Oleh: Siti Rahmah
Mediaoposisi.com- Pelik, drama panggung politik yang membuat kondisi jadi tambah rumit. Keluarnya Peraturan Presiden No. 42 tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas lainnya bagi Pimpinan, Pejabat dan Pegawai Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP) yang berjumlah fantastis.
Sehingga menjadi perbincangan dihalayak ramai, terutama masalah tugas dan fungsi lembaga tersebut yang menjadikan para pejabatnya mendapatkan gaji dan tunjangan yang begitu besar. Banyak yang menilai beban kerja lembaga BPIP dengan tunjangan yang didapatkan tidak sesuai.
Hak Keuangan bulanan yang diterima Megawati Soekarno Putri selaku Ketua Dewan Pengarah BPIP senilai Rp. 112.580.000 setiap bulannya.
Masing-masing Rp. 100 juta untuk Anggota Dewan Pengarah yang terdiri dari delapan orang, yakni Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya. Adapun Kepala BPIP yang dijabat Yudi Latif mendapatkan Rp 76 juta. Selanjutnya, Wakil Kepala Rp 63 juta, Deputi Rp 51 juta dan Staff Khusus Rp 36 juta.
Tentu gaji diatas bukan jumlah yang sedikit, sehingga wajar adanya ketika menimbulkan polemik ditengah masyarakat. Gaji selangit yang didedikasikan untuk para Pembina Pancasila, disaat kondisi keuangan paceklik sontak menimbulkan kegaduhan yang dahsyat. Dunia jejaring sosialpun dimeriahkan dengan pemberitaan diatas.
Setidaknya ada tiga hal yang patut dikritisi dari kebijakan tersebut. Pertama, sejauhmana urgensinya keberadaan badan tersebut? Bukannkah selama ini mereka senantiasa berteriak Pancasila sudah finish? Ketika sudah finish lantas kenapa harus dilakukan pembinaan lagi? bukankah sesuatu yang sudah finish sudah tidak ada lagi perdebatan.
Namun kenapa aroma membenturkan pancasila dengan Islam begitu kental terasa. Apa sebenarnya yang melatarbelakanginya? Kenapa seakan-akan pancasila dijadikan alat untuk menjerat lawan, dan penguasa merasa sah menjadi pihak yang paling berhak mentafsirkan pancasila.
Kedua, Apa sebenarnya kinerja Ketua Dewan dan jajaran BPIP sehingga mendapatkan gaji melebihi gaji presiden? Beratkah? Lantas apa bukti konkrit dari kinerjanya? Kenapa ketika disebut "hanya ongkang-ongkang kaki" pembelanya langsung bereaksi secara anarkis? Padahal yang dibutuhkan rakyat hanya bukti bukan melakukan kegiatan yang merusak citra dirinya.
Dengan adanya penglurukan justru menguatkan asumsi masyarakat akan ketidakmampuan kerjanya, membina anggotanya saja gagal bagaimana membina masyarakat? Lagi pula bukankah Pancasila selama ini diklaim sebagai idiologi negara? Sejatinya idiologi yang diterapkan negara, maka rakyatnyalah yang akan menjaganya? Atau mungkinkah rakyat sudah menemukan idiologi yang sesungguhnya yang sesuai dengan ajaran agamanya?.
Ketiga, Ditengah polemik keuangan yang sedang carut marut, utang menumpuk, harga kebutuhan pokok meroket kesejahteraan menurun, kemiskinan kian naik. Lantas lahir kebijakan tersebut, pantaskah? Padahal untuk membayar tunjangan hari raya pegawai saja begitu kelabakan sampai-sampai harus mengandalkan APBD.
Justru kebijakan diatas menunjukan pertentanganya dengan pancasila, sehingga atas semua reaksi masyarakat wajar adanya. Karena sejatinya negara bukanlah milik penguasa, bukan juga alat yang bisa digunakan penguasa untuk bertindak semena-mena. Negara juga bukan alat yang bisa digunakan penguasa untuk memuaskan syahwatnya dalam mempertahankan jabatannya atau sebagai fasilitas untuk memainkan politik balas budi.
Penguasa hakikatnya orang yang dipilih oleh rakyat untuk menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya mengurusi urusan rakyatnya. Sehingga apapun yang menjadi kebutuhan rakyatnya maka itulah yang harus jadi prioritasnya. Kekuasaan yang didapat juga sejatinya amanah agar dijalankan sesuai tuntunan syara’ dan untuk menjalankan hukum-hukum yang diturunkan Asyar'i.
Sehingga tidak layak kiranya penguasa mengeluarkan kebijakan yang bisa menyakiti rakyatnya. Meberikan gaji yang begitu besar ditengah rakyat tercekik itu adalah sebuah kedzoliman. Padahal Allah sudah menegaskan kebencianNya kepada pemimpin yang zalim sebagaimana Nabi saw bersabda;
"Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim." (HR. Tirmidzi) [MO/sr]