Oleh: Nauroh Alifah
(anggota komunitas belajar nulis Revowriter dan staff pengajar SD Islam di Jember)
Namun, ada daya, menjadi ibu yang berkualitas saat ini sangatlah sulit diwujudkan. Tantangan kehidupan yang serba sekuler-liberal membuat bahaya yang siap merusak harapan para ibu. Arus liberalisasi dan berbagai kebijakan pemerintah seakan tidak peduli dengan suara hati para ibu di negeri ini.
Karena masalah perekonomian yang kian memburuk, masalah gizi buruk dan anak putus sekolah masih menjadi PR negeri ini. Kerusakan moral apalagi. Narkoba, sex bebas, aborsi, tawuran pelajar senantiasa menghiasa wajah negeri ini. Dan sekali lagi, masalah-masalah tersebut tidak pernah diselesaikan dengan tuntas.
Yang terbaru, setelah di nobatkan sebagai negeri darurat kekerasan sexual pada anak. Kini, masyarakat kembali dibuat resah dengan keputusan MK bahwa kumpul kebo dan LGBT tidak bisa dihukum pidana. Masyarakat bingung, tapi para penguasa justru membela diri.
Belum reda, rame-rame soal Mk dan LGBT, publik kembali dikejutkan dengan berita diskotik MG yang memiliki pabrik narkotika cair. Bahkan Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan banyaknya transaksi narkotika yang dilakukan di tempat-tempat hiburan malam (THM) seperti diskotik. Tentu fakta ini menjadi kado pahit bagi masyarakat utamanya para ibu.
Fakta tersebut semakin rumit, jika internal keluarga juga dilanda masalah. Kerapuhan intitusi keluarga semakin nyata. Angka Perceraian meningkat tajam. Bahkan fitrah keibuan pun kini semakim tergerus. Lihat saja, kekerasan yang menimpa anak, yang dilakukan anggota keluarga, khususnya ibu kandung, ada kecenderungan meningkat.
Menurut catatan KPAI, pada tahun 2016 ada 1000 kasus kekerasan pada anak yang terlaporkan. Dan kita tahu, ini adalah puncak gunung es, artinya jumlah yang riil bisa jadi lebih berlipat. Dari jumlah itu, 55 persen pelakunya adalah ibu, dan ini menunjukkan peningkatan yang memprihatinkan. Bisa kita bayangkan, bagaimana nasib negeri ini kedepan??
Ketahanan Keluarga butuh sinergi harmonis
Solusi mengembalikan ketahanan keluarga, berkali-kal digaungkan oleh penguasa di negeri ini. Memang benar, ibu (orang tua) adalah penanggung jawab pertama dalam melindungi keluarga dan generasi. Namun, faktor lain seperti terwujudnya iklim yang kondusif juga harus ada.
Iklim yang kondusif ini ada pada tanggung jawab masyarakat dan negara. Islam mengatur tanggung jawab ini dalam sinergi harmonis antara orang tua, keluarga dan kerabat, masyarakat dan juga penguasa(negara).
Misalnya dalam masalah jaminan nafkah terhadap anak dan keluarga, maka Islam memberikan tanggung jawab ini kepada ayah. Maka negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang mencukupi dan juga memastikan agar semua laki-laki mampu berkerja dan menjalankan tanggung jawabnya untuk mencari nafkah. Tidak seperti saat ini, negara justru mencanangkan perempuan sebagai garda depan penyelamat ekonomi bangsa.
Namun bila ayah ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga karena beberapa kondisi seperti sakit, maka tanggung jawab ini beralih kepada wali dan kerabat. Bila kerabat juga tidak mampu, maka Islam membuka pintu kontribusi masyarakat untuk membantunya. Dan bila masih belum bisa terpenuhi, maka tanggung jawab nafkah beralih pada penguasa (negara) dengan memberikan santunan dari kas baitul mal. Dengan demikian maka masalah gizi buruk pada anak anak teratasi.
Demikian pula masalah menjaga moral anak. Di rumah ibu bersama keluarga berusaha mendidik anak sebaik mungkin dengan Islam. Masyarakat berusaha menjaga lingkungan supaya tetap kondusif dan menumbuhkan iklim saling peduli. Dan negara berusaha menjaga supaya tidak ada rangsangan sexual di tengah -tengah masyarakat.
Media bersih dari pornografi. Tempat-tempat kemaksiatan tidak oleh diberi ijin beroperasi. Pelaku kemaksiatan dihukum dengan hukuman yang menimbulkan efek jera. Tidak seperti saat ini, perzinaan dan pelaku LGBT justru tidak bisa terkena sanksi pidana. Pornografi dan pornoaksi merebak dimana-mana.
Dengan sinergi antara ibu(keluarga), masyarakat dan negara maka akan terwujud ibu-ibu idaman, keluarga-keluarga yang memiliki daya tahan tinggi dan generasi yang berkualitas. Sungguh, itulah kondisi yang kita harapkan bersama.
Negara Perisai Hakiki
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dia pimpin. Apakah ia menjaga atau menyia-nyiakannya." (HR.Tirmidzi).
Sungguh, dalam menyikapi masalah yang sangat kompleks seperti saat ini, maka kita tidak bisa hanya menyandarkan pada peran keluarga (ibu). Apalagi ditengah kondisi kualitas ibu yang juga jauh dari harapan. Sungguh, hari ini kita membutuhkan pemimpin yang peduli. Pemimpin yang dapat menghadirkan kembali peradaban Islam yang agung.
Dalam sejarah peradaban Islam dikenal Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Menyadari bahwa dirinya diberi amanah memimpin urusan umat Nabi Muhammad SAW, dia berkata kepada istri dan anaknya:” Aku termenung dan terpaku memikirkan nasib para fakir miskin yang sedang kelaparan dan tidak mendapatkan perhatian dari pemimpinnya...Hal yang sama terfikir olehku tentang nasib orang-orang yang selama ini didzalimi dan tidak ada yang membela..”
Sekalipun jabatan beliau sebagai Khalifah sangat singkat. Hanya sekitar 2 tahun. Umar Bin Abdul Aziz membuat prestasi terbaik. Ang Khalifah berhasil membebaskan rakayatnya dari kemiskinan, hingga tak ada lagi fakir miskin yang berhak menerima zakat.
Model pemimpin seperti inilah yang sangat kita rindukan. Pemimpin seutuhnya yang mau memberi solusi terbaik untuk rakyatnya. Pemimpin yang tidak sekadar melempar jargon. Pemimpin yang mengajarkan, mendidik dan mengatur rakyatnya sesuai dengan aturan Allah SWT. Pemimpin yang mampu mengusir keresahan para ibu dengan berbagai kebijakannya menentramkan dan menyejahterkan.[MO/sr]