Oleh : Irianti Aminatun
(Penulis Bela Islam)
Mediaoposisi.com-Sebagian kaum muslimin masih meyakini bahwa teraihnya kekuasaan melalui jalur demokrasi bisa menjadi wasilah bagi perbaikan kondisi umat yang saat ini tengah terpuruk dan mengembalikan Islam pada puncak kejayaan. Padahal kalau kita cermati, baru dari sisi prosedural saja, telah banyak kita temukan cacat dalam sistem demokrasi ini. Diantara cacat itu adalah :
Pertama, Dalam penggalangan suara, prinsip one-man-one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan.
Yang paling mudah adalah dengan cara “menjual sesuatu” yang gampang diterima oleh masyarakat. Sesuatu itu bisa berupa “gagasan” semisal pendidikan gratis, kesehatan gratis, sembako murah, lapangan kerja mudah dan lain-lain . Atau kadang berupa “publik figur” seperti dai kondang, artis terkenal. Bisa juga berupa bantuan uang atau materi.
Suara rakyat jelata yang awam politik sama beratnya dengan para politikus yang cerdas. Bahkan Mahkamah Agung (MK) memberikan putusan yang memperbolehkan tuna grahita atau disabilitas mental menggunakan hak pilihnya. Bagaimana mungkin tuna grahita diberi hak memilih. Jangankan memilih mana yang baik untuk bangsa, mengetahui yang baik untuk dirinya saja tidak bisa.
Cara perolehan suara seperti diatas tentu berakibat pada lunturnya ideologi partai dan tidak fahamnya masyarakat terhadap visi partai. Tidak ada edukasi politik yang benar tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara, bagaimana mengatur negara agar sesuai pandangan syariah, bagaimana menjalin hubungan luar negeri dan lain-lain.
Para pemilih, bahkan tim sukses pun, tidak lagi melihat ideologi atau visi partai. Mereka terpaku pada banyaknya perolehan suara dan imbalan apa yang bisa diterima. Hal ini akan berakibat pada tidak adanya pembelaan dari konstituen ketika partai dalam kesulitan atau mendapat tantangan dalam mengimplementasikan konsepnya.
Kedua, Demokrasi juga memberikan waktu terbatas pada siapapun yang terpilih. Para legislator, Kepala Daerah, juga Kepala negara hanya diberi waktu lima tahun. Setelah itu dikocok ulang. Untuk Kepala Daerah dan Kepala Negara hanya dapat dipilih ulang sekali saja. Waktu lima tahun tentu bukanlah waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi.
Revolusi, di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang dan cukup berat. Rasulullah dalam merevolusi kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam 10 tahun pemerintahannya dapat dikatakan era transisi, yang sangat berat. Ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami. Tidak mudah mengukir tonggak keberhasilan dalam waktu 5 tahun dan menunjukkan pada para konstituen agar mereka memperpanjang mandatnya. Karena tidak mudah terjadilah politik pragmatisme yaitu mengejar manfaat jangka pendek hanya demi keuntungan, pribadi atau partai.
Ketiga, Ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah banyak persoalan bersamanya. Ada aturan yang saling menopang dan membelit yang tidak dapat diubah satu persatu. Kadang seorang Kepala Negara, Kepala Daerah, atau Menteri berasumsi, bahwa jika suatu peraturan dibuat, maka ia dapat berinisiatif untuk mengubah atau bahkan mencabutnya. Namun ternyata banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional. Contoh :
Andai Menteri Keuangan bersama gubernur BI akan mensyariahkan undang-undang perbankan, pasti itu akan digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO. Sebab Indonesia mempunyai kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang moneter dan perdagangan. Kesepakatan yang sama juga terjadi dalam bidang pertambangan, pertanahan, kehutanan, pendidikan, kesehatan, hukum pidana, hukum perdata dan sebagainya. Adanya globalisasi makin mempersulit posisi tersebut.
Akibatnya banyak politisi Muslim yang masuk dalam legislatif atau eksekutif—baik suka atau tidak-- terlibat dalam sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal haram. Parlemen dan penguasa nyatanya telah menghasilkan berbagai UU yang merugikan rakyat dan membuka pintu bagi asing untuk menguasai kekayaan negeri ini. Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) no.1 tahun 1967 bahkan sengaja disahkan agar PT Freeport bisa segera mengeksploitasi emas milik rakyat.
DPR juga menghasilkan Undang-undang yang semakin menyempurnakan jalan penguasaan asing . Misal UU Penanaman Modal, UU Perbankan, UU Minerba, UU Migas, UU kelistrikan, UU Sumber Daya Air dll. Padahal sistem perundang-undangan seperti itu hakikatnya adalah sistem kufur.
Karena mereka tidak sanggup merubahnya, mereka lalu mengatakan bahwa kondisi saat ini adalah kondisi darurat. Mereka mengatakan bahwa masih lebih baik mereka yang duduk , bukan politisi sekuler yang kejam, korup atau anti islam.
Keempat, Dalam kenyataannya pihak yang mendapat suara terbanyakpun tidak otomatis akan didukung dalam segala sikap politiknya. Ini berlaku juga bagi partai yang ingin menegakkan syariah Islam. Sebagaimana kasus FIS di Maroko dan Refah di Turki. Pada tahun 1991, FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen aljazair, tetapi kemudian militer yang direstui Prancis menganulir Pemilu dan menangkapi para pemimpin FIS.
Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan Pemilu di Turki bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai Perdana Menteri. Namun pada 1997 terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi. Pada 1998, Mahkamah Agung Turki menyatakan Refah sebagai Partai terlarang. Hal yang sama juga terjadi pada Presiden Mursi di Mesir.
Kelima, Sekulerisme menjadi harga mati yang ditanam dalam konstitusi. Segala upaya yang akan menggoyang azas ini dapat dinyatakan melanggar konstitusi oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Dalam UUD 1945 hasil amandemen, para hakim konstitusi diberi kewenangan untuk menguji undang-undang apapun terhadap UUD. Mahkamah konstitusi memiliki wewenang untuk memakzulkan presiden, membubarkan partai, jika agendanya dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Dari paparan diatas bisa disimpulkan bahwa demokrasi dari sisi prosedural saja tidak layak untuk dijadikan jalan menuju penerapan islam. Belum tinjauan dari sisi substansi dan hasil yang dicapai demokrasi. Butuh berlembar-lembar untuk menuliskan keburukan sistem ini. Demokrasi ada untuk menjaga sistem sekuler. Sistem yang sengaja dipromosikan oleh Barat untuk menjebak kaum Muslimin dan untuk melanggengkan penjajahan mereka agar tetap bisa mengeruk sumber daya alam yang melimpah di negeri-negeri islam. Jadi demokrasi bukan jalan aman untuk menerapkan Islam kafah.
Bagaimana Membangun “Rumah Kita”?
Satu-satunya model negara yang layak untuk menerapkan syariah hanyalah negara Khilafah. Jalan menegakkan Khilafah memang bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki. Tidak banyak yang berani menanggung resikonya.
Jalan itu adalah jalan yang ditempuh Rasulullah saw. melalui dakwah ideologis baik di level akar rumput maupun level elit politik. Di Makah, selama hampir tiga belas tahun Rasulullah berdakwah, hanya level akar rumput yang dapat di akses. Itupun hanya berhasil merekrut sekitar 100 orang. Namun di Madinah, Mushab bin Umair sebagai duta Rasulullah, hanya dalam waktu satu tahun dapat mengakses hampir seluruh lapisan elit sehingga revolusi berjalan mulus. Dan Daulah Islam tegak di Madinah.
Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang luar biasa tentang bagaimana proses yang alami ini dapat berlangsung manusiawi dan sempurna. Hingga Daulah Islam tegak dan membawa keberkahan dan rahmat bagi seluruh alam. Daulah itu mampu bertahan selama ber abad abad serta melahirkan peradaban gemilang. Maka perjuangan mengembalikan kejayaan Islam, wajib hanya mencontoh perjuangan Rasulullah saw. bukan melalui jalan demokrasi.
“Inilah jalan-Ku yang lurus. Karena itu ikutilah oleh kalian jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain yang dapat menyimpangkan kalian dari jalan-Nya. Demikianlah Allah memerintahkan hal itu kepada kalian agar kalian bertakwa” (TQS al-An’am ayat 153).[MO/sr]