Oleh: Siti Masliha, S.Pd
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Nepotisme diartikan setiap perbuatan penyelenggara negara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.(http://www.cnnindonesia.com/nasional/20190206180009-32-366915/jk-klaim-tak-ada-praktik-nepotisme-di-era-jokowi)
Nepotisme dalam kekuasaan memang tidak kita rasakan dalam era Jokowi. Namun nepotisme dalam usaha dan pekerjaan kita rasakan di era ini. Menantu Jokowi Boby Nasution menjadi sorotan publik. Hal ini menyusul ikut andilnya Bobby di proyek perumahan program nawacita. Bobby menjelaskan tahap awal rencana pembangunannya 500 unit rumah dari total keseluruhan 1500 unit rumah. Tahap ini menghabiskan lahan 15 hektar dan untuk selanjutnya keseluruhan ada 35 hektar.
"Ini merupakan program nawacita yang bekerja sama dengan pemikiran dan Bank Tabungan Negara (BTN). Semua anggaran pun sesuai aturan pemerintah, begitu pula perbankan sesuai yang ditunjuk oleh pemerintah," ujarnya. TribunJakarta.com.
Aroma korupsi pun di era Jokowi sangat semerbak. Korupsi tumbuh subur bak jamur di musim penghujan, dari pejabat daerah sampai pejabat negara tersandung kasus korupsi. Dalam kampanye pilpres 2014 Jokowi menyampaikan akan serius memberantas korupsi namun faktanya belum ada penanganan yang serius terhadap kasus ini. Coba kita tengok kasus-kasus korupsi yang menggemplang uang negara yang sangat merugikan rakyat misalnya kasus korupsi E-KPT, BLBI, kasus korupsi kepala daerah dan masih banyak lagi .
Menurut ICW kasus korupsi di era Jokowi tetap tinggi. Salah satu contohnya adalah kasus korupsi bank Century oleh Robert Tantular yang merugikan negara hingga trilyunan. Namun Robert memperoleh pembebasan bersyarat pada Juli 2018 lalu. Hal ini mendapatkan kecaman dari KPK. Itu hanya salah satu contoh kasus korupsi yang terjadi di era Jokowi. Jika kita telusuri kasus-kasus korupsi sangatlah banyak.
Suburnya kasus korupsi di era Jokowi ini akibat dari:
Pertama, sistem (baca: demokrasi) yang subur untuk korupsi. Korupsi berjalan sebagai suatu sistem yang dikerjakan secara berjamaah dan sangat rapi. Korupsi kian marak dilakukan secara berjamaah saling mendukung dan saling menutupi satu sama lain. Sehingga kasus korupsi sulit sekali terbongkar dan diselidiki. Akibatnya dalam menangani kasus ini sangat sulit dan rumit. Para pelaku korupsi adalah orang-orang yang memiliki intelegensi tinggi (orang-orang pintar) yang bisa memutar balikkan fakta serta menutup tindakan yang mereka lakukan.
Kedua, mahalnya kampanye politik. Demokrasi adalah sistem yang mahal. Untuk naik menjadi wakil rakyat baik di daerah maupun dipusat membutuhkan dana yang fantastis. Dana kampanye seoarang caleg bisa mencapai dana milyaran. Wajar jika dia sudah duduk di kursi dewan para caleg ini mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk kampanye dengan cara korupsi. Berharap mendapatkan keuntungan yang lebih dari modal yang telah mereka keluarkan.
Ketiga, hukuman yang ringan untuk para koruptor. Indonesia adalah surga bagi para koruptor. Hukuman bagi koruptor diindonesia hanya hukuman penjara. Hal ini tidak memberikan efek jera bagi para koruptor. Bahkan ketika di Hotel Prodeo para koruptor bisa menikmati fasilatas yang "wah". Bahkan ada seorang koruptor ketika masih di masa tahanan bisa plesiran ke Bali hanya untuk menonton pertandingan tennis. Dimana efek jeranya?
Keempat, hukum tumpul ke atas tajam ke bawah. Hukum sangat tegas ketika "wong cilik" yang melakukan kejahatan. Kasus-kasus pencurian sendal, ayam, dsb sangat sigap aparat langsung menyekap tersangkanya untuk dijebloskan ke jeruji besi. Namun hal ini kontradiktif jika yang melakukan kejahatan "pejabat yang berduit". Para aparat diam membisu dan sangat lamban untuk menangkap tersangka. Bahkan banyak cerita para koruptor melarikan diri ke luar negeri.
Penjelasan di atas sudah sangatlah jelas menjadikan rakyat muak dengan cerita-cerita palsu di era Jokowi. Rakyat berharap korupsi dan nepotisme tidak ada lagi di negeri ini. Rakyat butuh kesejahteraan dan rakyat butuh diurus oleh sang kepala negara. Penegakan hukum yang adil bukan bersarang dalam sistem demokrasi. Karena dalam demokrasi yang membuat aturan adalah manusia. Hukum yang bersumber dari manusia akan menghasilkan hukum "molor" yang menimbulkan celah kemaksiatan (nepotisme dan korupsi).
Hanya dengan islam kita merasakan keadilan. Dengan dasar ketaqwaaan kepada Allah seorang pemimpin memimpin sebuah negara. Ketaqwaan inilah yang membuat para pemimpin takut untuk berbuat kemaksiatan. Sesungguhnya pengadilan Allah adalah pengadilan yang adil. Tidak ada seorangpun yang mampu lolos dari pengadilan Allah dan tidak ada seorangpun yang dapat "menyuap" pengadilan Allah.[MO/sr]