Oleh: Ainul Mizan, S.Pd
Mediaoposisi.com- Sebuah Komunitas yang bernama Kerja Bakti untuk Indonesia telah mengadakan kegiatan Tur Gereja. Pesertanya juga dari kalangan kaum muslimin. Kegiatan ditutup dengan buka puasa bersama di Gereja Katedral, Jakarta (aktual.com, Jum’at 01/06/2018). Panitia mengklaim bahwa kegiatan tersebut dalam rangka memperkuat toleransi beragama di Indonesia.
Kata toleransi demikian saktinya sehingga kegiatan apapun tentu harus dimaklumi jika tujuannya dalam rangka menguatkan toleransi, apalagi dengan embel – embel kebhinekaan. Seolah – olah tidak ada alasan untuk menolak ikut. Nanti framing jahat akan siap memburu. Intoleransi, anti kebhinekaan, bahkan anti pancasila akan dilekatkan begitu saja tanpa minta ijin terlebih dahulu. Apalagi jika yang menolak ikut adalah kaum muslimin.
Ironis memang, di negeri yang mayoritasnya adalah muslim ini, mereka harus terus diajari bagaimana seharusnya bertoleransi dengan pemeluk agama lain. Padahal umat Islam itulah umat yang paling bisa menghormati pemeluk agama lain. Jangankan dalam keadaan damai, bahkan dalam keadaan perang sekalipun, umat Islam bisa bertoleransi.
Islam mengharamkan pasukan Islam mengusik para pendeta dan para rahib yang beribadah di gereja dan biara – biara. Pasukan Islam tidak akan menghancurkan tempat peribadatan agama lain. Bahkan perlakuan Islam kepada kafir dzimmi adalah sebagaimana sabda Rasul SAW yang menyatakan bahwa barangsiapa yang menyakiti seorang Kafir dzimmi maka ia seperti menyakiti Nabi.
Tidak ada ceritanya dalam sejarah bahwa kaum muslimin ketika berjumlah mayoritas lantas membantai dan menyakiti para pemeluk agama lain. Justru yang ada ketika kaum muslimin itu minoritas maka gelombang Islamophobia begitu gencar. Kaum muslimin dipersekusi. Ajaran Islam dilecehkan.
Adzan dilarang, bahkan jilbab dan cadar menjadi bahan untuk menuduh sebagai kaum teroris. Keadaan demikian banyak terjadi di negara – negara barat yang notabenenya mereka mengklaim menjunjung tinggi HAM.
Bahkan anehnya di negeri ini, kaum muslimin mengalami keadaan yang disebut tirani minoritas atas mayoritas. Ketidakadilan dialami oleh kaum muslimin di negeri ini. Saat seorang Nasrani mengebom Mall Alam Sutera tidak pernah disematkan kepadanya sebagai Teroris. Begitu pula pada kasus pembakaran sebuah masjid di Tolikara. Tidak ada pengusutan tuntas terhadap para pelakunya.
Justru ketika ada kasus bom bunuh diri di tiga gereja yang berbeda di Surabaya baru – baru ini, dengan mudahnya framing terorisme diarahkan kepada Islam. Dan masih banyak kejadian yang lainnya.
Apabila kita telisik lebih jauh maksud kegiatan tur gereja tersebut, tidak hanya sekedar masalah toleransi yang jadi tujuannya. Nuansa penanaman nilai – nilai pluralism begitu terasa. Pluralisme yang merupakan paham yang mengakui bahwa kebenaran bukanlah monopoli satu ajaran agama dan keyakinan tertentu. Artinya tidak ada klaim kebenaran pada agama dan keyakinan tertentu. Semua agama adalah benar karena mengajarkan jalan kepasrahan kepada Tuhan.
Kesuksesan di dalam aktivitas berbuka puasa di Gereja menanamkan sebuah pesan yang lebih dari sekedar sebuah toleransi. Ibadah puasa yang merupakan ajaran Islam terkait hubungan hamba dengan Al Kholiq yakni Alloh SWT, pelaksanaan berbukanya bisa di tempat ibadah agama lain karena semua agama mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Hingga tertanam untuk tidak ada keberatan bagi umat Islam bisa hadir di dalam perayaan Natal bersama.
Islam sebagai agama yang komprehensif mengatur aspek peribatan dan muamalah tentunya akan menjadi batu sandungan bagi upaya sekulerisasi kehidupan. Dengan ide pluralism ini, diharapkan umat Islam akan menempatkan Islam sebagaimana posisi agama – agama yang lainnya. Bahwa Islam itu diposisikan sebagai agama yang mengatur aspek –aspek keyakinan dan ibadah ritual semata.
Kalaupun di dalam Islam ditemukan ayat –ayat al Qur’an dan hadits Nabi SAW yang berbicara di bidang muamalah seperti politik pemerintahan dan ekonomi atau lainnya, agar diposisikan sebagai nilai moral saja dalam bermuamalah.
Alibi yang paling jitu digunakan ketika ada sebagian umat Islam yang menghendaki adanya pelembagaan formal syariat Islam di dalam sebuah negara adalah bahwa di dalam kehidupan negara itu sangat majemuk, maka kita harus menghormati pemeluk agama lain. Pelembagaan hukum Islam secara formal dalam negara tentu akan menciderai kebhinekaan itu sendiri.
Negara Demokrasi dipandang sebagai negara yang ideal dalam mewadahi kemajemukan. Keberhasilan program pluralisme beriringan tujuan dengan upaya deradikalisasi terhadap Islam dan umatnya. Di sinilah apa yang disebut dengan proxy war.
Proxy war terhadap Islam dijalankan dengan menggunakan pihak ketiga. Dalam hal ini yang dipakai sebagai pihak ketiga adalah umat Islam sendiri. Memukul Islam dengan menggunakan tangan umat Islam sendiri. Tujuannya adalah sekulerisasi kehidupan kaum muslimin.
Pandangan Islam Terhadap Toleransi
Islam telah menempatkan toleransi ini pada proporsi yang tepat. Kapan umat Islam itu harus bersikap eksklusif, dan kapan umat Islam itu harus bersikap inklusif. Dengan demikian, Islam telah menjaga kemurnian ajarannya di samping tetap membuka peluang bagi umat Islam dalam menggapai kemajuan kehidupan di dunia.
Bersikap eksklusif dengan memegang teguh prinsip dan keyakinannya dan tidak mencampuradukkan Islam dengan pandangan hidup yang lain. Sikap eksklusif akan menyelamatkan Islam dan kaum muslimin dari sikap sinkritisme. Dalam hal keyakinan dan ibadah ritual, Islam menetapkan prinsip bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Begitu pula dalam masalah pandangan hidup, akan kita dapati sikap Kholifah Umar bin Khothob ra yang memerintahkan agar membakar semua buku filsafat Yunani maupun Romawi. Pernyataan beliau waktu itu bahwa bila terdapat kejelekan dan kesesatan di dalamnya, tentunya dengan dibakarnya buku – buku filsafat tersebut, umat Islam bisa selamat.
Kalaupun di dalamnya terdapat hal –hal yang baik, tentunya sudah cukup bagi umat Islam petunjuk yang ada di dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Walhasil umat Islam tidak boleh mengadopsi pandangan hidup dari ideology Kapitalisme Sekulerisme maupun Sosialisme Komunisme dan semua ide turunannya.
Sedangkan sikap inklusif merupakan sikap yang terbuka dan mau menerima nilai – nilai dari luar. Dalam hal sikap inklusif tidak berkaitan dengan keyakinan dan pandangan hidup. Dalam hal ini Nabi SAW menyatakan bahwa kalian itu lebih mengetahui urusan dunia kalian. Konteks dari hadits ini adalah dalam bidang sains dan teknologi.
Oleh karena itu dalam masalah sains teknologi dan sarana – sarana kehidupan, kaum muslimin bisa mengadopsi dari siapapun bahkan dari pemeluk agama dan keyakinan lainnya. Hal ini bisa kita pahami dari sikap Umar ra yang mengadopsi sistem diwan atau departemen – departemen dalam sistem administrasi dari Kerajaan Romawi.
Walhasil, umat Islam bisa bekerjasama dalam masyarakat dalam membangun sarana – sarana fisik kehidupan seperti membangun jalan dan jembatan. Begitu pula umat Islam bisa melakukan riset dalam hal kemajuan sains dan teknologi bersama dengan umat yang lainnya.
Tinggal satu persoalan yang tersisa yaitu dengan apa bisa diwujudkan toleransi dan kebersamaan dalam kehidupan manusia. Sosialisme Komunisme telah gagal untuk mewujudkan kehidupan manusia yang penuh toleransi dan kebersamaan. Sistem oligarki dalam mewujudkan kehidupan sama rasa dan sama rata telah menyisakan ketidakadilan bagi manusia.
Telah tercatat dalam sejarah bahwa dalam rezim komunis di Sovyet, telah terjadi pembantaian besar – besaran atas manusia. Begitu pula, Ideologi Kapitalisme Sekulerisme telah gagal mewujudkan toleransi. Gerakan Occupy Wall Street telah membuka borok –borok ekonomi Kapitalisme, bahwa 1 persen manusia telah menguasai hampir 99 persen kekayaan dunia. Sebuah ketimpangan ekonomi yang melahirkan ketimpangan – ketimpangan sosial.
Adapun Islam telah mampu mewujudkan kehidupan manusia dengan toleransi yang sebenarnya. Keadilan merata dirasakan oleh semua manusia. Selama kurang lebih 1300 tahun, Islam mampu menaungi 2/3 dunia dengan kemajemukan suku, warna kulit, agama dan golongan.
Cukuplah menjadi saksi sejarah penyerahan kunci Baitul Maqdis oleh pendeta Nasrani kepada Kholifah Umar ra. Begitu pula warga Kota Homs yang mayoritasnya beragama Nasrani, bahu membahu dengan umat Islam dalam menghadapi pasukan Salib. Mereka telah merasakan dengan nyata sebuah keadilan dan toleransi dalam naungan Islam.[MO/sr]