Oleh: Nirma
Pertumbuhan ekonomi berdasarkan data yang ada menunjukkan kenaikan dari periode sebelumnya bahkan diberitakan dalam ekonomi.kompas.com (2018) bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II 2018 ini tertinggi sejak 2014 yaitu sebesar 5,27 persen dan menjadi salah satu negara yang pertumbuhan ekonominya stabil didunia.
Bukankah ini hal yang membanggakan?
Tapi apakah pertumbuhan ekonomi yang meningkat ini diikuti dengan pemerataan distribusi ekonomi?
Indonesia adalah negara dengan tingkat ketimpangan nomor 4 didunia setelah Rusia, India dan Thailand. Ketimpangan ekonomi ini diukur lewat kepemilikan kekayaan.
Data Lembaga Keuangan Swiss (Credit Suisse) tahun 2016 menyebutkan bahwa 1% orang Indonesia menguasai 49,3 % kekayaan nasional dan 10 % menguasai 75,7% kekayaan nasional, sehingga 90% penduduk hanya memiliki bagian 24,3% kekayaan nasional.
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa sebagian besar kekayaan nasional dikuasai oleh para capital yang bahkan jumlahnya hanya 1% atau sekitar 2,61 juta orang Indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional.
26,11 juta orang Indonesia menguasai 75,7% kekayaan nasional dan 90% atau kira-kira 234,9 juta orang Indonesia hanya menguasai sekitar 24,3% kekayaan nasional. Hal ini menunjukan ketimpangan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia.
Ketimpangan ekonomi ini juga sangat terlihat dari belum meratanya distribusi ekonomi antara daerah-daerah atau provinsi yang ada di Indonesia. Ketimpangan yang sangat jauh antara desa dan kota apalagi daerah terpencil, pedalaman atau perbatasan.
Meskipun diberitakan bahwa angka kemiskinan nasional turun bahkan mencapai angka 9,8% namun sebenarnya ini tidak diimbangi kondisi yang serupa dari provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. Masih banyak dari provinsi-provinsi yang ada memiliki angka kemiskinan diatas rata-rata nasional.
Ketimpangan ini dapat dengan mudah dilihat pada provinsi-provinsi sebelah timur seperti Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo dsb. banyak dari rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan dalam sistem saat ini menjadikan orang kaya semakin kaya dan yang miskin makin miskin.
Kesejahteraan dan pemerataan ekonomi dalam sistem ini seolah menjadi mimpi bagi masyarakat. Salah satu gambaran fenomena ketimpangan ini dapat dilihat di daerah pedesaan misalnya di kabupaten Pacitan Jawa Timur yang masih banyak masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan.
Mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani yang hasil panennya itu tidak fokus untuk komoditas yang dijual namun lebih banyak di konsumsi sendiri, namun tetap ada komoditas yang diproduksi dan dijual, seperti gula jawa.
Pada salah satu desa yang mayoritas masyarakatnya memproduksi gula jawa secara mandiri, mereka tengah dihadapkan pada kondisi perekonomian nasional yang bergejolak sehingga memicu mahalnya harga bahan-bahan pangan.
Namun semua ini tidak memberikan pengaruh terhadap harga jual gula jawa, dimana harganya cenderung stagnan dan bahkan menurun.
Fakta membuktikan bahwa meningkatnya pertumbuhan ekonomi sebenarnya tidaklah diikuti dengan pemerataan kesejahteran atau distribusi ekonomi tersebut. Sebab hanya orang-orang yang bermodal saja yang menguasai mayoritas kekayaan nasional.
Semua ini dikarenakan penerapan sistem ekonomi liberal kapitalistik yang hanya semakin menguntungkan pemilik modal dan bukan rakyat.
Di sisi lain hubungan harmonis juga ditunjukan oleh para penguasa dan pengusaha yang saling bekerjasama demi keuntungan individu yang sebesar-besarnya.
Untuk itu dibutuhkan sebuah sistem yang akan mampu memberikan solusi nyata bagi masyarakat. Sejatinya, sistem Islam sudah merinci semua aturan yang dibutuhkan oleh manusia. Sebab yang paling mengetahui ciptaan adalah penciptanya sendiri.
Apabila dikembalikan kepada hakikat manusia, akan ditemukan bahwa manusia hanyalah makluk yang diciptakan dan sudah diberikan pedoman hidup yang harus diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Tidak diragukan lagi, hanya dengan kembali pada sistem islam-lah semua maslah dapat diatasi dengan tuntas.[MO/gr]