Oleh: Salis Fathu Rohmah
(Alumni Statistika UNAIR)
Mereka melakukan aksi ini sebagai bentuk protes terhadap Permempan No.36 Tahun 2018 yang dinilai dikriminatif terhadap guru honorer dan tenaga kependidikan honorer di sekolah negeri.
Mereka juga menuntut penghentian rekrutmen CPNS jalur umum dan berharap Presiden RI menerbitkan Perpu mengganti UU untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Apalagi salah satu janji Jokowi ketika kampanye adalah mengangkat guru honorer menjadi PNS.
Terakhir kali ribuan demonstran yang merupakan guru honorer ini berunjuk rasa di Istana Merdeka pada tanggal 30 Oktober, mereka menuntut agar perwakilan mereka bisa menemui presiden Jokowi.
Namun nyatanya bapak Presiden RI atau salah satu menterinya tak kunjung menemui mereka hingga para pengunjuk rasa bermalam di kompleks Istana Negara.
Menanggapi sikap cuek presiden, para pengunjuk rasa memanfaatkan momen pilpres 2019 dengan berjanji tidak memilih Jokowi jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Hal tersebut juga menimbulkan banyak komentar netizen terhadap Jokowi yang terkesan cuek terkait tuntutan guru honorer ini.
Katanya kangen didemo, tapi ketika rakyat sudah bersusah payah mendatangi tapi tak kunjung juga ditemui.
Nasib para guru honorer pun tak kunjung berbuah manis. Alih-alih diperhatikan, dengan adanya rekrutmen CPNS besar-besaran mereka merasa diperkecil peluang mereka untuk memperjuangkan nasibnya.
Batas pendaftar CPNS adalah 35 tahun dirasa tidak sesuai dengan fakta guru honorer yang melebihi usia tersebut.
Seolah tak pernah dilihat perjuangan mereka mengabdi pada negeri mengajar generasi tanpa gaji yang manusiawi. Padahal dengan keadaan hidup yang semakin menghimpit bahkan mencekik diri.
Demo pun dilakukan para pengabdi negeri ini sebagai usaha untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik hingga rela meninggalkan anak didik berhari-hari.
Tidak salah jika menuntut adanya kesejahteraan bagi guru honorer kepada penguasa. Apalagi mereka menagih janji yang telah disuarakan walaupun dibantah oleh pihak Istana.
Hmm ... lagi-lagi hanya janji.
Tanggung jawab kesejahteraan rakyat oleh penguasa nampaknya tidak lagi menjadi fokus penguasa dalam mengabdi. Sudah berapa banyak rakyat ditipu janji manis para penguasa yang pada akhirnya rakyat pula yang harus berjuang sendiri.
Ya, penguasa hanya butuh suara rakyat untuk menjadikan dia duduk di kursi kepemimpinan. Namun kacang lupa kulitnya sepertinya menjadi fenomena yang selalu terjadi berulang kali.
Begitulah sejatinya sistem demokrasi. Slogan ‘dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat’ dibiarkan hanya menjadi slogan tanpa bukti. Untuk rakyat sebelah mana sebenarnya kepemimpinan yang ada?
Angka kemiskinan yang semakin kecil hanya menunjukkan data yang susah diyakini.
Nyatanya rakyat masih saja menjerit akibat beban hidup semakin menekan dan jauh dari kesejahteraan.
Bandingkan dengan kepemimpinan Islam dalam mensejahterakan rakyatnya. Islam menegaskan bahwa penguasa adalah ra’in (pengembala) rakyatnya yang berkewajiban penuh pada kesejahteraan rakyat.
Dimana penguasa paham bahwa dia yang menempati urutan pertama dalam penghisaban ketika akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya.
Apalagi guru yang dipandang profesi mulia yang harus dihormati. Tengok saja pada saat kepemimpinan Umar bin Khattab. Di masanya guru anak digaji sebesar 15 dinar per bulan yang setara dengan 4,25 gram emas.
Jika hal ini dirupiahkan bahkan mencapaikan angka 30 juta lebih. Kekhilafahan mempunyai perhatian penuh pada pendidikan. Dimana pendidikan diberikan gratis dibuka untuk umum dengan fasilitas terbaik.
Masya Allah! Maka guru pun menjadi fokus mendidik generasi karena tak perlu lagi memikirkan beban hidup yang lain. Sementara anak didik juga fokus mengamalkan dan mengembangkan ilmunya.
Begitulah sistem pendidikan Islam yang menempatkan bahwa pendidikan adalah satu dari kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi penguasa. Begitu pula dengan syariat Islam yang tidak lain adalah mekanisme terbaik dari Sang Pencipta untuk mengatur masyarakat baik muslim maupun non muslim agar hidupnya terjamin.
Bukannya rakyat harus berjuang sendiri tanpa peran penguasa dan negara yang punya kepentingan lain dalam menjabat. Apalagi dengan aturan bikinan segilintir manusia boneka yang serba menguntungkan pihak tertentu saja bukan rakyat yang utama.
Karenanya, sudah selayaknya kita sebagai manusia cerdas yang beriman segera meninggalkan demokrasi. Sistem yang membuat setiap diri mengecap pahitnya kehidupan.
Lalu kita kembali kepada Islam, menerapkan semua hukum Allah dalam manisnya iman, di bawah kepemimpinan Khilafah Islam yang menjadi jalan negara bertaubat dari segala kesalahan manusiawinya. [MO/gr]
\