Oleh: Rahilati Izka
Mediaoposisi.com-Akhir bulan Agustus, Nahdatul Ulama (NU) bersikukuh untuk menjadikan pancasila sebagai dasar negara di Indonesia. Dilansir dari NU online, Kiai Ali Anwar mengatakan, alasan NU menerima Pancasila adalah karena memiliki prinsip menolak kehancuran lebih diutamakan ketimbang memperoleh keuntungan.
"Kemudian, tidak ada satu pun sila dalam Pancasila yang melanggar syariat Islam," katanya di hadapan puluhan kader IPNU IPPNU Kabupaten Bekasi.
Lebih jauh, ia mengatakan bahwa semua semua sila sudah disepakati oleh para pendiri dan pemimpin bangsa terdahulu, salah satunya Bung Karno. (NU.Online.com)
Pernyataan NU yang bersikukuh untuk mempertahankan Pancasila menjadi pilar negara patut dipertanyakan. Mengapa tidak, Indonesia merupakan negari yang mayoritas Muslim mengambil hukum buatan manusia. Seharusnya NU harus mempertimbangkan terlebih dahulu, mengapa Pancasila mejadi dasar negara, dan apakah pemerintah telah menjalankan semua sila yang ada dalam Pancasila?
Untuk menjadi sebuah ideologi dibutuhkan fikrah (ide) dan thariqah (tatacara). Ideologi pancasila hanyalah sebuah ide tanpa thariqah yang jelas dalam penerapannya.
Sila pertama yang menyatakan Ketuhan Yang Maha Esa, seharusnya menjadikan Allah berada diatas segala-galanya, namun kenyataannya beberapa tahun ini, sila pertama tidak diindahkan oleh pemerintah. Yang ingin menyampaikan Islam dikriminalisasi, Al-Quran dilecehkan, Para Ulama dianggap sebagai propokator, Pelaku tetoris selalu divonis oleh pemeluk Agama Islam, bahkan salah satu bukti tetoris adalah Alquran. Bagaimana mungkin Indonesia yang mayoritas Muslim tetapi phobia terhadap Islam?
Dalam pancasila juga terdapat kata-kata adil, namun adakah kita melihat keadilan di Indonesia? yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, pelaku kejahatan dari strata sosial tinggi disidangi berkali-kali dan berat untuk divonis bersalah, setelah divonis pelaku mendapat dispensasi dalam penegakan hukum, sedangkan yang miskin langsung divonis bersalah dan dijatuhkan hukuman yang berat hingga beberapa tahun.
Islam tidak membeda-bedakan individu rakyat dalam aspek hukum, peradialan, maupun dalam jaminan kebutuhan rakyat dan semisalnya. Seluruh rakyat diperlakukan sama tanpa memperhatikan ras, agama, warna kukit, dan lain-lain. Negara Islam memberlakukan syariah Islam atas seluruh rakyat yang berkewarganegaraan (Khilafah) Islam.
Pada masa kekhalifahan dahulu, dasar undang-undang yang dipakai adalah undang-undang Allah, yakni pemegang kekuasaan tertinggi adalah ketetapan Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berbeda dengan sistem yang berlaku saat ini, dasar undang-undang yang dipakai adalah Demokrasi, pemegang kekuasaan tertinggi di dalam pemerintahan adalah rakyat. Ketetapan Allah ta’ala bisa saja dibatalkan jika suara mayoritas rakyat tidak menyetujui.
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (Al An’am :57)
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam. ” (QS. Al A’raaf: 54)
Islam menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar Negara Islam. Segala sesuatu yang menyangut institusi negara, termasuk meminta pertanggungjawaban atas tindakan negara, harus dibangun berdasarkan aqidah Islam. Aqidah Islam menjadi asas undang-undang dasar dan perundang-undangan syrar'i. Segala sesuatu yang berkitan dengan undang-udang dasar dan perundang-udangan, harus terpancar dari aqidah Islam serta Alquran dan Hadist Mutawir sebagai rujukan.
Islam juga juga menjadikan halal dan haram sebagai tolak ukur perbuatan. Maka dari itu, untuk mewujudkan kehidupan yang mendatangkan rahmat bagi seluruh alam, maka umat harus kembali kepada penerapan Islam secara kaffah, karna Allah sebagai Khaaliqul Mudabbir, Yang Maha Pencipta dan Yang Maha Mengatur, maka sebagai hamba wajib bagi kita menjadikan Aqidah Islam sebagai asas negeri bukan Pancasila yang dibuat oleh manusia. Aturan yang diturunkan oleh Allah ialah sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan jiwa.[MO/an]