Oleh: Nurul Hidayati Meihasih
(Forum Penulis Perempuan Peradaban FP3)
Sebenarnya, dilihat dari sisi bahasa, sontoloyo memiliki arti penggembala bebek (bahasa Jawa). Lambat laun, kata sontoloyo ini masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kemendikbud. Kata ini kemudian mengalami pergeseran makana, berubah menjadi makna negatif. Makna dari kata sontoloyo sendiri berarti “konyol”. “tidak beres”, serta “bodoh” (KBBI Kemendikbud).
Dengan demikian, yan dimaksud dengan politik sontoloyo adalah politik konyol/tidak beres/bodoh. Ketiga kata sifat itu adalah merupakan padanan kata, yang bermakna negatif. Jika memang yang dimaksud Jokowi adalah demikian, maka politik adu domba, politik tipu-tipu, politik dengan menyebarkan fitnah, dan semacamnya, adalah termasuk politik sontoloyo.
Terlepas dari kontversi pantas tidaknya seorang Kepala Negara mengucapkan kata negatif tersebut, maka ada beberapa hal yang perlu dicermati.
Pertama, siapakah yang dimaksud dengan politisi sontoloyo tersebut. Jika kita amati pernyataan Jokowi, bahwa pilgub, pilbup, dan pilpres menjadi salah satu faktor munculnya politisi sontoloyo, maka sebenarnya siapa sih yang kemarin mendukung mati-matian calon-calonnya dalam pilkada ? Siapa pula yang kini tengah gencar melakukan kampanye menuju RI 1 ?
Jika pertanyaan ini dijawab secara jujur, maka sudah sepantasnya, Jokowi dan para pendukungnya merasa tertohok dengan ucapan itu. Frasa sontoloyo itu akhirnya, justru akan menjadi bumerang bagi Jokowi dan para pendukungnya.. Inilah mengapa perlu mencermati frasa negatif tersebut.
Kedua, jika yang dimaksud dengan sontoloyo adalah politik adu domba atau pecah belah, termasuk politik isu SARA, hoax, dan sebagainya. Maka Jokowi seharusnya juga merenung. Apakah tindakan aparat yang melepaskan pembakar bendera tauhid, bukan politik adu domba ? Pada kenyataannya, tindakan polisi yang tidak adil tersebut, telah membuat sakit hati sebagian besar umat Islam.
Sedang di sisi lain, umat yang tidak suka dengan Islam, merasa dimenangkan dengan tindakan polisi tersebut. Ada pula politisi yang mengungkapkan data ekonomi Indonesia semakin melejit. Padahal kenyataannya ekonomi negeri ini semakin merosot.
Ruiah juga semakin terpuruk. Apakah realita seperti ini bukan termasuk hoax ? Apakah yang demikian itu bukan termasuk kedalam definisi sontoloyo ? Lalu bagaimana kita harus bersikap ? Pada kenyataannya, janji-janji muluk kampanye, baik dalam pilkda atau pilpres, tidak pernah bisa dinikmati rakyat ? Apakah janji yang tidak ditepati, bukan hoax ? Dan yang menyebarkan hoax tersebut, bukan politisi sontoloyo ?
Disinilah, sesungguhnya kita harus lebih cerdas menggunakan akal kita. Andaikan Jokowi hidup di zaman Khilafah Rasyidah, tentunya beliau tidak perlu pusing memikirkan persoalan politik sontoloyo ini. Karena di dalam Islam, kekuasaan tidak diperebutkan seperti sekarang ini. Bahkan, saat para sahabat diangkat menjadi Khalifah/Gubernur suatu wilayah, mereka akan menangis.
Mereka menangis karena teringat dengan beratnya beban amanah yang akan mereka panggul saat diangkat menjadi pemimpin umat. Ketika di dalam jiwa seorang muslim, syu’ur (perasaan) Islamnya sangat tinggi, maka ia tidak akan mudah tergiur dengan iming-iming jabatan/kedudukan. Inilah mengapa, di zaman kepemimpinan Islam, tidak muncul istilah politisi sontoloyo. Karena sistem Islam yang sempurna, telah membentuk kepribadian unggul para pemimpinnya.[MO/sr]