Oleh: Amma Nurhidayah, S.Pd
Mediaoposisi.com- Jelang pemilu 2019 yang akan datang, banyak bermunculan wajah-wajah artis yang diusung partai politik untuk menjadi anggota legislatif periode 2019-2024.
Bahkan menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini memaparkan bahwa pencalonan artis sebagai calon anggota legislatif pada tahapan Pemilu 2019 ini mengalami kenaikan cukup signifikan.
Menurutnya hal itu disebabkan oleh kompetisi politik yang semakin sengit dan kompetitif, sehingga partai politik mencari jalan instan dengan menggandeng artis untuk mendulang suara (kompas.com, 19/7/2018).
Tercatat sekira 54 artis akan berpartisipasi sebagai bakal calon legislatif pada Pemilu Legislatif 2019. Partai Nasdem menyumbang 26 orang artis, diikuti PDI Perjuangan sekira 13 orang, PKB sebanyak 7 orang, dan sisanya dari partai-partai lain. (Databoks.Katadata.co.id, 20/7/2018)
Menurut Giring ‘Nidji’ yang menjadi caleg dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sosok Jokowi seorang pengusaha mabel saja bisa menjadi pemimpin bangsa, maka mereka para kalangan artis dan seniman juga bisa mengabdi untuk masyarakat. Bahkan mayoritas artis menjadi bakal calon legislatif lewat partai-partai pendukung pemerintah.
Dengan alasan ingin mendukung program Jokowi, terutama dalam memajukan sektor ekonomi kreatif. Ia juga menyebut para artis ini secara langsung mendukung kinerja Jokowi dan berharap Jokowi dua periode. Terpilihnya mereka diharapkan mampu mendukung gagasan-gagasan Jokowi lewat UU di parlemen (antaranews.com, 22/7/2018).
Fenomena artis yang terjun ke dunia politik praktis dengan modal “ngartis”, patut menjadi perhatian kita. Dengan modal dikenal oleh masyarakat dijadikan ajang parpol untuk Berlomba-lomba meraih pundi-pundi suara. Panggung politik jadi ajang eksistensi diri dan hiburan rakyat. Asal memenangi kontestasi politik ala demokrasi.
Hal ini mengkerdilkan makna politik sebenarnya, yang dibutuhkan keseriusan dalam mengurusi umat. Tak sekedar meraih kekuasaan.
Politik dalam Islam adalah suatu aktivitas yang mulia. Ibn Taymiyyah mengungkapkan bahwa kekuasaan politik merupakan min a‘zam wajibat al-din (satu kewajiban agama yang utama). Politik (siyâsah) adalah mengatur/memelihara urusan umat di dalam dan luar negeri (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2009).
Berpolitik dalam Islam berarti mengatur dan memelihara urusan umat dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan semata-mata untuk mendulang suara dan meraih kekuasaan sebagaimana pandangan sekular demokrasi. Sebab politik merupakan bagian dari hukum syara, yang menjadi induk pelaksanaan hukum-hukum syara yang lain.
Sehingga, haruslah diisi oleh kader-kader yang memiliki pemahaman hukum syara’ benar dan bertujuan untuk menegakkan syariat Islam, bukan sekedar untuk meraih suara dan jatah kursi jabatan sebagaimana dalam system demokrasi. Inilah politik yang sesungguhnya, bukan sekadar ajang ngartis di panggung politik.[MO/sr]