Oleh: Iim Ikfihayati, S.KM
(Pemerhati Kebijakan Publik, tinggal di Kediri)
Tren kasus penderita HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagaimana yang terjadi di di Kabupaten Bandung Barat. Komisi Penanggulangan AIDS setempat melaporkan, secara kumulatif sejak 2011 hingga Juli 2018, ada 323 kasus yang terungkap.
Sementara jika dibandingkan dengan Kediri, dalam kurun waktu 6 bulan sejak Januari 2018 di Kota Kediri ditemukan 97 kasus penderita HIV-AIDS. Berdasarkan catatan Dinas Kesehatan Kota Kediri menyebutkan, jumlah tersebut diprediksi akan terus meningkat seiring masih maraknya praktik seks bebas di masyarakat. Kasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PN) Dinkes Kota Kediri, Hendik Supriyanto mengatakan bahwa jumlah penderita HIV-AIDS tersebut sudah dalam kondisi memprihatinkan. Padahal, angka itu belum seluruhnya terekap sampai bulan desember. Hendik pun memprediksi, angka tersebut akan beranjak naik hingga lebih dari 200 kasus pada akhir tahun nanti.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, hingga Maret 2017 tercatat jumlah penderita HIV sudah mencapai 242.699 jiwa dan penderita AIDS mencapai 87.453 jiwa. Masih dari data tersebut, DKI Jakarta masuk ke dalam provinsi dengan penderita HIV/AIDS terbanyak secara nasional. Data tersebut juga menggambarkan bahwa pengidap AIDS terbanyak ada pada usia produktif, yakni 20-29 tahun (Okezone.com, 01/06/2018).
Marya Yenita Sitohang, peneliti bidang Keluarga dan Kesehatan Pusat Penelitian Kependudukan, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) mengatakan bahwa laporan terbaru United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) menunjukkan jumlah orang dengan HIV meningkat di 50 negara, termasuk Indonesia, dengan lebih dari 1,8 juta orang sebagai penderita baru yang telah terinfeksi virus mematikan ini pada 2017. Yang lebih menyedihkan, 180 ribu anak (0-14 tahun) terinfeksi virus pada tahun yang sama, dan 110 ribu anak tewas karena penyakit yang terkait dengan AIDS.
Bagaimana pun, penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia memang tidak lepas dari kebijakan UNAIDS dan WHO. Kedua lembaga internasional ini menetapkan beberapa langkah penanggulangan HIV/AIDS di dunia dengan beberapa area prioritas. Upaya penanggulangan HIV/AIDS versi UNAIDS ini telah menjadi kebijakan nasional yang berada di bawah koordinasi KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional).
Diantara program-program yang masuk dalam area pencegahan pada Strategi Nasional Penanggulangan HIV-AIDS adalah kondomisasi. Apa benar strategi kebijakan ini dapat menyelesaikan persoalan HIV-AIDS? Kondomisasi, terlepas dari pro dan kontranya, nyatanya bukan solusi. Dengan strategi kampanye ABCD ( A: abstinentia; B: be faithful; C: use Condom dan D: no Drug) tidaklah menghentikan salah satu jalan penularan HIV. Kondom justru mengantarkan HIV yang sangat besar karena secara langsung telah membuka kran liberalisasi seksual.
Muatan liberalisasi seksual yang kental dalam kampanye kondom memang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran yang mendasari gagasan kampanye itu sendiri. Yaitu adanya gagasan pemenuhan hak-hak reproduksi yang tidak harus dalam bingkai pernikahan. Pandangan ini disampaikan pada Konfrensi Wanita di Bejing, tahun 1975 dan dikuatkan pada Konfrensi Kependudukan Dunia Tahun 1994 di Kairo (ICPD, 1994).
Semua program internasional tersebut tentualh diambil tanpa landasan aturan Islam. Padahal jika menilik Islam sebagai rahmatan lil’alamin, tentu akan sangat berbeda dalam memberikan solusi terhadap problem HIV-AIDS ini. Islam melindungi sisi manusiawi dan mampu membebaskan generasi dari ancaman bahaya HIV dan seks bebas. Karena Islam adalah sistem kehidupan yang berasal dari Allah SWT Pencipta manusia.
Islam tiidak menunggu wabah HIV-AIDS melanda. Namun Islam sedari dini telah melarang perzinahan termasuk berduaan tanpa ada kepentingan yang dibolehkan syara’, bahkan dijatuhkan sanksi bagi pelanggarnya. Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya: “Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi (bukan muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga”. (HR Baihaqi). Adapun larangan perbuatan zina, Allah SWT sampaikan pada QS Al-Israa [17] ayat 32, yang artinya: “Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan.”
Islam akan melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi dan pornoaksi. Karena Islam melarang seorang pria dan wanita melakukan kegiatan dan pekerjaan yang menonjolkan sensualitasnya. Oleh Islam, semua pembuka kran menuju seks bebas ditutup rapat, sehingga kehidupan manusia terbebas dari kekhawatiran akan terjadinya segala penyakit yang membahayakan jiwa dan kehormatan manusia.
Karenanya sungguh menjadi kepentingan bersama untuk mewujudkan penerapan aturan Islam Kaffah, bukan sekedar ingin terbebas dari HIV-AIDS tapi juga terbebas dari segala bahaya yang dimurkai oleh Allah SWT. Sebaliknya, sudah semestinya kita melaksanakan segala tuntutan syariah, demi menuju ketaqwaan kepada Allah SWT.[]
from Pojok Aktivis