

Koreksi dan saran dianggap sebagai hoaks yang diancam UU terorisme. Inilah paradoks kebenaran di negeri pinokio.

Sejatinya, kritik, koreksi, dan saran adalah wujud kecintaan rakyat pada pemimpin. Jika pemimpin keliru dalam mengambil kebijakan, yang merasakan sakitnya justru seluruh isi negeri.

Dalam Islam, mengoreksi penguasa adalah sebuah kewajiban. Terkategori perbuatan amar ma'ruf dan nahiy munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Berlandaskan keimanan, maka pemimpin yang dikritik takkan merasa terancam kedudukannya. Karena baginya, kepemimpinan adalah sebuah amanah.

Dan amanah akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak. Dia takkan membohongi rakyat, menipu, ingkar janji, php, demi mengamankan kedudukan.

Hadits Rasulullah menjadi rambu dalam kepemimpinannya: "Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad).

Merindukan sosok Umar bin Khattab. Kala itu beliau berkhotbah tentang pembatasan jumlah mahar. Jika ada yang melebihi dari jumlah yang ditetapkan, maka kelebihannya akan diambil untuk kas baitul mal.

Seorang wanita berdiri dan mengkritik kebijakan Umar, sembari membacakan Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 20. Intinya, jumlah mahar atau besaran mahar adalah hak perempuan, bukan ditetapkan oleh negara. Umar pun dengan legowo, tanpa marah, tanpa menghukum, berkata: "Wanita itu benar, Umar yang salah".[MO/ad]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close