Oleh: Novida Balqis Fitria Alfiani
\Mediaoposisi.com-Menteri Keuangan Sri Mulyani mengapresiasi penerimaan negara yang mencapai 100 persen pada tahun 2018. Akan tetapi, benarkah tercapainya penerimaan negara merupakan prestasi rezim di tahun 2018? Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan pernyataannya dibawah ini.
“Pada tahun ini untuk pertama kalinya Kementerian Keuangan tidak mengundang-undangkan APBN Perubahan dan tahun 2018 ditutup dengan penerimaan negara sebesar 100 persen, belanja negara mencapai 97 persen dan defisit atau primary balance dibawah 2 persen sejak 2012,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, Senin (31/12/2018). (liputan6.com, 31/12/2018)
Pernyataan Menteri Keuangan ini bertolak belakang dengan seorang analys ekonom, Gede Sandra seperti pernyataannya dibawah ini.
“Jadi tercapainya target 100% penerimaan negara dan berkurangnya defisit ternyata bukan berasal dari perbaikan kinerja. Indikator kunci (key indicator) dari kinerja Menteri Keuangan sebenarnya adalah rasio penerimaan pajak,” kata analys ekonom Gede Sandra, Jakarta, Kamis (3/1/2019). (finance.detik.com, 3/1/2019)
Penerimaan negara yang disampaikan Sri Mulyani seperti yang terpapar di liputan6.com hanyalah angka-angka. Namun dalam hal ini, siapakah yang sebenarnya diuntungkan? Apakah rakyat yang diuntungkan dan disejahterakan? Apakah sejak keluarnya data tersebut, sudahkah kondisi rakyat sejahtera? Jika rakyat masih miskin ketika data itu keluar, lalu benarkah data tersebut?
Namun, seperti pernyataan Gede Sandra sebenarnya kinerja Menteri Keuangan hanyalah penerimaan pajak dari rakyat. Pajak yang ditarik rakyat semakin tinggi dan mencekik rakyat. Jika data penerimaan itu benar, lalu siapa yang diuntungkan jika bukan rakyat? Pasti sudah menjawab sendiri, siapa yang diuntungkan. Bukanlah rakyat, akan tetapi para kapitalis, swasta, dan kalangan penguasa sendiri. Sangat miris!
Jelas, rakyat selalu menjadi pihak yang dibodohi oleh penguasa melalui angka-angka dan data-data. Bagaimana tidak, data tersebut muncul disaat rakyat masih terpuruk. Bahkan banyak dari rakyat yang kondisi ekonominya dibawah garis kemiskinan. Maka rakyat seharusnya sadar, dengan keadaan di negeri ini, tidak mudah percaya hanya dengan data-data. Harus sinkron antara data dan fakta di lapangan.
Masih sangat segar dalam pikiran, utang negeri ini semakin bertambah hingga ribuan trilliun. Jika APBN memiliki beban utang, siapa yang berkewajiban untuk membayar angsuran utang pokoknya ditambah dengan bunganya (ribanya)? Jawabnya tidak lain adalah rakyat! Melalui apa? Melalui beban pajak yang akan senantiasa dinaikkan besarannya; atau dengan memperbanyak jenis-jenis pajaknya!
Inilah buah simalakama dari sistem APBN konvensional. Jika negara menetapkan anggaran defisit untuk menyelamatkan ekonomi rakyatnya, dalam jangka panjang justru akan membebani rakyatnya. Namun, jika pemerintah tidak mau memberi bantuan kepada rakyatnya, tentu ekonomi rakyat akan semakin terpuruk. Mana kebijakan yang harus dipilih? Inilah lingkaran setan dari ekonomi kapitalisme, yang tidak pernah akan berujung pangkal.
Apabila kita bandingkan dengan konsep penyusunan APBN di negara Khilafah, maka akan terlihat jelas perbedaannya. Tentu prinsip dasar dan kaidah-kaidah penyusunan sangat berbeda dengan prinsip penyusunan APBN dalam ekonomi konvensional.
Perbedaan prinsip yang paling mendasar antara APBN konvensional dan APBN Khilafah adalah menyangkut sumber-sumber utama pendapatannya maupun alokasi pembelanjaannya. Sumber-sumber penerimaaan negara Khilafah, yang lebih dikenal dengan sebutan Kas Baitul Mal, sama sekali tidak mengandalkan dari sektor pajak. Bahkan negara sedapat mungkin tidak memungut pajak dari rakyatnya.
Sumber-sumber utama penerimaan Kas Baitul Mal seluruhnya telah digariskan oleh syariah Islam. Paling tidak ada tiga sumber utama, yaitu
(a) Sektor kepemilikan individu, seperti: sedekah, hibah, zakat, dsb.
(b) Sektor kepemilikan umum, seperti pertambangan, minyak bumi, gas, batubara, kehutanan, dsb.
(c) Sektor kepemilikan negara, seperti jizyah, kharaj, ghanimah, fa’I, ‘usyur, dsb.
Jika sumber utama penerimaan negara sudah jelas, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan ketentuan pembelanjaannya?
Seorang kepala negara (Khalifah) dalam negara Khilafah memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan anggaran belanjanya tanpa harus meminta persetujuan Majelis Umat (atau DPR dalam sistem ekonomi kapitalisme). Penyusunan anggaran belanja negara Khilafah juga tidak terikat dengan tahun fiskal sebagaimana dikenal dalam sistem ekonomi kapitalisme. Khalifah hanya tunduk pada garis-garis atau kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
Khalifah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pos-pos pengeluarannya, dan besaran dana yang harus dialokasikan, dengan mengacu pada prinsip kemaslahatan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya, berdasarkan pada ketentuan yang telah digariskan oleh syariah Islam, agar jangan sampai harta itu berputar di kalangan orang-orang kaya saja (QS al-Hasyr [59]: 7).
Maka mari segera kita tinggalkan lingkaran setan ekonomi kapitalisme dalam sistem yang selama ini mencengkram negeri dengan sistem kapitalisme demokrasi nya. Sebagai gantinya, bersegeralah kita mewujudkan kembali kehidupan Islam dalam naungan khilafah Islam yang akan menyejahterahkan semua warga negara dengan pengaturan ekonomi yang sesuai syariahNya.[MO/sr]