Oleh: Nasrudin Joha
Mediaoposisi.com-Anda tidak perlu heran, kenapa diskursus ruang publik pra Pilpres ini disesaki dengan berbagai ujaran dan saling klaim merepresentasikan arus Islam.
Dari jargon, atribut/simbol, sampai berbagai kegiatan, semuanya bernuansa Islam. Anda tidak perlu aneh juga, kenapa masalah sholat, bacaan Qur'an, kedekatan dengan Kiyai, bahkan sampai mengambil pilihan cawapres dari kalangan santri, menjadi preferensi kampanye politik partai.
Apakah partai akan menerapkan Islam ? Tidak. Apakah Capres akan menerapkan Islam ? Tidak. Lantas Kenapa isu yang bergulir lebih banyak terkait isu Islam, meskipun bukan esensial, baru sebatas simbol, formalitas, dan tampilan saja ?
Mari mengurai jawabannya. Jawabannya hanya satu : bahwa suara umat Islam adalah kunci kemenangan, dan suara umat Islam adalah suara yang masih mengambang.
Keliru besar, jika Anda menduga maraknya pencitraan yang dikaitkan dengan Islam, adalah komitmen untuk membela Islam atau setidaknya ingin memberikan tempat pada Islam dalam konsepsi bernegara. Rezim Jokowi misalnya, yang Anda lihat jangan kopiah Jokowi, kegiatan sholat Jokowi, kunjungan pesantren Jokowi, tapi lihatlah kebijakan Jokowi.
Dalam era pemerintahan Presiden Jokowi, kita bisa simpulkan ini adalah era yang paling represif dan anti Islam. Ulama dikriminalisasi, pengajian dipersekusi, ormas dan dakwah Islam dibubarkan, simbol dan ajaran Islam dipersoalkan.
Sementara pada saat yang sama marak beredar simbol PKI, arus LGBT, sekulerisme kian akut, liberalisme parah, dan berbagai konsepsi ide dan realitas sosial yang banyak bertentangan dengan Islam.
Anda tidak perlu gagap, karena kampanye politik itu didefinisikan sebagai upaya terstruktur dan massif untuk menyihir publik dengan berbagai dusta dan kebohongan yang dibungkus program, janji politik, komitmen politik, yang bertujuan mengarahkan preferensi politik umat. Jadi target utamanya adalah agar umat nyoblos di bilik kardus, untuk memberikan suara kepada calon.
Jadi Klo politisi tipu-tipu itu biasa, politisi bohong itu wajar, politik bikin janji palsu itu lumrah, politisi khianat itu konsekuensi. Bagaimana mungkin orang bisa menepati janji yang tidak dikehendakinya? Itu pula yang terjadi pada Jokowi.
Sihir saja Jokowi jadi Imam sholat, mengunjungi ulama, pake sarung dan kopiah. Itu kampanye politik saja (merujuk definisi dalam tulisan ini). Dan tidak perlu aneh, jika Ujaran kampanye Pilpres seperti lomba pemilihan ketua DKM. Diuji Sholatnya, bacaan Qurannya, puasa sunnahnya, dsb.
Tapi kita umat Islam tidak boleh pesimis, justru harus optimis. Fenomena Pilpres dengan materi kampanye utama terkait keislaman, meskipun baru sebatas modus dapat disimpulkan terjadi kondisi sebagai berikut :
Pertama, telah terjadi migrasi perasaan keumatan dari perasaan sekuler menuju perasaan keislaman. Fenomena hijrah baik dari kalangan aktivis, artis, pengusaha, pejabat, birokrat, pelajar dan mahasiswa juga merambah pada tataran politik.
Umat telah menjadikan perasaan keislaman sebagai dasar mengambil keputusan politik, khususnya untuk menentukan pilihan pada Pilpres 2019. Kondisi ini tentu sangat jauh berbeda dengan Pilpres 2014 yang lebih masif diselimuti ide kesederhanaan, merakyat, dan kejujuran.
Kedua, semangat keislaman itu selain telah memenuhi relung perasaan umat juga merambah pada kesadaran pemikiran dan pemahaman. Kelas masyarakat terdidik, yang telah memahami Islam tentu tidak berdiam diri, mereka akan mengajak umat untuk menghimpun diri pada pilihan politik berdasarkan kesadaran Islam.
Kesadaran keislaman ini akan menuntun umat menghukum politisi dan calon yang menjauh atau menyerang Islam. Itulah sebabnya, semua calon berusaha dekat dan menisbatkan dirinya sebagai bagian dari Islam.
Ketiga, kesadaran dan perasaan keislaman ini menjadi kunci kemenangan calon. Karena di segmen ini, mayoritas suara yang akan menentukan.
Pemilih ideologis partai, tidak akan bergeser dengan berbagai tawaran program dan kampanye. Jokowi, tidak perlu meyakinkan pemilih berbasis PDIP, karena pemilih PDIP seperti kerbau diculik hidungnya, semua terserah Megawati.
Tim TKN Jokowi berjibaku keras untuk menundukan dan meraih simpati suara umat Islam. Disinilah, relevansi kopiah Jokowi, sarung Jokowi, sholat jokowi, kunjungan Ponpes Jokowi.
Keempat, realitas ini sungguh merupakan peluang besar bagi poros umat untuk memimpin perubahan bukan sekedar nimbrung pada kepentingan oposisi dan serius menyerang rezim. Poros umat, wajib menawarkan solusi final dan komprehensif untuk mengeluarkan negeri ini dari berbagai keterpurukan dan penderitaan.
Jadi, Anda tetap harus bersyukur. Preferensi politik keumatan, telah mampu memaksa para calon condong kepada Islam, meskipun hanya modus semata. Karena itu, penting membuat gerakan penyadaran umat agar tidak tertipu modus politik para petualang kekuasaan. [MO/ge]