Gambar: Ilustrasi |
Oleh : Pupung Ummu Ayyubi
Mediaoposisi.com-Beragam persoalan negeri mencuat satu persatu. Riuh rendah pembahasan saling berjibaku. Termasuk RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang terus didesak untuk segera diketok palu.
Digulirkan sejak tahun 2016 oleh Komnas Perempuan kepada DPR, RUU PKS ini ibarat kotak Pandora dalam mitologi Yunani. Tampak indah dari luar, tapi berisi keburukan di dalamnya.
Alih-alih bertujuan memberikan penyelesaian untuk kekerasan seksual, RUU ini justru sarat dengan konsep Barat yang liberal. Diantaranya rawan konten terhadap pelegalan zina, hubungan sejenis dan seks bebas. Sekalipun bantahan telah digulirkan dari para pengusung dan pendukung RUU PKS ini.
Fakta di luar pun telah berbicara. Ketika sebuah hukum yang sudah dilegalisasi justru menjadi bumerang bagi korban, sementara pelaku pelanggaran melenggang bebas dalam zona nyaman.
Seperti yang terjadi pada kasus Baiq Nuril. Seorang guru honorer di Mataram, yang merupakan korban pelecehan seksual secara verbal. Bukannya mendapat hak pembelaan, justru vonis bersalah yang dijatuhkan. Sementara pelaku pelecehan dan pelaku penyebar rekaman suara justru bebas dari jerat hukuman. (m.cnnindonesia.com)
Begitulah fakta dari hukum racikan manusia. Kaya dengan beragam rasa dari logika dan kepentingan yang ada. Sementara fakta sudah nyata di tengah-tengah umat tentang terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual yang kian marak.
Sesungguhnya akar masalahnya sudah bisa kita tarik keluar. Bahwa hal-hal tersebut adalah akibat dari tidak adanya aturan terhadap pergaulan dan interaksi sosial di masyarakat.
Gencarnya serangan pornografi dan pornoaksi yang merajalela bisa dengan sangat mudah diakses siapa saja. Aurat laki-laki dan perempuan dapat dipertontonkan secara bebas sehingga memicu kemunculan naluri biologis (gharizatun nau) manusia. Hal itu dilakukan tanpa disertai aturan yang mampu mengontrolnya. Lalu, timbullah penyakit di masyarakat, yaitu seks bebas dan hubungan sejenis.
Ketika naluri biologis tersebut tersalurkan atas dasar suka sama suka, maka berujung pada zina atau prostitusi. Ketika tidak tersalurkan secara suka sama suka, terjadilah tindak perkosaan.
Selanjutnya dari zina dan perkosaan tersebut, bisa menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Akibatnya, dapat berujung pada tindakan aborsi.
Solusi tuntas untuk masalah ini, sejatinya, bisa diselesaikan dengan penerapan syariat Islam. Dalam syariat Islam, laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk menjaga auratnya dan menundukkan pandangannya (Al Qur'an Surat An Nur ayat 30-31 dan Al Ahzab ayat 59). Aurat adalah bagian dari tubuh manusia yang wajib ditutupi dari pandangan orang lain dengan pakaian. (Wikipedia)
Selanjutnya, Islam juga melarang adanya khalwat. Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas RA,
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda : ”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang perempuan, kecuali (perempuan itu) disertai mahramnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Selain itu, Islam pun melarang ikhthilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan), sebagaimana dijelaskan dari Abu Dawud Ath-Thayalisi yang meriwayatkan di dalam Sunannya, dan lainnya, dari Nafi’, dari Ibnu umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membangun masjid, beliau membuat pintu (khusus) untuk wanita, dan dia berkata: “Tidak boleh seorangpun laki-laki masuk dari pintu ini."
Hadist lain dari Abu Dawud yang diriwayatkan dalam Sunan dan Bukhari di dalam Al-Kuna, dengan sanad keduanya dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari, dari bapaknya Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya. (Ini lafazh Abu Dawud).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, dalam hadits diatas, mencegah ikhthilath laki-laki dan para wanita di pintu-pintu masjid, sewaktu masuk ataupun keluar. Hal itu juga dilakukan beliau saat melarang para wanita ikhthilath di jalan karena hal itu akan menyeret kepada fitnah (kemaksiatan; kesesatan), apalagi jika ber-ikhthilath yang selain daripada itu.
Aturan-aturan Islam inilah yang sesungguhnya harus diterapkan di tengah-tengah umat. Sehingga pintu zina bisa ditutup. Pelecehan ataupun kekerasan seksual pun bisa dihindari.
Tambahan, penegakan sanksi/hukuman dalam Islam, yaitu jinayat (qishas, hudud dan ta'zir) wajib dilakukan sebagai bentuk efek jera pada pelakunya. Seperti sanksi hudud untuk pelaku zina, yaitu rajam untuk pelaku yang sudah menikah dan cambuk 100 kali untuk yang belum menikah.
Karena sejatinya Islam telah hadir dengan kesempurnaan. Mengisi jawaban dari setiap tanya kehidupan. Juga menjadi penjaga dan perisai untuk segenap insan. Wallahu a'lam. [MO/re]