Oleh: Lely Noormindhawati
(blogger, penulis buku)
Mediaoposisi.com-Setelah mengakhiri kunjungannya ke Malaysia, Menlu AS, Mike Pompeo tiba di Indonesia pada 4 Agustus 2018. Pompeo mengawali kunjungannya dengan menggelar pertemuan empat mata dengan Menlu Retno Marsudi.
Saat menemui Retno, hal penting yang menjadi sorotan adalah pesan yang dituliskan Pompeo dalam buku tamu. Ia menulis pesan yang intinya, “Indonesia adalah mitra strategis yang hebat bagi AS. Kami menantikan perayaan 70 tahun hubungan diplomatik di tahun 2019.” (IDN Times, 4/8/2018).
Pernyataan Pompeo bahwa Indonesia adalah mitra strategis bagi AS patut dicermati. Sejauh mana AS memandang strategis Indonesia? Apa saja yang telah dirancang AS untuk mengokohkan hubungan kedua belah pihak?
Kepentingan Ekonomi AS di Indonesia
Ditandatanganinya Head of Agreement (HOA) antara PT Inalum sebagai induk holding BUMN industri pertambangan dengan Rio Tinto dan PT Freeport McMoran, tidak otomatis menjadikan Indonesia menguasai 51% saham Freeport. Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan bahwa secara hukum, HOA bersifat tidak mengikat (Media Umat, edisi 223, 27 Juli-9 Agustus 2018).
Artinya, kepemilikan saham akan tetap didominasi oleh Freeport. Sebenarnya, Kontrak Karya Freeport akan berakhir pada 2021. Jadi, tanpa menguasai mayoritas saham Freeport, sebenarnya pemerintah sudah bisa menguasai kembali Freeport pada 2021 mendatang.
Anehnya, pemerintah tidak melakukan langkah ini, malah menandatangani HOA yang sifatnya tidak mengikat. Mengapa bisa demikian?
Freeport tidak berdiri sendiri. Di belakangnya ada negara yang mengokohkan dirinya sebagai super power dunia, AS. Bagi AS, Freeport adalah sumber ekonomi yang sangat hijau. Maka wajar, pemerintah AS akan melakukan segala cara untuk mempertahankan hegemoninya. Salah satunya dengan mengirimkan pejabatnya untuk memastikan kepentingan mereka tetap aman.
Demikian halnya kunjungan Pompeo kali ini, ia memastikan penandatanganan HOA bisa menguntungkan kedua belah pihak.
Lebih tepatnya adalah menguntungkan AS karena secara jelas dalam Kontrak Karya dinyatakan bahwa perjanjian kontrak karya berlaku 30 tahun sejak penandatanganan perjanjian dengan ketentuan bahwa perusahaan masih berhak mengajukan perpanjangan kontrak selama dua kali 10 tahun.
Ini artinya, AS melalui PT Freeport McMoran akan tetap menguasai tambang emas di Pegunungan Grasberg hingga 2041 mendatang.
Di sisi lain, konsep One Belt One Road (OBOR) Cina adalah ancaman bagi pasar ekonomi AS di Asia. Dalam masalah ini, Indonesia dinilai belum mempertegas posisinya. Apakah mendukung Cina ataukah AS. Dalam kunjungan tersebut, Pompeo mengenalkan konsep Indo Pasifik sebagai tandingan konsep OBOR.
AS menghendaki loyalitas Indonesia sebagai salah satu negara Asia yang ikut menyukseskan program ini. Pompeo mempertegas misi tersebut di akun Twitternya @SecPompeo.
Ia telah melakukan koordinasi dengan sekutunya, Australia dan Jepang, untuk memastikan terjaganya kepentingan AS dalam bidang maritim, infrastruktur, serta menjaga Indo Pasifik sebagai kawasan yang bebas dan terbuka.
Untuk memastikan hubungan baik AS dengan Indonesia yang hampir berjalan 70 tahun ini tetap terjaga, Pompeo menggelar rapat dengan Presiden Jokowi guna membahas kemitraan strategis, kemanan bersama, serta kepentingan ekonomi.
Mengokohkan Hegemoni AS
Lawatan kerja Pompeo ke sejumlah negara Asia Pasifik yang berlangsung 1-5 Agustus 2018 dengan jelas menunjukkan kepada kita, AS ingin kepentingannya di kawasan ini tetap terjaga, tak terkecuali Indonesia. AS telah memosisikan Indonesia sebagai mitra strategisnya.
Namun demikian, tidak berarti kerja sama kedua belah pihak ini bersifat simbiosis mutualisme. Yang tampak adalah dominasi AS dalam hubungan tersebut. AS terus mendiktekan kepentingan-kepentingannya dan Indonesia terus menerus dalam kontrol dan cengkeraman AS.
Kasus Freeport adalah salah satu bukti nyata. Indonesia sebagai negara dikalahkan oleh sebuah perusahaan yang nota bene di-back up oleh pemerintah AS. Dan kini, Indonesia dipastikan juga terus menunjukkan ketaatannya dengan mendukung konsep Indo Pasifik yang digagas AS.
Dalam konstelasi internasional, AS saat ini adalah negara pertama (super power). Sebagai negara pertama, AS memiliki kendali atas negara-negara pengikut (negara yang terikat dengan politik luar negeri AS semisal Mesir) maupun negara-negara satelit (negara yang terikat secara kepentingan dengan AS semisal Jepang).
Selama AS masih menjadi negara pertama, maka ia bisa mengintervensi negara-negara lain untuk mengokohkan hegemoninya, baik dalam bidang ekonomi, keamanan, maritim, politik, dll.
Sebuah negara yang mampu memengaruhi negara pertama, maka negara tersebut juga mampu memengaruhi politik dunia. Maka bagi negara mana saja yang ingin memengaruhi politik dunia dan menariknya sesuai kepentingannya, maka ia harus menempuh salah satu dari dua jalan.
Pertama, mengancam kepentingan riil negara pertama dalam posisi internasionalnya dengan sungguh-sungguh.
Kedua, mengamankan kepentingan negara pertama dengan cara melakukan tawar menawar untuk meraih kepentingannya. Yang elegan adalah cara pertama karena akan mengantarkan suatu negara mengambil alih kepemimpinan internasional di bawah kendalinya.
Adapun cara yang kedua justru berpeluang menjerumuskan suatu negara pada kehancuran sebab ia telah mempertaruhkan kedaulatannya untuk tunduk pada kepentingan negara pertama.
Negara yang sanggup menempuh jalan pertama hanyalah negara yang memiliki kedaulatan hakiki. Yakni negara yang kedaulatannya bersendikan syariat Allah, ketundukan dan ketaatannya hanya pada Allah semata.
Umat Islam di dunia pernah memiliki negara yang seperti ini, yakni Khilafah Islamiyah yang pernah menjadi negara pertama di dunia dan berjaya hampir 1300 tahun. Hegemoni AS hanya mampu ditundukkan oleh negara Khilafah. Oleh karena itu, kewajiban terbesar umat Islam saat ini adalah mewujudkan kembali negara Khilafah warisan Rasulullah dan para khalifah. [MO/sr]