Oleh : Nida Husnia Ramadhani
(Aktivis Mahasiswa)
Mediaoposisi.com- Tahun politik bersemi. Segala bentuk persiapan kampanye mulai dilancarkan para caleg dari berbagai parpol demi mendapatkan posisi di hati rakyat. Janji-janji pun di obral, jaminan kesehatan, pangan, kesejahteraan ramai digembor-gemborkan. Terlebih lagi hal itu dilakukan oleh dua kubu capres-cawapres mengingat momen Pemilu semakin dekat.
Termasuk RI1 Joko Widodo bersama jajarannya yang akhir-akhir ini sibuk bekerja, merangkul masyarakat sebagai bekal kampanye di kemudian hari. Mulai dari blusukan, ke pasar-pasar, meng-gratiskan biaya tol Suramadu, menciptakan isu-isu mobil esemka, menggandeng ulama dan lain sebagainya.
Namun sayang sekali, bersamaan dengan besarnya upaya membangun citra diri, Istana Negara justru digeruduk ribuan guru honorer yang hendak menagih janji-janji Jokowi. Aksi tersebut dilaksanakan sejak 30 Oktober diseberang Istana, karena belum mendapat respon maka aksi dilanjutkan keesokan harinya sampai para peserta aksi bermalam didepan Istana Negara.
Ketua Forum Honorer K2 Indonesia Titi Purwaningsih mengatakan aksi ini dilakukan untuk menuntut janjiJokowi pada Juli lalu yang sempat diungkapkannya dalam agenda Asosiasi Pemerintah Daerah untuk segera mengangkat guru honorer yang telah berpuluh tahun mengabdi dan tak juga diangkat menjadi PNS. Terlebih lagi, Jokowi berjanji menyelesaikan permasalahan guru honorer ini sejak 2014. (detik.com)
Mirisnya, pada hari ketika Jokowi dibesuk ribuan guru honorer itu, ia malah meninjau posko evakuasi Lion Air dan blusukan ke pasar Bogor untuk cek harga sembako.. Pihak negara juga tak memberikan jaminan apapun sehingga peserta aksi pulang dengan tangan kosong.
Indonesia telah tertinggal 107 peringkat dari negara-negara ASEAN lainnya. Deutsche Welle mengeluarkan data pada 2017 yang menyebutkan bahwa hanya ada 44% anak bangsa yang menuntaskan pendidikan menengah, 11% gagal melanjutkan sekolah, dan sisanya? Tak mengenyam pendidikan. (news.okezone.com)
Begitu beratnya realita ini bagi para guru. Terlalu banyak jumlah anak bangsa yang tak bisa bersekolah, padahal pendidikan adalah modal utama dalam menjalankan aktifitas di masa mendatang, apalagi kita semakin terdesak perkembangan zaman. Sehingga banyak juga program mengajar bermunculan, relawan guru, termasuk guru honorer yang dibutuhkan banyak sekolah.
Guru tak sekedar mengajar, ia juga menjadi motivasi belajar para siswa. Ia juga menjadi figur yang akan dicontoh para siswa. Ia pun mendidik karakter para siswa dengan style nya masing-masing. Maka pantas bila ia dilabeli “pahlawan tanpa tanda jasa”.
Seharusnya sudah menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin kesejahteraan para guru. Bagaimana tidak? Amanah yang dibebankan pada bahunya sungguh berat, namun ia masih harus menaggung beratnya pengkhianatan jaminan kesejahteraan hidup.
Hari ini negara tak mampu menghargai jasa guru, padahal jajaran penguasa juga lahir dari didikan para guru. Saat ribuan guru honorer mendatangi Istana Negara untuk menuntut haknya, yang terjadi malah mereka diabaikan. Tak diberikan keputusan apapun, malah ditinggalkan sibuk membangun citra diri.
Tak perlu menunggu puluhan tahun untuk melihat betapa hancurnya Indonesia. Dalam hitungan hari, sudah banyak problematika negri yang bermunculan. Terlebih lagi masalah yang sangat pokok yaitu pendidikan.
Saat pemerintah gagal menjamin kesejahteraan guru, jangan salah bila kemudian kita menyaksikan fakta buta huruf terjadi di banyak daerah pelosok. Sarjana-sarjana pendidikan pun sangat mungkin menjadi tidak berguna, tak hendak mengambil profesi guru karena takut dirinya juga akan menjadi korban abainya pemerintah. Lelah mengajar, dan jasanya tak di-harga-i.
Lagi-lagi penguasa tak malu menunjukkan kelihaian nya ‘kabur’ dari masalah demi masalah. Tuntutan rakyat tak pernah dipenuhi, namun mengemis suara rakyat saat kampanye tiba. Selamat jalan Indonesia, bila terus begini, negri ini akan semakin tergerus kebodohan dan pembodohan.[MO/sr]