[Catatan Advokasi Aksi Protes Kedubes China]
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT
Pada malam sebelumnya, beredar kabar kantor kedubes tutup sementara karena ada kendala instalasi system. Tidak jelas, apa yang dimaksud instalasi sistem tetapi pada pagi harinya informasi itu terkonfirmasi. Sejak pagi, kedubes China tutup tidak membuka layanan piblik, hanya saja diketahui kegiatan kantor tidak sepenuhnya tutup.
Panitia berusaha berkomunikasi dengan pihak kedubes agar perwakilan aksi bisa beraudiensi untuk menyampaikan aspirasi. Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Indra Jafar telah berusaha menjembatani agar perwakilan aksi dapat diterima perwakilan kedubes China. Namun aneh, pihak kedubes menolak menemui perwakilan aksi dengan dalih telah mengeluarkan pernyataan resmi melalui laman resminya.
Sebuah sikap arogan dari kepanjangan tangan otoritas China, yang tidak mau menerima perwakilan aksi meskipun mereka paham sedang berada di Indonesia bukan di China.
Padahal, dengan menerima perwakilan aksi kedubes China dapat menyerap aspirasi dan mendapat masukan sebagai dasar kebijakan untuk menangani persoalan muslim di Uighur. Terlebih lagi, penanganan isu sensitif ini jika tidak hati-hati akan memantik kemarahan umat Islam diseluruh dunia, dan hal ini tentu berpotensi membahayakan China baik terhadap warga negaranya maupun kepentingan bisnisnya.
Dengan menerima perwakilan aksi, dubes China dapat menyerap sekaligus mempertimbangkan tindakan preventif antisipatif atas akses dan potensi kemarahan umat Islam terhadap Pemerintah China. Cara ini juga menjadi sarana untuk mengklarifikasi tindakan Pemerintah China di Uighur, sekaligus untuk menepis berbagai praduga yang lebih jauh. Hanya saja, sikap diam dan enggannya kedubes China menerima perwakilan aksi mengkonfirmasi Pemerintah China tidak mengambil peran politik inklusif terhadap dunia Islam atas krisis kemanusiaan di Uighur Xinjiang akibat tindakan zalim rezim China.
Apa yang terjadi dan dialami oleh kaum muslimin di Uighur Xinjiang sudah melampaui batas kemanusiaan. Pemaksaan akidah komunis, telah menjadikan China menggunakan praktik Mahkamah Inkuisisi modern dengan cara dan teknik yang luar biasa biadab.
Penyiksaan dengan teknik yang sulit diterima akal, sadis, bengis, seolah memperlakukan hewan. Sumber-sumber nasional maupun internasional, telah menggambarkan betapa sadisnya kamp kamp re-edukasi menggunakan berbagai cara dan teknik untuk memaksa re-orientasi akidah umat Islam agar melepaskannya dan mengimani akidah komunis/atheisme.
Dalam kehidupan publik, pemaksaan value non Islam hingga yang paling sederhana memaksa umat Islam di Uighur untuk memakan makanan haram menjadi praktik biasa yang dianggap bagian dari Re-edukasi. Yang lebih tragis, maraknya tindakan fisik seperti pemerkosaan muslimah, penyiksaan dengan berbagai teknik biadab, hingga pembunuhan. Tidak saja sampai disitu, pasca dibantai organ korban dijadikan komoditi dan dijual di pasar gelap.
Tindakan keji dan super biadab seperti ini tidak bisa didiamkan. Dunia internasional telah banyak mengeluarkan kecaman. Karenanya, penulis heran kenapa Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim tidak mengambil tindakan apapun. Jangankan mengusir kedubes China, menyampaikan nota protes saja tidak. Bahkan, menyatakan berempati atas kezaliman yang ditimpakan kepada saudara muslim di Uighur juga tidak.
Kami, dari LBH PELITA UMAT telah mengeluarkan Pernyataan Hukum pada tanggal 20 Desember 2018, yang pada pokoknya berisi :
Pertama, kami menyatakan protes dan mengutuk keras tindakan zalim Pemerintah China terhadap umat Islam di Uighur. Dengan dalih apapun, tindakan yang mengekang kebebasan beragama dan praktik pemaksaan akidah (ideologi) yang diduga dilakukan dengan model penegakan hukum inkuisisi, bertentangan dengan hukum dan konsepsi hak asasi manusia.
Kedua, kami menghimbau kepada Pemerintah R.I. untuk mengambil sikap aktif dalam koridor politik 'bebas aktif' untuk menunjukan eksistensi dan Jatidiri bangsa ini yang berupaya penuh untuk terlibat dan mewujudkan ketertiban dunia, berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Cara yang paling efektif adalah memanggil dan mengembalikan Dubes China ke negaranya, karena tindakan ini masih dalam batas kewenangan dan yurisdiksi NKRI, diakui sebagai bagian konvensi hukum internasional, atau setidak-tidaknya mengirim Nota Protes Resmi kepada Pemerintah China.
Ketiga, menghimbau kepada seluruh kaum muslimin baik di negeri ini atau di berbagai belahan dunia yang lain, untuk menyampaikan aspirasi protes keras atas tindakan zalim Pemerintah China. Tekanan opini internasional, sangat berpengaruh signifikan untuk menghentikan kezaliman atau setidak-tidaknya meredam kezaliman.
Jika melihat narasi politik yang dibangun rezim Jokowi, bukannya berempati atau bahkan membela muslim Uighur, justru melalui beberapa pejabat rezim mengeluarkan pernyataan yang menyakitkan. Pernyataan JK selaku Wapres yang menyebut tidak bisa intervensi urusan dalam negeri China.
Penegasan serupa, dengan dalih Pemerintah Indonesia hanya bisa memberikan himbauan kepada pemerintah China bukan intervensi juga disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR Fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi.
Padahal, ada dua yurisdiksi hukum yang berbeda dan R.I. Sebagai negara berdaulat memiliki hak konstitusional untuk mengambil sikap dan tindakan sebagai entitas sebuah negara yang berdaulat.
Pertama, pada lokus delicti tragedi muslim Uighur di Xinjiang yang merupakan kedaulatan China. Indonesia tdk dapat mengintervensi kebijakan di dalam negeri China, tetapi Indonesia memiliki hak untuk menyatakan sikap berupa protes atau kecaman keras terhadap praktik pelanggaran HAM yang dilakukan Pemerintah China terhadap muslim Uighur, Xinjiang.
Kedua, kedaulatan negara R.I. yang memiliki hak penuh untuk mengambil tindakan di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang meliputi tempat kedudukan dan domisili kedubes China, dimana Indonesia memiliki hak dan wewenang dalam yurisdiksi wilayah negara, untuk mengusir kedubes China karena Pemerintah China telah mempraktikkan genosida terhadap muslim Uighur di Xinjiang China.
Tindakan bungkamnya Pemerintah rezim Jokowi - JK pada kasus Uighur ini patut dipertanyakan. Apakah negara ini sudah tidak memiliki kedaulatan ? Apakah NKRI memang sudah berada dibawah kendali China ? Apakah negara ini begitu ringkihnya, sehingga menyampaikan protes saja tidak mampu ?
Alih-alih memberikan perhatian pada kasus tragedi kemanusiaan muslim Uighur, Mr. Presiden justru sibuk bikin dokumentasi sholat dan asyik bercengkrama dengan jalan tol sebagai jualan utama kampanyenya. Terakhir, Mr. Presiden justru narsis jualan prestasi divestasi Freport untuk mengalihkan opini, padahal banyak ekonom memandang divestasi Freport adalah kebijakan yang sangat keliru.
Sakit sekali hidup di negeri yang mayoritas muslim, tetapi pemimpinnya tidak memberikan perhatian pada nasib umat dan perasaan keumatan. Presiden Jokowi, hanya menjelma menjadi Presiden bagi anggota partainya, mitra koalisinya dan para pendukungnya. Mr. Presiden tidak sanggup untuk menjadi pemimpin segenap umat, seluruh rakyat dan segenap tumpah darah Indonesia. []