Oleh: Arin RM, S.S
(Member TSC)
Mediaoposisi.com- Dunia pendidikan kembali berduka. Tanpa dinyana bangku PAUD dan Sekolah Dasar terpapar HIV. Dan 3 siswa di Sumatra Utara adalah diduga sebagai penderitanya. Tiga anak yang terdiri dari seorang laki-laki dan dua perempuan berinisial H (11), SA (10), dan S (7) bukan warga asli Nainggolan.
Mereka merupakan penduduk dari daerah luar yang didatangkan ke RS HKBP Nainggolan untuk dirawat di sana. Pemkab Samosir kemudian mendaftarkan ketiganya di sekolah, yaitu satu anak di PAUD dan dua lainnya di SDN setempat (medan.tribunnews.com, 22/10/2018).
Menyikapi hal ini, Pemerintah Kabupaten Samosir, Sumatra Utara, menyatakan akan menciptakan sistem pengajaran terpisah bagi tiga anak yang diduga mengidap HIV.
Bupati Samosir Rapidin Simbolon memastikan hal ini setelah ditolaknya tiga anak sekolah dasar di Desa Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatra Utara, ditolak bersekolah karena para orang tua lain khawatir anak-anak mereka dapat tertular virus HIV. Rapidin menyatakan langkahnya membuat pengajaran terpisah sebagai solusi sama-sama menang. Ia juga mengatakan bahwa dia telah menjelaskan kepada warga mengenai penularan HIV namun warga tetap menolak (bbc.com, 23/10/20180.
Dari sumber yang sama dinyatakan bahwa data PBB menunjukkan sekitar 3200 anak di Indonesia terjangkit HIV dengan penularan dari ibu. Penularan yang paling banyak adalah adalah para istri pengguna narkoba dengan suntik, para pengguna jasa pekerja seks komersial, istri para pria gay dan pria gay. Apa yang terjadi di atas menunjukkan bahwa anak-anak pada akhirnya menjadi korban. Usia mereka yang belia sangat mungkin untuk tidak terlibat pergaulan bebas yang disinyalir sebagai jalan terkuat penularan HIV.
Perilaku pergaulan bebas yang biasanya dekat dengan narkoba dan miras, sebenarnya adalah buah dari adanya kebebasan berperilaku. Dalam alam yang serba demokratis seperti saat ini, kebebasan berperilaku harus diakomodir dengan dalih agar tidak mematikan hak asasi.
Akan tetapi, tatkala kebebasan berperilaku tersebut tidak terkendali, dapat berakibat fatal. Mengapa? Atas nama kebebasan bertingkah laku, aktivitas saling menasehati dianggap sebagai bagian dari ikut campur privasi orang lain, sehingga konsep benar dan salah menjadi kabur.
Bahkan pada kasus penularan HIV ini, atas nama kebebasan pula digiring opini secara sistematis untuk menghilangkan phobia atas penderita HIV. Masyarakat diminta untuk tidak berlaku diskriminatif terhadap penderita HIV. Padahal masyarakat sudah mengetahui bahawa HIV sendiri virus yang sangat cepat menular dan secara medis sangat mungkin berkembang menjadi AIDS.
Dan realitas di lapangan menunjukkan bahwa penderita AIDS jarang yang berakhir dengan kesembuhan prima. Justru banyak yang yang harus meregang nyawa. Dan jika seperti ini apakah tidak mengancam masa depan generasi bangsa?
Bukankah jumlah kasus yang terdata seperti dipaparkan di atas adalah fenomena gunung es? Belum mencerminkan keadaan sebenarnya, sebab realitas di lapangan angkanya pasti jauh lebih banyak, mengingat belum semua orang dengan HIV/AIDS terdeteksi. Hal ini dikarenakan adanya keengganan memeriksakan diri.
Jika masyarakat dipaksa untuk berbaur dengan ODHA lantas apakah arti dari upaya pencegahan penularan HIV? Mengapa jika terbukti virus itu aman (-sehingga setiap orang harus tidak menjaga jarak), justru dari tahun ke tahun jumlah penderita semakin banyak?
Keadaan inilah yang kemudian justru harus dilihat dengan jeli. Jangan sampai usaha mencegah justru menjadi memperparah. Dari sisi gagasan pencegahan HIV/AIDS, Indonesia mengambil program yang bersumber dari UNAIDS (United Nation Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan WHO melalui PBB.
Salah satu programnya berupa kampanye pencegahan HIV/AIDS yang kerap disebut ABCD. Ringkasnya, A=Abstinence alias jangan berhubungan seks; B=Be faithfull alias setialah pada pasangan, C=Condom alias pakailah kondom, atau D=no use Drugs atau hindari obat-obatan narkotika.
Namun kampanye ini belum sukses. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program kondomisasi lebih menonjol. Padahal, orang bodoh pun tahu bahwa menyodorkan komdom sama saja dengan menyuburkan seks bebas. Apalagi, faktanya kondom justru dibagi-bagikan di lokasi-lokasi prostitusi, hotel dan tempat-tempat hiburan yang rentan terjadinya transaksi seks.
Sedangkan untuk mencegah penularan HIV/AIDS yang banyak terjadi pada pengguna narkoba terutama suntik, maka para pecandunya diberi solusi dengan substitusi metadon. Metadon adalah turunan dari narkoba (morfin, heroin dkk) yang mempunyai efek kecanduan juga. Dan apakah ada jaminan ketika dalam pengaruh obat tidak ada aktivitas pergaulan bebas? Bukankah pergaulan bebas adalah gerbang penularan virus HIV?
Sejauh ini, akhirnya gagasan pencegahan di atas terkesan kalah cepat dengan banyaknya penderita baru yang terus bermunculan. Mengapa? Sebab solusinya tidak fokus mengilangkan sumbernya. Tidak langsung pada upaya menghentikan pergaulan bebas beserta segala pemicunya. Terlebih lagi solusi yang ditawarkan tidak menggabungkan peran agama di dalamnya.
Padahal jika mau melirik pada Islam, Islam telah menyediakan paket lengkap penanggulanan beserta pencegahannya.
Dalam konsteks pencegahan Islam menetapkan melalui pendidikan Islam yang menyeluruh dan komprehensif, dimana setiap individu muslim dipahamkan untuk kembali terikat pada hukum-hukum Islam dalam interaksi sosial. dilakukan melalui pendidikan Islam yang menyeluruh dan komprehensif, dimana setiap individu muslim dipahamkan untuk kembali terikat pada hukum-hukum Islam dalam interaksi sosial (nizhom ijtima’i/aturan sosial).
Seperti larangan mendekati zina dan berzina itu sendiri, larangan khalwat (beruda-duaan laki perempuan bukan mahram, seperti pacaran), larangan ikhtilat (campur baur laki perempuan), selalu menutup aurat, memalingkan pandangan dari aurat, larangan masuk rumah tanpa izin, larangan bercumbu di depan umum, dll.
Negara juga wajib melarang pornografi-pornoaksi, tempat prostitusi, dan lokasi maksiat lainnya. Industri hiburan yang menjajakan pornografi dan pornoaksi harus ditutup. Semua harus dikenakan sanksi. Pelaku pornografi dan pornoaksi harus dihukum berat, termasuk perilaku menyimpang seperti homoseksual.
Sementara itu, kepada penderita HIV/AIDS, negara harus melakukan pendataan konkret. Negara bisa memaksa pihak-pihak yang dicurigai rentan terinveksi HOV/AIDS untuk diperiksa darahnya. Selanjutnya penderita dikarantina, dipisahkan dari interaksi dengan masyarakat umum. Karantina dimaksudkan bukan bentuk diskriminasi, karena negara wajib menjamin hak-hak hidupnya.
Bahkan negara wajib menggratiskan biaya pengobatannya, memberinya santunan selama dikarantina, diberikan akses pendidikan, peribadatan, dan keterampilan. Bahkan jika perlu negara harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk membiayai penelitian guna menemukan obat HIV/AIDS. Dengan demikian, diharapkan penderita bisa disembuhkan.
Dan untuk mengenalkan pencegahan dan misi penemuan penanganan yang tepat ini, pemahaman bisa diintegrasikan sejak dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, hingga negara melalui kebijakan kurikulumnya. Perlu diawali dari keluarga sebab generasi menghabiskan masa tumbuh kembangnya dari bayi hingga bisa dikatakan ABG dalam buaian keluarganya.
Di dalam institusi keluargalah generasi akan mendapatkan pendidikan yang utama dan pertama dari kedua orang tuanya. Maka, sejatinya adalah hal yang wajar jika keluarga bisa memainkan peran utama untuk membentengi dari pergaulan bebas.
Hanya saja kekuatan benteng dari keluarga dan ketaqwaan individu muslim dalam menjalankan syariat agamanya ini akan tertatih-tatih tatkala mereka dibiarkan hidup di lingkungan yang justru menyemarakkan liberalisme. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dari segenap masyarakat dan juga institusi yang lebih besar guna mengawal perlindungan masa depan generasi ini.[MO/sr]