Oleh: Mahyastuty Shintya
(Aktivis Mahasiswa)
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa pemerintah sekarang memang gemar melakukan impor. Salah satunya adalah mengenai impor jagung. Seperti yang dilansir pada tirto.id (09/01), Oke Nurwan—Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, mengatakan bahwa berdasarkan keputusan rapat koordinasi terbatas yang dilakukan tahun 2018, pemerintah membuka keran impor jagung sebanyak 100 ribu ton. Hingga Desember 2018, jagung impor yang sudah masuk sejumlah 70 ribu ton. Sedangkan 30 ribu ton sisanya akan masuk ke Indonesia pada 2019 ini. Sementara itu, Februari mendatang, pemerintah justru akan menambah impor jagung sebanyak 30 ribu ton. Alasan penambahan impor jagung ini adalah untuk kebutuhan pakan ternak. Jika jumlah impor jagung ini diakumulasikan maka hingga Maret 2019 nanti Indonesia akan kedatangan 60 ribu ton jagung impor.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Pertanian pada 2018, jumlah produksi jagung pada tahun 2018 sebesar 28,6 juta ton dan konsumsi jagung sebesar 20,3 juta ton. Jumlah produksi jagung pada tahun 2019 diprediksi mengalami kenaikan sebesar 29,9 juta ton dan konsumsi jagung sebesar 21,6 juta ton. Jumlah produksi dan konsumsi jagung ini malah menunjukkan adanya surplus jagung. Surplus jagung ini dipastikan tetap terjadi hingga dua tahun mendatang. Lalu, mengapa pemerintah justru tetap melakukan impor jagung? Padahal produksi dalam negeri saja sudah sangat mencukupi.
Keputusan pemerintah untuk melakukan penambahan impor ini juga bertentangan dengan janji Presiden Jokowi. Pada tahun 2014 silam, Presiden Jokowi pernah menjanjikan bahwa ketika beliau terpilih nanti, beliau akan berhenti melakukan impor pangan. Beliau mengatakan bahwa Indonesia seharusnya malah bisa ekspor bukan impor. Tetapi, pada kenyataannya justru pemerintah sekarang ini gemar melakukan impor. Impor jagung ini hanyalah salah satu contoh dari berbagai impor yang dilakukan pemerintah.
Tak dapat dipungkiri lagi para petani lokal akan terkena dampak buruk dari kebijakan impor ini. Masa panen raya jagung berkisar antara bulan Oktober hingga Maret. Dengan kata lain, ketika para petani lokal panen pada Maret nanti, pemerintah justru mendatangkan jagung impor. Hal ini akan menyulitkan para petani lokal untuk menjual hasil panennya. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa kebijakan pemerintah ini sangat tidak memihak para petaninya sendiri, tetapi justru memihak asing.
Pemerintah yang masih menggantungkan kebutuhan pangan pada impor ini menunjukkan bahwa pemerintah memang tidak serius dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Padahal jika kita tilik pengertian kedaulatan pangan pada UU No. 18/2012 tentang Pangan, Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dengan adanya impor, pemerintah justru tidak mengembangkan potensi sumber daya lokal dan gagal dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat secara mandiri. Ketergantungan pada impor ini dapat dihentikan apabila negara memiliki visi yang jelas dan serius dalam mewujudkannya. Bukan hanya janji-janji belaka seperti sekarang ini.
Dalam Islam, negara memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan rakyatnya. Negara juga berkewajiban mencegah ketergantungan pemenuhan kebutuhan pada asing. Ditambah lagi peran yang seharusnya dimiliki pemerintah adalah sebagai pelayan (raain) dan pelindung (junnah) bagi rakyatnya. Sebagaimana Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadits:
“Imam/Khalifah itu pengurus rakyat dan hanya dia yang bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Sudah sepatutnya kita kembali pada sistem Islam di bawah naungan Khilafah. Sistem yang telah terbukti mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat selama belasan abad lamanya dan bahkan menguasi 2/3 wilayah dunia. Terlebih lagi Khilafah adalah ajaran Islam yang diwajibkan Allah SWT kepada kita, sebagaimana firman Allah SWT
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah : 49-50).
Wallahu a’lam bish-shawab.
from Pojok Aktivis