Oleh: Mariyatul Qibtiyah, S.Pd
Mediaoposisi.com-Pada 22 Desember 2018 telah terjadi gelombang tsunami di Selat Sunda. Tsunami ini telah menyebabkan 431 orang meninggal dunia, 7200 orang luka-luka, 15 orang hilang, dan 46.646 orang mengungsi.
Tsunami yang dirasakan oleh mereka yang tinggal di wilayah Banten dan Lampung ini tidak diawali dengan adanya gempa. Akibatnya, tidak ada peringatan dini bagi warga. Warga yang tidak siap pun banyak yang menjadi korban.
Penyebab tsunami itu pun belum diketahui secara pasti. Tetapi menurut Prof. Dr. Tukirin, ahli ekologi dan evolusi Krakatau dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kemungkinan penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda karena longsoran bawah laut.
Menurutnya, longsoran tebing bawah laut biasanya tak menimbulkan gelombang besar. Namun, kondisi pasang air laut menyebabkan terjadinya gelombang tinggi.
Direktur Pusat Penelitian Tsunami Universitas California Selatan, Costas Synolukis menyebut tsunami yang terjadi tersebut bukanlah tsunami akibat aktifitas tektonik atau gempa bumi. Tsunami kali ini terjadi karena adanya aktifitas vulkanik.
"Ini bukan tsunami biasa. Ini adalah tsunami vulkanik. Itu tidak memicu adanya peringatan. Jadi, dari sudut pandang itu, Pusat Peringatan Tsunami pada dasarnya tidak berguna," ujar Costas Synolukis
Secara geografis, Indonesia tepat di batas lempeng Eurasia, Hindia, Australia, dan Pasifik. Karena itu, hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan wilayah rawan gempa. Jika gempa terjadi di laut, bisa menimbulkan tsunami. Indonesia juga memiliki 129 gunung berapi yang masih aktif.
Pada satu sisi, keberadaan gunung berapi ini memberikan satu keuntungan tersendiri, terutama di bidang pertanian. Abu vulkanik yang dihasilkan oleh erupsi gunung berapi akan menyebabkan tanah menjadi subur.
Namun, di sisi lain ada bahaya yang mengancam warga yang tinggal di sekitar gunung berapi. Berbagai bencana seperti gempa, erupsi, banjir lahar dingin, awan panas, dan sebagainya bisa datang kapan saja.
Sebagai manusia biasa, kita tentu tidak mampu menolak bencana yang terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah mengantisipsi terjadinya bencana. Inilah pentingnya mitigasi bencana. Tentu, semua ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Menurut Emile Okal, seorang profesor emeritus ilmu bumi dari Universitas Northwestern, untuk mendeteksi tsunami, pemerintah Indonesia harus menghabiskan sekitar satu miliar dollar untuk teknologi dan tenaga sepanjang waktu di sepanjang wilayah pesisir Indonesia. Namun, hal itu bukan jaminan bahwa peringatan akan datang pada waktunya (republika.co.id, 24/12/2018).
Saat ini, Indonesia baru memiliki 263 stasiun seismik untuk mendeteksi gempa. Menurut Soetopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Indonesia baru memiliki alat peringatan dini tsunami akibat gempa tektonik atau buoy.
Namun, dari 27 buoy tersebut, hanya 8 unit di antaranya yang dibangun sendiri oleh Indonesia.
Sisanya merupakan sumbangan dari luar negeri. Celakanya, 22 unit buoy tersebut tidak berfungsi sejak 2012 (katadata.co.id, 28/12/2018). Tinggal 5 unit yang berfungsi dan semuanya milik negara asing.
Di samping itu, Indonesia juga belum memiliki alat pendeteksi longsor gunung bawah laut. Indonesia juga belum memiliki peta rawan bencana di bawah permukaan laut. Semua itu dibutuhkan dalam mengantisipasi bencana yang mungkin terjadi. Sudah seharusnya pemerintah menyediakan semua itu untuk meminimalisir jumlah korban.
Hal seperti itu telah dilakukan oleh para penguasa muslim dulu. Di samping meyakini bahwa bencana itu merupakan ujian dari Allah, mereka juga menyediakan berbagai hal yang dibutuhkan untuk mengantisipasinya.
Sebagian besar wilayah negeri kaum muslimin merupakan wilayah rawan bencana. Wilayah sekitar gurun di Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan wilayah yang rawan kekeringan. Lembah Sungai Nil di Mesir atau Sungai Efrat-Tigris di Irak amat rawan banjir.
Sedangkan wilayah Turki, Iran, dan Afghanistan merupakan wilayah yang rawan gempa. Menyadari wilayahnya sebagai wilayah rawan gempa, para penguasa muslim itu kemudian mempelajari berbagai hal yang terkait dengan mitigasi bencana.
Misalnya, dengan membayar insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga melatih masyarakat untuk selalu waspada.
Untuk mengantisipasi kekeringan, mereka membangun bunker gudang makanan untuk persediaan selama 2 musim dan kebutuhan jihad. Saat Perang Dunia kedua, tentara Jerman di Libya menemukan bunker di sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya beberapa puluh tahun. Ternyata, hampir semua bahan makanan di bunker itu masih bisa dikonsumsi.
Sedangkan untuk mengantisipasi banjir, mereka membangun bendungan, terusan, dan alat peringatan dini. Insinyur al Farghani (abad 9 M) telah membangun alat untuk mengukur dan mencatat tinggi air Sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat.
Setelah bertahun-tahun mengukur menggunakan alat yang disebut Nilometer itu, al Farghani berhasil memberikan prediksi banjir Sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Semua itu mereka lakukan karena ketaatan mereka kepada Allah SWT dan kecintaan terhadap Rasulullah SAW. Hal itu membuat mereka takut berbuat dosa jika tidak menjalankan kewajiban sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurusi umat.
Mereka khawatir, jika mereka lalai dalam mengemban amanah ini, mereka tidak akan mampu memberi hujjah saat ditanya oleh Allah SWT kelak pada yaumul hisab. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. al Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka". (HR. Abu Nu'aim).
Demikianlah, sudah seharusnya penguasa di negeri ini memahami tanggung jawab mereka sebagai penguasa yang melayani urusan rakyat.
Pemahaman ini akan mendorong penguasa untuk memahami kondisi geografis Indonesia sehingga membuat mereka tergerak untuk mencurahkan segenap daya dan upaya dalam mengantisipasi bencana.
Dengan demikian, berbagai resiko bencana alam yang mungkin terjadi bisa dikurangi dampaknya, sehingga mitigasi bencana bukan lagi sekedar wacana.[MO/ge]