Oleh: Imanda Indaswhari
Mediaoposisi.com- -- Utang terus bertambah setiap tahun. Tak hanya di Indonesia, total utang di seluruh dunia baik yang dipinjam pemerintah atau swasta, juga tak pernah berkurang.
Analisis yang dikeluarkan Institute of International Finance (IIF) menunjukkan utang dunia tercatat mencapai 233 triliun dolar AS atau setara dengan Rp 3.029.000 triliun pada kuartal ketiga 2017. Angka itu lebih besar 16 triliun dolar AS atau setara dengan Rp 208 ribu triliun jika dibandingkan angka yang tercatat pada akhir 2016.(REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA)
Data IIF itu memerinci, utang sektor swasta nonkeuangan melonjak tinggi di Kanada, Prancis, Hong Kong, Korea Selatan, Swiss dan Turki. Namun, pada saat yang sama, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), turun berturut-turut pada kuartal ke empat seiring dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang dipercepat. Menurut IFF, rasio itu sekarang berada dikisaran 318 persen, di mana tiga persen di bawah penetapan tinggi di kuartal ketiga 2016.
"Kombinasi dari faktor yang termasuk dalam sinkronisasi di atas potensi pertumbuhan global, kenaikan inflasi (Cina, Turki), dan upaya untuk mencegah penyumbatan peningkatan utang (Cina, Kanada) telah berkontribusi pada penurunan tersebut," tulis analis IIF seperti yang dilansir di Bloomberg.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghitung populasi global yaitu 7,6 miliar jiwa, yang menunjukkan utang per kapita dunia lebih dari 30 ribu dolar AS, atau setara dengan Rp 402 juta.
Utang Indonesia
Lalu bagaimana dengan jumlah utang Indonesia? Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia naik 9,1 persen tahun ke tahun (year on year) atau menjadi 347,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 4.684 triliun (kurs Rp 13.500 per dolar AS) per akhir November 2017. Kenaikan utang ini dipicu penarikan utang swasta dan publik.
Berdasarkan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, jumlah utang luar negeri (ULN) swasta naik 4,2 persen (yoy) di November 2017 atau sebesar 170,6 miliar dolar AS, setara Rp 2.303 triliun. Pertumbuhan penarikan itu lebih tinggi dibandingkan Oktober 2017 yang 1,3 persen (yoy).
Sedangkan jumlah ULN publik, atau milik pemerintah dan Bank Sentral, sebesar 176,6 miliar dolar AS atau Rp 2.384 triliun yang tumbuh 14,3 persen (yoy), meningkat dibanding Oktober 2017 yang sebesar 8,4 persen (yoy).
Menurut sektor ekonomi, posisi ULN swasta pada akhir November 2017 terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih (LGA), serta pertambangan. Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 77,6 persen, sedikit meningkat dibandingkan dengan Oktober 2017 yang sekira 76,9 persen.
"Sedangkan jika berdasarkan jangka waktu asal, struktur ULN Indonesia pada akhir November 2017 masih aman," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman, Selasa (16/1).
ULN tetap didominasi ULN jangka panjang yang memiliki pangsa 85,7 persen dari total ULN dan pada November 2017 tumbuh 7,5 persen (yoy), meningkat dibandingkan bulan sebelumnya sekira 3,9 persen (yoy).
Sementara itu, ULN berjangka pendek dengan pangsa 14,3 persen dari total ULN tumbuh 19,8 persen (yoy), atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada Oktober 2017 yang sebesar 10,8 persen (yoy).
Bank Sentral memandang perkembangan ULN pada November 2017 tetap terkendali. Hal ini tercermin antara lain dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada akhir November 2017 tercatat stabil di kisaran 34 persen. "Rasio tersebut masih lebih baik dibandingkan rata-rata negara kapasitas ekonomi yang sama (peers)," ujar dia.
Utang luar negeri Indonesia per akhir Januari 2018 sebesar 357,5 miliar dollar AS, yang terdiri dari utang pemerintah dan BI sebesar 183,4 miliar dollar AS serta utang swasta 174,2 miliar dollar AS. Dibandingkan dengan saat krisis 1998, utang luar negeri kita hanya 130 miliar dollar AS, yang dibagi rata antara utang pemerintah dan swasta. Namun, saat itu cadangan devisa juga hanya 20 miliar dollar AS. Berarti, jumlah utang luar negeri setara dengan 6,5 kali lipat cadangan devisa.
Sementara, cadangan devisa Indonesia saat ini 131 miliar dollar AS. Berarti, volume utang luar negeri kita saat ini 2,7 kali lipat cadangan devisa. Artinya, intensitas utang luar negeri kita, kendati secara nominal terus meningkat, secara riil menjadi lebih ringan.
Kendati utang luar negeri Indonesia masih dalam kategori aman, bukan berarti kita tidak berbuat sesuatu untuk menekan dosisnya. Inisiatif pemerintah melalui kebijakan amnesti pajak sesungguhnya merupakan salah satu cara memperbesar basis penerimaan pajak agar ketergantungan pada pembiayaan defisit fiskal bisa digeser dari utang menjadi penerimaan pajak. Amnesti pajak bertujuan untuk ”mengail” potensi penerimaan pajak yang sebelumnya ”tersembunyi”.
Namun, ternyata hasilnya belum sesuai ekspektasi meskipun masuknya dana repatriasi 12 miliar dollar AS dari luar negeri layak diapresiasi. Angka ini signifikan dalam menaikkan cadangan devisa kita. Pemerintah harus tetap konservatif dalam berutang dengan menjaga defisit APBN di bawah 3 persen terhadap PDB. Tahun ini, target defisit 2,19 persen.
Selain itu, Kementerian Keuangan terus menyisir potensi pajak yang belum terungkap. Namun, terkadang agresivitas upaya tersebut harus terkendala kondisi perekonomian yang lesu. Dilema antara menarik utang luar negeri atau menarik pajak domestik inilah yang selama ini tidak mudah dikompromikan.
Cara menyelesaikan hutang luar negeri
Kita tahu akbiat dari adanya hutang luar negeri adalah kemiskinan melanda, penganguran menambah banyak sehingga hutang menambah banyak SDM yang berkerja selalu berkurang karena yang miskin tidak diizinkan bekerja.
Ternyata kondisi perekonomian Indonesia yang masih mengalami ketergantungan hutang bisa juga disebabkan oleh faktor-faktor internal, dimana pemerintah melakukan pinjaman ke luar negeri karena kondisi perekonomian dalam negeri yang masih memerlukan bantuan – bantuan dari pihak asing. Selain itu bisa juga karena kebijakan dari pemerintah sendiri yang membuat perlunya pinjaman luar negeri dilakukan.
Contohnya adalah kebijakan melakukan defisit anggaran untuk meningkatkan perekonomian dalam negeri, Kekurangan dalam defisit tersebut dapat ditutupi dengan melakukan pinjaman luar negeri. Selain itu kondisi makro ekonomi terkadang juga bisa mempengaruhi pemerintah untuk melakukan pinjaman luar negeri. Karena itu perlu adanya kita meneliti apa saja faktor–faktor internal yang membuat pemerintah melakukan pinjaman luar negeri ke pihak asing.[MO/sr]