Oleh: Fardila Indrianti, S.Pd
(The Voice OF Muslimah Papua Barat dan Anggota Akademi Menulis Kreatif)
Mediaoposisi.com- Lagi-lagi publik dikagetkan dengan penemuan lapas mewah para kasus terpidana korupsi. Mereka para wakil rakyat yang terjerat kasus korupsi tanpa malu-malu menjelaskan sel yang mereka tempati serta segala aktivitas yang dilakukan di dalam lapas, yang pada kenyataannya adalah sel palsu.
Kejadian ini terjadi di lapas Sukamiskin yang terungkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Dari jual beli fasilitas hingga sel palsu dapat ditemukan di Sukamiskin. KPK mengungkapkan, untuk memperoleh fasilitas tambahan di lapas Sukamiskin narapidana harus membayar kisaran Rp.200-500 juta.
Pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melakukan inspeksi mendadak ke lapas Sukamiskin bersama tim dari presenter Najwa Syihab, dalam inspeksinya ditemukan adanya sel palsu untuk beberapa narapidana koruptor. (m.detik.com/26/7/2018) Korupsi merupakan salah satu masalah serius di negeri ini. Bagaimana tidak, kasus korupsi saat ini tidak hanya melibatkan satu atau dua orang saja melainkan dilakukan secara berkelompok dan sistematis. Praktik korupsi menjamur tidak hanya pada swasta bahkan merambah ke dalam tubuh instansi pemerintahan.
Sistem pemilihan wakil rakyat di negara kita yang tidak memperbolehkan partai politik untuk mencari dana dan tidak mau mendanai biaya operasional para calon kepala daerah atau calon presiden, sedang biaya pencalonan sangatlah besar, di sinilah salah satu peluang terjadinya korupsi.
Tidak heran para calon wakil rakyat akan mencari sponsor untuk membiayai operasionalnya. Jika para calon menang, maka para sponsor akan meminta balasan yang tidak jarang kebijakan-kebijakan yang diambil sesuai dengan kepentingan dan pesanan para sponsor. Maka dapat disimpulkan bahwa sistem demokrasi yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan perilaku koruptif. Muncul dalam benak kita, apa yang menjadi penyebab timbulnya praktik korupsi? Jika kita melihat lebih dalam, penyebab korupsi sebenarnya berpangkal pada ideologi yang dipakai saat ini, yaitu demokrasi-kapitalis. Faktor ini dan beberapa faktor lainlah yang menjadi penyebab dan penyubur praktik korupsi saat ini. Sudah menjadi rahasia umum jika dunia politik memiliki harga besar, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan bahwa seorang caleg DPR rata-rata harus mengeluarkan dana sebesar Rp.1,18 miliar untuk melakukan kampanye agar dapat menduduki kursi legislatif.
Angka ini naik empat kali lipat dari pemilu 2009 yang hanya berkisar Rp.250 juta per caleg. Dosen sekaligus peneliti LPEM UI, Teguh Dartanto menilai seorang caleg akan jor-joran dalam membiayai kampanyenya dengan harapan caleg tersebut bias mengembalikan modalnya ketika dia telah berhasil menjabat sebagai anggota dewan. (Republika.co.id/7/8/2018) Mahar politik sangatlah besar jika dibandingkan gaji dan tunjangan yang akan diterima ketika terpilih menjadi kepala daerah atau caleg. Sehingga membuka celah bagi kepala daerah atau anggota legislatif terpilih untuk melakukan tindakan korupsi. Salah satu contoh adalah kasus penyuapan untuk biaya kampanye.
Selain itu untuk mengembalikan dan mengumpulkan modal agar dapat kembali dalam pemilihan periode berikutnya.
Selain mahar politik yang besar, gaya hidup hedonisme yang dijalani para wakil rakyat ini dinilai sebagai pemicu menjamurnya praktik korupsi, baik itu dilakukan oleh kepala daerahnya sendiri maupun oleh keluarganya. Seolah gaya hidup mewah dikalangan para pejabat menjadi sebuah keharusan dan kejelasan status sosialnya di dalam masyarakat. Menjamurnya korupsi pun terjadi karena sistem dan berbagai perangkat di dalamnya yang seolah memberikan jalan dan memuluskan aktivitas tersebut. Karena fakta menunjukkan, praktik korupsi tidak hanya melibatkan satu pihak saja namun memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Sehingga tidak heran jika sebelum menduduki jabatan, sang calon pemimpin memiliki visi misi serta sangat ideologis namun ketika telah terjerat dalam lingkaran sistem tersebut ia turut andil dalam praktik korupsi.
Disamping itu, keimanan dan ketakwaan para pemimpin menyebabkan mereka terjerumus ke dalam praktik korupsi. Maka tak heran semua alasan itu menjadi alternatif jalan tercepat untuk memperkaya diri. Berdasarkan penjelasan diatas maka jelas sistem demokrasilah menjadi dalang paling utama yang mendorong terjadinya praktik korupsi disamping faktor-faktor pendukung lainnya.
Seperti tumbuh suburnya sifat hedonis di dalam masyarakat yang menimbulkan lemahnya karakter individuatau masyarakat, faktor lingkungan atau masyarakat seperti budaya suap atau gratifikasi yang sebagian besar berawal dari inisiatif masyarakat.
Disamping itu penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, permainan fasilitas di dalam penjara serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera. Negara bukan menutup mata dari segala bentuk tindak korupsi, sehingga negara membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan dapat menuntaskan permasalahan ini. Namun faktanya para pelaku tidak jera, ini dibuktikan dengan semakin marak praktik ini, bahkan meningkat dari tahun ke tahun. Ini membuktikan kegagalan sistem demokrasi dalam menuntaskan masalah korupsi. Islam Solusi Tuntas Memberantas KorupsiKorupsi adalah perbuatan tercela yang sangat dilarang di dalam Islam. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 188 yang artinya,
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” Dalam syariat Islam, korupsi termasuk salah satu dosa besar yakni ghulul atau pengkhianatan terhadap amanah-amanah umat. Jika diteliti dengan seksama, korupsi masuk kedalam aktivitas pencurian dan perampokan yang keduanya itu masuk ke dalam kategori dosa besar dengan hukuman yang berat.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu maka itu merupakan ghulul (harta korupsi) yang akan dibawa pada hari kiamat”. (HR. Muslim) Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan, orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.” (HR. Abu Dawud). Menurut Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya, Nizhamul Uqubat, sanksi kepada koruptor yaitu ta’zir, yakni sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Bentuk sanksinya dari yang ringan sampai yang berat, berupa teguran atau nasehat dari hakim, hukuman penjara, dikenai denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik, hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati.
Berat atau ringannya ta’zir sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.Islam adalah agama yang tidak hanya menjadi sebuah symbol bagi manusia, lebih dari itu Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna sebagai pedoman hidup manusia, way of life.
Yang tidak hanya mengatur perihal ibadah manusia saja tetapi segala aspek kehidupan manusia, dari bangun tidur hingga tidur lagi, dari bangun keluarga hingga bangun negara.
Tidak heran Allah menurunkan kitab suci Al-Qur’an sebagai tuntunan hidup manusia yang mengatur segala urusan manusia, baik aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, sanksi, ketahanan bahkan politik. Islam memandang perbuatan korupsi sebagai perbuatan yang sangat tercela sehingga pelaku korupsi mendapat sanksi/hukuman yang berat. Sistem Islam telah mengatur semua itu, sebagai langkah pencegahan/preventif serta memberikan efek jera bagi para pelakunya, yakni; Pertama, aparatur negara akan diberikan gaji yang memadai sehingga cukup dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga tdak ada celah untuk melakukan upaya meraup keuntungan dengan cara korupsi. Kedua, sistem pemilihan kepala daerah/ negara tidak memerlukan dana yang besar, lain halnya dengan sistem demokrasi yang saat ini digunakan, yang mana kepala daerah akan ditunjuk oleh amir/pemimpin negara, dengan syarat memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang mana tercermin dalam akhlak yang mulia, amanah, jujur, tawadhu, rendah hati dan qana’ah sehingga mampu menjadi tameng bagi diri sendiri sehingga tidak mudah terjerumus dalam praktik suap maupun korupsi, sehingga tidak perlu ada sistem balik modal ketika jabatan telah diperoleh.
Ketiga, sistem Islam menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan sesudah menjabat. Keempat, sisitem Islam menetapkan hukuman yang sangat tegas bagi para pelaku korupsi sehingga memiliki efek jera serta sebagai peringatan dan pelajaran bagi yang lain. Kembali kepada sistem Islam adalah langkah yang tepat agar memilih pemimpin dapat dilakukan secara efektif, tidak mubazir dan menghasilkan kepemimpinan yang shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh, memiliki kapasitas dan integritas sebagai seorang pemimpin sehingga tidak ada peluang dalam melakukan tindak korupsi.
Sudah saatnya umat Islam kembali kepada tuntunan dan aturan yang berasal dari Allah Ta’ala, hal ini tidak lain dan tidak dapat ditawar lagi yakni melalui suatu sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara sempurna.[MO/sr]