Oleh: Nida Husnia
(Aktifis Mahasiswi Jember)
Mediaoposisi.com- Sebuah kabar yang ramai dibicarakan datang dari PT. Pertamina sebagai perusahaan nasional resmi milik negara. Pertamina diketahui akan menjual sebagian asetnya kepada swasta guna menyehatkan keuangannya.
Pertamina dianggap perlu menjual asetnya menimbang kerugian yang selama ini dibebankan kepada Pertamina dengan tetapnya harga BBM sehingga ketika premium dijual 6.500/liter, Pertamina sedang menambal 2.000 sisanya.
Tak hanya itu, alasan lain yang melatar belakangi rencana penjualan aset ini adalah sebagai upaya me-regenerasi investasi, sehingga harapannya kedepan Pertamina akan lebih punya banyak partner dalam penanaman sahamnya.
Pertamina nampak kebingungan menghadapi beragam problem yang berurusan dengan keuangannya. Sejauh ini ia seolah menjadi anak tiri meski masuk dalam Badan Usaha Milik Negara, sebab nyatanya Pertamina dibiarkan menghadapi masalahnya sendiri untuk meringankan beban subsidinya.
Sangat jelas bahwa kepemilikan Pertamina dibawah kuasa negara, sahamnya 100% dimiliki oleh pemerintah Republik Indonesia. Seharusnya sudah menjadi kewajiban negara untuk menopang segala kebutuhan dan menyelesaikan segala masalah tanpa membebankannya kepada Pertamina sendiri hingga ia masih menunggu suntikan dana pemerintah untuk menutupi hutangnya.
Apalagi dengan gegabah menterinya ringan menandatangani surat izin melakukan korporasi pada 29 Juni lalu. Seorang pengamat ekonomi bahkan berani menyatakan Pertamina tak kan terancam bangkrut. Untuk apa Pertamina menjual asetnya bila bukan karena khawatir bangkrut? Bahkan ketika melakukan share down Pertamina akan semakin jaya?
Wacana penjualan aset negara sudah terjadi untuk yang kesekian kalinya, seperti PT Indosat, atau ketika BUMN menjual tol (tol Becakayu, Medan-Binjai, dll) dengan alasan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur lainnya di Indonesia. Bangun-jual proyek tol menjadi trend era pemerintahan Jokowi, hal itu bahkan di-request langsung oleh Menteri BUMN Rini Soemarno.
Keganjilan yang terjadi selanjutnya adalah kondisi Indonesia yang stagnan, bahkan mengalami kemunduran. Negara seolah bisa menghasilkan banyak income tapi tak kunjung ada perubahan dari ekonomi rakyat, badai hutang pun tak mereda, kasus korupsi pun semakin menjamur, lapasnya bahkan mewah dengan AC dan televisi.
Inikah yang dinamakan ‘Democrazy’? Dimana segala putusan dan kebijakannya tak lagi waras. Yang salah dibela, yang benar dijegal. Pertimbangan-pertimbangan illogical coba ditawarkan dengan begitu yakinnya sehingga rakyat mampu menerima, tapi sayang, hari ini kejamnya Rezim sudah mendarah daging dalam ingatan rakyat.
Camkan selalu, Demokrasi membuat rakyat berlutut di awal kampanye, dan menangis ditengah perjalanan kerjanya. [MO/sr]