Porsi intelijen dalam pemberantasan terorisme di dalam negeri cukup besar. Tak tanggung-tanggung, dari rangkaian penangkapan teroris, 75 persen merupakan peran intelijen.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan peran intelijen cukup krusial, yakni mengintai, mendeteksi dan mendata potensi-potensi terorisme dan orang-orang yang diduga terpapar radikalisme.
Selain itu, tugas yang dimiliki oleh intelijen menjaga agar terduga teroris lepas atau malah salah tangkap.
"Untuk memastikan benar-benar teroris," kata Setyo saat dikonfirmasi, Jakarta, Rabu (23/5).
Menurutnya, intelijen Detasmen Khusus (Densus) 88 Antiteror memiliki tugas yang berat. Karena, tim intelijen bekerja selama 7x24 jam penuh untuk mendapatkan data sebanyak mungkin dan pemantauan terhadap aktivitas terduga teroris.
Rupanya tuntutan pekerjaan, membuat tak sedikit istri intel Densus gerah. Mereka kerap minta cerai karena kelamaan ditinggal suami yang sibuk mengintai sel-sel teroris.
"Makanya banyak anggota densus yang mungkin istrinya minta cerai, ha..ha," candanya.
Setelah informasi akurat dari intelijen, anggota baru melakukan penindakan. Porsi penindakan hanya memiliki prosentase sebesar lima persen. Sedangkan, 20 persen lainnya merupakan fungsi penyidikan untuk membuka informasi jaringan lainnya sampai pelimpahan ke Kejaksaan apabila berkas perkara sudah dirasa cukup.
Jenderal bintang dua itu klaim, Polri sudah mengantongi orang-orang yang diduga terlibat dalam lingkaran terorisme di Indonesia.
Kendati demikian, Polri belum bisa melakukan tindakan represif menangkap langsung karena terbentur dengan UU Antiterorisme yang berlaku bersifat responsif, yang mana Polri baru bisa menangkap jika sudah munculnya pergerakan.
"Makanya di RUU yang baru kita harap sifatnya proaktif, kalau sudah ada bukti kuat, kita bisa lakukan penangkapan," katanya.
Artikel Asli