Oleh: Desi Wulan Sari
Mediaoposisi.com-Peristiwa pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir disambut suka cita oleh kaum muslimin. Pembebasan tersebut merupakan perintah Presiden Jokowi dan diwakili oleh pengacara kepresidenan Yusril Ihza Mahendra. Hal ini membuat masyarakat memberi apresiasi terhadap kedua tokoh tersebut.
Dengan harapan apa yang dilakukan penguasa saat ini, akan berefek pada perubahan positif terhadap dukungan politik masyarakat pada mereka. Alih-alih mewujudkan harapan terbesar mendapat tambahan suara dukungan kaum muslimin, berbagai macam kritikan dan berita malah melemahkan posisi mereka.
Sayangnya Pemerintah terkesan plin-plan dan tidak kompak dalam membuat satu keputusan penting. Baru-baru ini, secara mendadak diumumkan kembali bahwa pembebasan ABB harus ditinjau ulang.
Bahkan Menteri Koordinasi Bidang Politik dan Keamanan Wiranto menyatakan bahwa pembebasan ABB harus dikaji ulang katena berbagai macam pertimbangan, aspek permintaan keluarga karena kemanusiaan ataupun aspek ideologi dan politiknya (21/1/10).
Berita ini membuat semua pihak terkejut dan seolah tidak percaya dengan kabar berita yang mendadak ini. Beberapa tokoh, ulama, dan pengamat politik pun banyak berkomentar terhadap keputusan ini.
Ketidakkompakan antara presiden dan para menterinya semakin menguatkan dugaan masyarakat bahwa mereka tidak serius saat ini dalam mengelola amanah sebagai pemimpin negara. Terbukti dalam hal mengambil keputusan sepenting ini.
Padahal pemimpin yang memiliki karakter kuat tentu akan berpegang teguh pada apa yang telah diyakini dan diputuskannya karena berasal dari pemikiran yang matang, serta kewenangan (power) yang dimiliki seorang pemimpin negara seharusnya dihormati dan dijalankan oleh pembantu aparatur negara, seperti para menteri.
Bukan sekedar "test case" di permukaan atau malah langsung mengambil alih bahkan mengubah keputusan yang telah diambil seorang kepala negara. Seakan-akan kepala negara tidak lagi memiliki kekuatan atau kekuasaan dalam dirinya (powerless).
Layaknya "test case" jika sesuai harapan, maka keputusan itu diteruskan, sedangkan jika hasilnya jauh dari harapan penguasa maka keputusan itu bisa dirubah kembali sesuka mereka. Ini lebih seperti guyonan politik, mempermainkan nasib seseorang demi kepentingan tertentu.
Jika kasus seperti ini dianggap sebagai guyonan, memang lucu dan menggelikan apa yang telah terjadi. Hingga seperti pentas, para pemainnya berebut untuk mendapat peran penting dan bintang utama dalam pentas tersebut.
Tetapi sayangnya ini adalah sebuah negara yang nyata dan tidak bisa dijadikan panggung peran bagi para aparatur negaranya. Ada sebuah amanah dan tanggung Jawab penuh mengurus negara dan rakyat dengan adil dan bijaksana, memberi kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.
Saat ini, masyarakat semakin kritis dan semakin sadar akan pentingnya pemimpin negeri yang kuat kepribadian, kuat akal sehat, memiliki trust yang tinggi, memiliki integritas dan power of mind yang sesuai karakter seorang pemimpin.
Masyarakat sudah bisa menilai bagaimana pemimpin yang berkuasa hari ini. Tentunya mereka merindukan pemimpin yang tidak memberikan janji-janji demi pencitraan lalu pada akhirnya mengingkari. Yaitu pemimpin yang takut melanggar ketentuan Allah swt, dengan berlaku zalim pada rakyatnya.
Pemimpin dalam Pandangan Islam
Islam mengatur segala aspek kehidupan, dari ibadah, muamalah, ekonomi, hingga politik. Dan kepemimpinan memegang peranan sangat penting karena sangat memeengaruhi bidang lainnya.
Kepemimpinan dalam Islam dikenal dengan istilah imamah, sedangkan pemimpin disebut imam. Kedudukan seorang pemimpin dalam Islam sangatlah penting.
Bahkan keberadaannya fardhu kifayah, dimana setiap manusia akan berdosa apabila tidak adanya seorang pemimpin pun dan pembebanan hukum tersebut terbebas manakala salah seorang dari umat telah terpilih menjadi pemimpin.
Untuk menjalankan aturan Allah Swt di muka bumi dibutuhkan seorang pemimpin yang akan mengayomi manusia ke jalan yang benar sesuai dengan tuntutan syariat. Banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang pentingnya pemimpin dalam kehidupan ini.
Bahkan awal penciptaan Nabi Adam as di alam semesta ini pun dengan tujuan menjadikannya sebagai khalifatul ardhi (pemimpin di muka bumi) sebagaimana firman Allah dalam Alquran. (Surah Albaqarah: 30).
Di samping itu pula kewenangan yang dimiliki seorang pemimpin itu dapat digunakan untuk kemaslahatan agama dengan membuat aturan-aturan yang berpihak dalam kemajuan ajaran agama.
Jabatan itu penting agar kita punya pengaruh dan kewenangan sehingga dengan jabatan tersebut kita akan bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang pada ujungnya memberi kesejahteraan dalam masyarakat.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin jilid 3 menjelaskan bahwa hakikat dari seorang pemimpin adalah pengaruh yaitu sejauh mana ia disegani dan dicintai oleh rakyat dengan hati yang iklhas.
Pertanyaannya adalah siapakah orang yang paling layak untuk posisi seorang pemimpin? Karena kepemimpinan dalam Islam yang ideal, itu memiliki dua sifat dasar: kuat (mampu) dan amanah.”
Adapun dalil seorang pemimpin antara lain:
Dalam firman Allah disebutkan: "sesungguhnya manusia terbaik yang anda tunjuk untuk bekerja adalah orang yang kuat dan amanah.” (QS. Al-Qashas: 26).
Dalil lainnya adalah pujian yang diberikan oleh penguasa Mesir kepada Nabi Yusuf:
“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi (kuat secara posisi) lagi dipercayai pada sisi kami”. (QS. Yusuf: 54).
Demikian pula karakter Jibril yang Allah amanahi menyampaikan wahyu kepada para rasul-Nya, karakter Jibril yang Allah puji dalam al-Quran: "Sesungguhnya Al Qur’aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi amanah" (QS. At-Takwir: 19 – 21).
Demikianlah kriteria pemimpin ideal yang Allah sebutkan dalam al-Quran. Kuat dalam arti mampu secara profesional dan amanah.
Kemudian, Syaikhul Islam menjelaskan batasan kuat (mampu) dan batasan amanah.
Sifat ‘kuat’ (profesional) untuk setiap pemimpin, tergantung dari medannya. Kuat dalam memimpin perang kembali kepada keberanian jiwa dan kelihaian dalam berperang dan mengatur strategi.
Karena inti perang adalah strategi. Demikian pula kembali kepada kemampuan dalam menggunakan senjata perang.
Sementara kuat dalam menetapkan hukum di tengah masyarakat kembali kepada tingkat keilmuannya memahami keadaan yang diajarkan al-Quran dan sunah, sekaligus kemampuan untuk menerapkan hukum itu.
Sedangkan Sifat amanah, itu kembali kepada kesungguhan orang untuk takut kepada Allah, tidak memperjual belikan ayat Allah untuk kepentingan dunia, dan tidak takut dengan ancaman manusia. Kriteria inilah yang Allah jadikan standar bagi setiap orang yang menjadi penentu hukum bagi masyarakat.
"Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" (QS. Al-Maidah: 44).
Maka seorang pemimpin harus memiliki suri tauladan yang baik sesuai dengan tuntunan Syariat, dimana negara sebagai penuntun dan penjaga yang didalamnya terdapat masyarakat yang diurus sepenuhnya dalam penjagaan negara dibawah naungan sejahtera dan membawa keselamatan di dunia dan akhirat.[MO/ad]