Oleh : Miranda Anugrah Usman
(Mahasiswi Universitas Halu Oleo)
Mediaoposisi.com-Kementerian Agama Sulawesi Tenggara (Kemenag Sultra) menegaskan kerukunan umat beragama di Sultra sangat bagus. Hal ini disampaikan oleh kepala Kanwil kerukunan yang dilaksanakan Kemenag Sultra, Abdul Kadir. Menurutnya indeks kepuasan umat beragama bisa menembus angka tujuh dari satu sampai sepuluh. Ukurannya lewat kerjasama dan toleransi yang tinggi. Hal paling menonjol adalah dialog antar tokoh beragama yang intens digelar dan difasilitasi Forum Kerukunan Ummat Beragama (RakyatSultra.com 2/1/19).
Pada perayaan Natal 2017 lalu, sejumlah pemuda muslim, Budha, dan Hindu turut ambil bagian membantu umat Kristiani menjaga keamanan dan kelangsungan pelakasanaan misa di gereja. Ilham, salah satu pemuda muslim di Kendari mengatakan, keberagaman etnis maupun agama yang ada di tanah air adalah bentuk identitas Indonesia (daerah.sindonews.com 25/12/17).
Dengan tidak menafikkan bahwa Indonesia terkenal dengan keberagaman agama yang dianut oleh penduduknya, tetapi masih saja sering kita mendengar kata-kata intolerans yang bermunculan di masyarakat. Dan menariknya adalah kata intoleransi tersebut selalu diidentikkan dengan umat Islam yang mana yang menjadi agama mayoritas di negeri ini.
Ketika ada sekelompok masyarakat yang berpendapat bahwa sebagai seorang muslim kita tidak perlu mengucapkan selamat atas hari raya agama lain, maka ia akan dikatakan umat yang intoleran dan tidak menghargai keberagaman. Lalu apa kabar kasus pembakaran masjid yang terjadi di Papua beberapa waktu lalu, pernahkah kita mendengar kata intoleransi beragama di sematkan atas pelaku pembakaran tersebut? Lalu apakah sebenarnya makna dari kata intoleransi ini ?
Propaganda Toleransi-Intoleransi
Sebenarnya propaganda toleransi dan kebebasan beragama sudah sejak lama diserukan kepada masyarakat. Namun kenyataannya tindak intoleran masih kerap terjadi. Hal ini dikarenakan rusaknya sistem dan tata aturan dalam menjamin terwujudnya kehidupan rukun di negeri ini. Sistem sekuler yang menjadi poros berjalannya semua peraturan dan tatanan menjadikan negeri ini bersikap ambigu dalam menghadapi berbagai persoalan.
Proyek propaganda intoleransi yang di semayamkan kepada umat muslim telah melahirkan islampohobia di kalangan masyarakat. Sehingga mau tak mau, masyarakat dituntut untuk menggadai aqidahnya daripada dikecam sebagai orang yang intoleran. Dan saat negara tidak mampu lagi untuk membina, maka tindakan fisik dan nonfisik kerap menjadi jalan keluar secara spontanitas. Maka dari itu, hubungan antar pemeluk agama membutuhkan sistem pengaturan yang handal, sebagaimana yang telah di contohkan sistem pemerintahan Islam selama 13 abad lamanya.
Islam dan Toleransi Beragama
Sesungguhnya, Islam merupakan agama yang pernah hadir dalam sebuah institusi negara. Oleh karena itu, Islam tidak menafikkan adanya keberagaman agama. Baik di masa Rasulullah SAW (setelah menetap di madinah) maupun masa-masa khalifah sesudahnya, keberagaman juga sudah biasa terjadi. Hal ini karena Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah (2):v 256 “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” Ayat tersebut menunjukkan bahwa Islam tidak akan memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam yang tentunya setelah didakwahi terlebih dahulu.
Islam mengajarkan cara hidup berdampingan dengan penganut agama lain dalam sebuah negara. Dalam sistem Islam, warga negara daulah Islam yang nonmuslim disebut dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan dan harta benda mereka sebagaimana layaknya perlakuan terhadap umat Islam, dengan kata lain tidak boleh ada diskriminasi antara muslim dan dzimmi.
Meskipun demikian, mereka memang diberikan kebebasan untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Tetapi tidak untuk menyeru kepada masyarakat muslim agar berpartisipasi dengan perayaan agama mereka apalagi memberi ucapan selamat atas perayaan keagamaan mereka seperti yang biasanya terjadi di negeri ini. Karena perintah ini sudah sangat jelas dalam surah Al-Qafirun: 6 “Untukmu agamamu dan untukku agamaku..”
Sehingga, dalam kaitannya dengan masalah aqidah, mereka dibiarkan untuk menganut keyakinan dan menjalankan kegiatan agama mereka. Namun negara mensyaratkan, kafir dzimmi tersebut wajib taat dan patuh pada seluruh hukum syariah yang diterapkan dalam kehidupan publik dan pelaksanaan kegiatan keagamaan.
Aktivitas keagamaan mereka tidak dilakukan dalam kehidupan umum yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat secara luas. Misalnya dalam mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu (daging babi, anjing, maupun khamr), hanya dapat mereka konsumsi di kalangannya sendiri. Selain itu, kaum wanita pun diatur agar tidak merusak tatanan sosial masyarakat Islam dengan mewajibkannya menutup aurat.
Itulah cara negara Islam dalam mengatur warga negara non-muslim yang didasari atas ketundukkan kepada Islam sebagai bentuk taqwa kepada Allah SWT. Dengan cara inilah kehidupan beragama dalam negara terwujud dengan baik, tanpa pertentangan, kekerasan apalagi penyebutan toleran dan intoleransi pada kaum mayoritas. Dan hal ini telah terbukti selama kurang lebih 13 abad lamanya saat Islam memimpin peradaban Dunia. Wallahu’alam bi ash-shawab [MO/vp].
Pada perayaan Natal 2017 lalu, sejumlah pemuda muslim, Budha, dan Hindu turut ambil bagian membantu umat Kristiani menjaga keamanan dan kelangsungan pelakasanaan misa di gereja. Ilham, salah satu pemuda muslim di Kendari mengatakan, keberagaman etnis maupun agama yang ada di tanah air adalah bentuk identitas Indonesia (daerah.sindonews.com 25/12/17).
Dengan tidak menafikkan bahwa Indonesia terkenal dengan keberagaman agama yang dianut oleh penduduknya, tetapi masih saja sering kita mendengar kata-kata intolerans yang bermunculan di masyarakat. Dan menariknya adalah kata intoleransi tersebut selalu diidentikkan dengan umat Islam yang mana yang menjadi agama mayoritas di negeri ini.
Ketika ada sekelompok masyarakat yang berpendapat bahwa sebagai seorang muslim kita tidak perlu mengucapkan selamat atas hari raya agama lain, maka ia akan dikatakan umat yang intoleran dan tidak menghargai keberagaman. Lalu apa kabar kasus pembakaran masjid yang terjadi di Papua beberapa waktu lalu, pernahkah kita mendengar kata intoleransi beragama di sematkan atas pelaku pembakaran tersebut? Lalu apakah sebenarnya makna dari kata intoleransi ini ?
Propaganda Toleransi-Intoleransi
Sebenarnya propaganda toleransi dan kebebasan beragama sudah sejak lama diserukan kepada masyarakat. Namun kenyataannya tindak intoleran masih kerap terjadi. Hal ini dikarenakan rusaknya sistem dan tata aturan dalam menjamin terwujudnya kehidupan rukun di negeri ini. Sistem sekuler yang menjadi poros berjalannya semua peraturan dan tatanan menjadikan negeri ini bersikap ambigu dalam menghadapi berbagai persoalan.
Proyek propaganda intoleransi yang di semayamkan kepada umat muslim telah melahirkan islampohobia di kalangan masyarakat. Sehingga mau tak mau, masyarakat dituntut untuk menggadai aqidahnya daripada dikecam sebagai orang yang intoleran. Dan saat negara tidak mampu lagi untuk membina, maka tindakan fisik dan nonfisik kerap menjadi jalan keluar secara spontanitas. Maka dari itu, hubungan antar pemeluk agama membutuhkan sistem pengaturan yang handal, sebagaimana yang telah di contohkan sistem pemerintahan Islam selama 13 abad lamanya.
Islam dan Toleransi Beragama
Sesungguhnya, Islam merupakan agama yang pernah hadir dalam sebuah institusi negara. Oleh karena itu, Islam tidak menafikkan adanya keberagaman agama. Baik di masa Rasulullah SAW (setelah menetap di madinah) maupun masa-masa khalifah sesudahnya, keberagaman juga sudah biasa terjadi. Hal ini karena Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah (2):v 256 “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” Ayat tersebut menunjukkan bahwa Islam tidak akan memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam yang tentunya setelah didakwahi terlebih dahulu.
Islam mengajarkan cara hidup berdampingan dengan penganut agama lain dalam sebuah negara. Dalam sistem Islam, warga negara daulah Islam yang nonmuslim disebut dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan dan harta benda mereka sebagaimana layaknya perlakuan terhadap umat Islam, dengan kata lain tidak boleh ada diskriminasi antara muslim dan dzimmi.
Meskipun demikian, mereka memang diberikan kebebasan untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Tetapi tidak untuk menyeru kepada masyarakat muslim agar berpartisipasi dengan perayaan agama mereka apalagi memberi ucapan selamat atas perayaan keagamaan mereka seperti yang biasanya terjadi di negeri ini. Karena perintah ini sudah sangat jelas dalam surah Al-Qafirun: 6 “Untukmu agamamu dan untukku agamaku..”
Sehingga, dalam kaitannya dengan masalah aqidah, mereka dibiarkan untuk menganut keyakinan dan menjalankan kegiatan agama mereka. Namun negara mensyaratkan, kafir dzimmi tersebut wajib taat dan patuh pada seluruh hukum syariah yang diterapkan dalam kehidupan publik dan pelaksanaan kegiatan keagamaan.
Aktivitas keagamaan mereka tidak dilakukan dalam kehidupan umum yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat secara luas. Misalnya dalam mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu (daging babi, anjing, maupun khamr), hanya dapat mereka konsumsi di kalangannya sendiri. Selain itu, kaum wanita pun diatur agar tidak merusak tatanan sosial masyarakat Islam dengan mewajibkannya menutup aurat.
Itulah cara negara Islam dalam mengatur warga negara non-muslim yang didasari atas ketundukkan kepada Islam sebagai bentuk taqwa kepada Allah SWT. Dengan cara inilah kehidupan beragama dalam negara terwujud dengan baik, tanpa pertentangan, kekerasan apalagi penyebutan toleran dan intoleransi pada kaum mayoritas. Dan hal ini telah terbukti selama kurang lebih 13 abad lamanya saat Islam memimpin peradaban Dunia. Wallahu’alam bi ash-shawab [MO/vp].