-->

Dollar Melejit, Dinar Dirham Solusi Langit

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh : Nana Munandiroh

Mediaoposisi.com- Badan Anggaran DPR dan Pemerintah telah menyetujui asumsi dasar ekonomi makro untuk RAPBN 2019. Salah satu yang disepakati adalah asumsi nilai tukar rupiah dipatok pada level 15 ribu rupiah perdolar AS. Asumsi diubah lantaran proyek dana Moneter Dunia dan Bank Dunia memprediksi nilai tukar masih bakal berlanjut hingga tahun depan.(tempo.co/17okt)

Dengan ditetapkannya nilai tukar rupiah menjadi Rp 15 000,- /dolar AS dari yang sebelumnya Rp 14 500’-/dolar AS tentu RAPBN 2019 juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini tentu akan membebani rakyat, karena sebagian besar pendapatan negara berasal dari pajak yang di pungut dari rakyat.

Menurut gubernur BI Agus Martowardojo , melejitnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS merupakan akibat penguatan tajam dolar AS yang dipicu oleh meningkatnya imbal hasil (yield) surat berharga AS dan meningkatnya ekspektasi kenaikan suku bunga di negeri Paman Sam tersebut.

Kenaikan yield dan suku bunga di AS dipicu oleh meningkatnya optimisme investor terhadap prospek ekonomi AS seiring berbagai data ekonomi AS yang terus membaik. Selain itu, meningkatnya tensi perang dagang antara AS dan Tiongkok juga mempengaruhi melejitnya dolar.

Melejitnya dolar merupakan bukti bahwa mata uang kertas rentan mengalami devaluasi. Sistem moneter yang diterapkan saat ini dengan menggunakan uang kertas yang tidak disandarkan pada emas dan perak mempunyai kelemahan mendasar, antara lain selalu terkena inflasi permanen.
Pada mata uang kertas, nilai nominal yang tertera ternyata sangat jauh berbeda dengan nilai instrinsiknya.

Ketika terjadi penambahan uang baru melalui pencetakan uang baru atau penambahan total nominal uang melalui sistem bunga dan reserve bank, maka total nominal uang dan jumlah uang yang beredar bertambah banyak, tak sebanding dengan pertambahan jumlah barang. Akibatnya, nilai mata uang turun dan terjadilah inflasi.

Berbeda dengan uang kertas, dinar dan dirham nilai instrinsik dan nominalnya menyatu, tidak ada perbedaan. Sebab nilai nominal dinar dan dirham, ditentukan semata oleh berat logamnya itu sendiri yang sekaligus menjadi nilai instrinsiknya, bukan ditentukan oleh dekrit atau pengumuman Bank Sentral.

Sayangnya, mata uang dinar dan dirham sebagai satu-satunya mata uang yang tahan inflasi dan relatif stabil tidak digunakan oleh negara manapun. Karena diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang digunakan negara-negara imperialis untuk menguasai perekonomian dunia.

Berbagai krisis yang terjadi di dunia saat ini dan juga inflasi yang berkelanjutan, membuat sebagian orang menggagas sistem ekonomi Islam. Karena sistem ekonomi islam dianggap mampu memberi kepuasan, kemaslahatan dan juga kesejahteraan apabila bisa diterapkan. Seperti dana zakat untuk mengatasi kemiskinan, bank-bank berlabel syariah untuk menghindari riba bank konvensional. Namun, sayangnya penerapan ekonomi islam hanya diambil dari segi manfaatnya saja dan meninggalkan Islam secara keseluruhan.

Di dalam Islam, membangun ekonomi harus dibangun dari aqidah, tidak hanya atas azaz manfaat saja. Sistem ekonomi Islam tidak hanya terbatas pada zakat dan menghindari riba. Akan tetapi, mencakup seluruh aspek ekonomi seperti mengatur tentang kepemilikan, mengatur pengelolaan sumber daya alam, mengatur muamalah yang harus terikat dengan hukum syara’, bahkan penetapan dinar dan dirham sebagai mata uang mutlak dilakukan.

Hal ini tentu diperlukan sebuah sistem yang utuh, diterapkan secara totalitas oleh negara karena ketundukannya pada hukum syara’. Sehingga berdirinya sebuah negara yang dilandaskan pada aqidah islam adalah sebuah keniscayaan.[MO/sr]




Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close