Oleh : Riana Annisa N
Mediaoposisi.com- Awal ramadhan tahun ini disambut dengan serentetan peristiwa yang menyita perhatian publik. Bagaimana tidak, mulai dari terjadinya kerusuhan dan penyanderaan di Rutan Mako Brimob, Depok, Jawa Barat juga serangan bom bunuh diri yang diledakkan di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, dan sehari setelahnya bom meledak di Mapolrestabes Surabaya yang berujung hilangnya nyawa.
Dengan alasan apapun kita sama-sama mengutuk dengan keras atas pelaku bom bunuh diri itu sebagai tindakan keji yang tentunya juga sangat bertentangan dengan Islam. Islam melarang mengganggu ibadah dan merusak tempat ibadah agama lain, melarang membunuh siapapun tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum syara.
Ditengah kegaduhan yang terjadi, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mendesak pada DPR untuk segera menyelesaikan revisi UU Anti Terorisme untuk mencegah aksi teror. Gayung bersambut, hal senada juga diumumkan oleh Wiranto (Menkopolhukam) terkait rencana permintaan pengesahan RUU Terorisme.
Mesin waktu itu terus berjalan, Jakarta, Jumat 25 Mei 2018 “Setujuuuuu”, kata para anggota Dewan, menyambut pertanyaan Ketua Sidang Paripurna tentang apakah RUU revisi UU pemberantasan tindak pidana terorisme itu bisa diterima untuk dijadikan UU. Dan palu pun diketuk, mengakhiri perdebatan politik panas yang ‘alot’ dari para politikus dan berbagai kelompok masyarakat.
Adapun total yang hadir pada sidang tersebut adalah 99 dari 560 orang anggota. Izin: 90 anggota (detiknews , 25/05/2018). Dari sini timbul pertanyaan kenapa hanya dihadiri kurang dari 18 % anggota dewan? Bahkan dari fraksi pemerintah, PDIP pun kehadirannya minim. Padahal, sejauh ini pemerintah menanggap pengesahan RUU ini adalah genting dan memaksa untuk segera disahkan jadi payung hukum.
Jika para anggota dewan tersebut terkesan meremehkan proses legislasi UU ini, maka untuk siapa sesungguhnya yang berkepentingan atas pengesahannya?. Padahal, belakangan ini pemerintah juga sangat getol untuk memadamkan api yang potensial menimbulkan teror.
Membuat daftar rekomendasi mubaligh, mempidanakan ASN bahkan warga sipil yang dituduh menebar ‘hate speech’ di medsos, menakuti rakyat bahwasanya ideologi teroris telah berkembang pesat hingga masuk ke rumah-rumah dan keluarga, hingga program deradikalisasi sekolah-kampus-masjid dari ajaran yang dianggap ekstrim.
Lantas, siapakah sesungguhnya yang paranoid? Yang begitu mudahnya menge cap muslim adalah barisan teroris-radikalis-ekstrimis. Menjerat muslim dengan pidana, tapi jika bukan muslim cukup meminta maaf. Kita tidak sedang mencari siapa yang salah, tapi siapa yang bertanggung jawab dibalik ini semua
Terorisme itu jelas sebuah kejahatan kemanusiaan. Namun kejahatan yang sesungguhnya adalah yang memelintir isu terorisme ini sebagai “proyek” untuk kepentingan-kepentingan jahat yang lain, memfitnah aktivis muslim, mengaitkan peristiwa tersebut dengan organisasi atau kelompok dakwah yang ada hingga memecah belah umat.
Kita hanya bisa berharap sah nya RUU Antiterorisme ini tidak dijadikan sebagai alat untuk terjadinya represi atau kedzaliman baru. Adapun terhadap masyarakat khususnya kaum muslim agar tetap istiqomah dalam perjuangan dakwah pada Islam dan mengoreksi penguasa walau tuduhan makar bisa jadi berbalik pada dirinya. Bersiaplah dengan era dakwah baru.[MO/sr]