Ilham Efendi
(Resist Invasion Center)
di tengah apresiasi netizen menyikapi keberhasilan agenda pemberantasan korupsi Arab Saudi yang berhasil mengumpulkan sekitar 400 miliar riyal (Rp1.429 triliun) dari para tahanan kasus korupsi, bayang-bayang krisis ekonomi membayang-bayangi Negara ini. Telah ada laporan bahwa banyak anggota keluarga kerajaan Arab Saudi yang merasa frustrasi dan marah atas tindakan Pangeran Mahkota Mohammad bin Salman, dan kontrol absolut yang diberlakukan di seluruh negeri.
Berbagai upaya dilakukan oleh Putra Mahkota Arab Saudi, Mohamed Bin Salman (MBS) dalam rangka menyelamatkan visi 2030 yang telah diprogramkan. Upaya pemerintah Arab Saudi untuk menekan angka pengangguran sudah mulai dilakukan. Di beberapa pusat perdagangan, perkantoran, hotel, dan mall sudah terlihat beberapa karyawan yang sebelumnya dijabat oleh orang asing, kini dikerjakan orang Saudi.
Mohamed Bin Salman (MBS) juga melakukan aksi frontal dengan mencabut 16.000 mahasiswanya di Kanada dan memerintahkan mereka pulang dan mencari program akademi di tempat lain. Langkah tersebut menyusul pengusiran duta besar Kanada dari Riyadh, dan penarikan dubes Saudi di Kanada sebagai protes atas kecaman negeri itu terhadap penangkapan aktivis hak-hak manusia. Selain memutuskan hubungan diplomatik, Arab Saudi juga membekukan seluruh transaksi komersial dan investasi baru dengan Kanada. Maskapai penerbangan Saudi Arabia Airlines juga menghentikan penerbangan ke Toronto, Kanada.
Arab Saudi membekukan sementara hubungan dengan Kanada sehubungan dengan pernyataan oleh menteri urusan luar negeri Kanada dan Kedutaan Besar Kanda di Riyadh mengenai pegiat sipil yang telah ditahan. Pemerintah Kanada mendesak Pemerintah Arab Saudi agar segera membebaskan pegiat Kanada itu. Kerajaan Arab Saudi meminta utusan Kanada meninggalkan negeri tersebut dalam waktu 24 jam, membekukan penanaman modal antara kedua negara itu, dan memanggil duta besarnya dari Kanada untuk berunding.
Perpecahan hubungan bilateral Arab Saudi-Kanada terjadi setelah Kanada menyatakan kekhawatirannya terkait penangkapan sejumlah aktivis kemanusiaan seperti Juru Kampanye Hak Perempuan Saudi-Amerika, Samar Badawi dan Nassima al-Sadah yang ditangkap pada Rabu (1/8) lalu. Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengatakan jika pernyataan itu merupakan serangan bagi kerajaan Arab Saudi. Mereka menegaskan tidak menerima bentuk intervensi apapun terkait permasalahan dalam negeri mereka.
Namun, garis jalan politik Saudi diketahui, ketika politik Arab Saudi loyalis Amerika Serikat. Negara ini melawan kekuatan-kekuatan Islam yang sudah diberi lebel ‘radikal, ekstrimis, militant, fundamentalis, dan teroris’, tetapi ulama-ulama yang memiliki kecenderungan kepada ‘Harakah Islamiliyah’ ikut diberangus. Bahkan, Arab Saudi bertindak lebih keras lagi, siapapun warga Arab Saudi yang pergi ke Suriah, kembali ke Saudi, diancam dengan hukuman penjara selama 20 tahun. Arab Saudi atau Abdullah, betapapun telah mendapatkan gelar sbagai ‘Khadimul Haramain’ (Pelayan dua kota suci), Makkah dan Madinah, tetapi yang sangat ironi, terlibat langsung dalam penghancuran terhadap Muslim yang ingin menegakkan ‘al-Islam’ sebagai dinul haq.
Kebijakan MBS berikutnya, atas nama Islam moderat, sebenarnya mensekulerkan negara sesuai keinginan tuannya. Di masa lalu, para penguasa negara itu berturut-turut menerapkan Wahabisme, bentuk Islam yang terdistorsi yang diciptakan oleh Inggris, yang mengeksploitasi dan mensalahgunakan kaum wanita atas nama Islam. Dan sekarang MBS akan mensekulerkan negara dengan memberantas setiap jejak Islam. Jadi, di bawah bendera kebebasan dan pembebasan, kaum wanita Saudi sekarang akan menghadapi penundukan dan eksploitasi yang berbeda. Tidak ada keraguan bahwa dalam waktu dekat, kebebasan palsu ini akan menghapus martabat mereka sebagai wanita Muslim dan mengubahnya menjadi komoditas seksual pada perusahaan-perusahaan multi-nasional.
Kerajaan Arab Saudi juga membentuk lembaga baru yang bertugas memastikan ajaran Nabi Muhammad tidak dipakai untuk menjustifikasi tindakan kelompok militan atau teroris. Lembaga tersebut dibentuk berdasarkan dekrit Raja Salman dan berkedudukan di kota Madinah, beranggotakan pakar-pakar Islam dari seluruh dunia. Kementerian Informasi Saudi mengatakan bahwa para pakar ini akan berusaha meminimalkan interpretasi ajaran Islam yang keliru yang dipakai untuk membenarkan tindakan teroris atau kelompok ekstrem.
Langkah konkret lainnya adalah keluarnya keputusan Raja Salman bahwa wanita di Arab Saudi secara hukum diizinkan memperoleh surat izin mengemudi dari bulan Juni 2018. Selain bahwa mulai tahun 2018, Arab Saudi akan mengizinkan perempuan menyaksikan pertandingan olahraga di dalam stadion. Apa yang terjadi di Arab Saudi belakangan ini tidak terlepas dari penguatan hegemoni Amerika Serikat di negeri petro dolar ini.
Sebagaimana diketahui bahwa intrusive system tradisional dari Arab Saudi adalah Inggris. Karena Inggrislah yang membidani lahirnya kerajaan Arab Saudi dengan mendorongnya melakukan pemberontakan kepada Kekhilafahan Turki Utsmani. Pasca Perang Dunia Kedua, lambat laun dominasi Inggris mulai tergeser oleh Amerika Serikat yang mengeluarkan Twin Pillar Policy di Timur Tengah. Arab Saudi dan Iran (sebelum Revolusi 1979) adalah dua pilar Amerika Serikat di kawasan ini. Namun demikian, Inggris tetap berusaha menjaga pengaruhnya melalui raja-raja yang loyal kepadanya.
Pasca wafatnya Raja Khalid, pengaruh Inggris semakin menurun karena kedekatan penggantinya Raja Fadh ke Amerika Serikat. Hubungan itu sempat turun pada masa Raja Abdullah yang dekat dengan Inggris. Kini, Raja Salman kembali mengokohkan hubungan Arab Saudi dengan Amerika Serikat.
from Pojok Aktivis